Kegagalan Demokrasi Bibit Baru Fasisme?

Fikri Gali
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang
Konten dari Pengguna
13 September 2022 11:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fikri Gali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Foto: unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Foto: unsplash.com
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan negara yang menganut paham demokrasi. Berbeda dengan monarki, demokrasi dapat didefinisikan sebagai suatu tata cara kelola keputusan publik. Yang mana setiap individu berhak untuk mendapatkan kekuasaan melalui mekanisme selektif dalam meraih suara pada pemilihan umum yang diselenggarakan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum).
ADVERTISEMENT
Demokrasi dianggap mampu menyelaraskan hubungan antara sosial dan politik. Selain itu, demokrasi juga dapat menyertakan hubungan individu dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan pemerintah. Dalam praktik demokrasi, setiap orang berhak untuk menyampaikan setiap aspirasi demi kepentingan bersama. Dan hal itu telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) yang mengatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Menurut Jurgen Habermas, setiap teori harus diarahkan pada nilai-nilai yang bersumber terhadap kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan ruang publik yang diharapkan mampu menampung seluruh pendapat masyarakat akan sebuah kebijakan. Ruang publik adalah suatu sarana perkumpulan antar individu sebagai publik. Ruang publik didesain untuk menentang dan melemahkan kebijakan otoritas. Seperti halnya seorang oposisi, mereka menuntut keterlibatan dalam sebuah keputusan.
ADVERTISEMENT
Namun, mengapa dalam kehidupan di negara yang menjunjung tinggi demokrasi sulit untuk melakukan aspirasi semacam ini? Sehingga sering terjadi kontradiksi pada setiap kebijakan otoritas yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tentunya, fenomena demonstrasi dapat menggambarkan adanya perbedaan pandangan antara masyarakat dan pemerintah.
Sedangkan, pada hakikatnya setiap individu mempunyai kebebasan yang meliputi kebebasan berpendapat. Kebebasan seseorang telah melekat pada diri seseorang sejak lahir. Apabila pihak-pihak terkait menekan adanya kebebasan, artinya tidak bebas. Selain itu, secara tidak langsung juga memperlakukan masyarakat seperti halnya sebuah patung yang datang tanpa arah dan tujuan.
Setiap individu juga memiliki hak asasi manusia, dan hak tersebut dilindungi oleh Negara berdasarkan UUD Nomor 39 Tahun 1999 tentang perlindungan HAM. Apabila seseorang tidak setuju dengan pandangan mengenai kebebasan individu, maka seseorang terkait tidak berhak atas adanya HAM. Sedangkan HAM sendiri melekat pada setiap manusia. Kemudian, mengapa pemerintah seakan membatasi adanya aspirasi? Lantas demokrasi atau monarki? Tentunya masalah-masalah seperti ini membentuk perspektif skeptis dari masyarakat akan pemerintahan yang bersifat authoritarianism.
ADVERTISEMENT
Apakah hal tersebut hanya pandangan semata atau merupakan sebuah fakta? Mungkinkah problem ini mengantarkan kita kepada fasisme yang mengagungkan kekuasaan absolut tanpa adanya prinsip demokrasi? Terlebih lagi, semakin suburnya lumbung oligarki hingga muncul sebuah dominasi. Apakah ini akan berlangsung sampai nanti?.