Konten dari Pengguna

Lukisan Akan Tetap Menjadi Seni, Bukan Sebuah Intimidasi

Ahmad Fikri Haikal
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31 Desember 2024 12:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fikri Haikal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Dall-3 oleh Open AI
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Dall-3 oleh Open AI
ADVERTISEMENT
Lukisan adalah karya seni lukis yang proses pembuatannya dilakukan dengan memoleskan cat dengan alat kuas lukis, pisau palet atau peralatan lain, yaitu memoleskan berbagai warna dan nuansa gradasi warna, dengan kedalaman warna. Ini dilakukan oleh seorang pelukis dengan kedalaman warna dan cita rasa pelukis, definisi ini digunakan terutama jika ia merupakan pencipta suatu karya lukisan. Lukisan memiliki makna tersendiri dalam setiap karya yang dibuat oleh pelukisnya, banyak pemaknaan di dalam sebuah karya, lukisan bisa membuat pro dan kontra dalam pemaknaan sebuah karyanya. Lukisan juga menjadi salah satu media pengekspresian diri dan juga bentuk suara dalam sebuah keresahan yang dilukiskan di atas kanvas, akhir-akhir ini terjadi sebuah kontroversi lukisan yang dilukis oleh seniman Yos Suprapto, yang di mana bahwasanya lukisan akan tetap menjadi lukisan bukan sebuah tuduhan. Pemaknaan dalam sebuah lukisan, meskipun pemaknaan sebuah lukisan dapat berbeda dari sang pelukis dan penikmat namun pada dasarnya manusia memiliki sudut pandang yang berbeda. Dalam posisi ini Yos Suprapto menyampaikan pure lukisan yang bukan berarti ungkapan politik. Seperti yang dikatakan Pablo Picasso “beauty is in the eye of the beholder” kecantikan tergantung pada mata yang melihatnya, ini mengartikan bahwasanya ketika seseorang melihat seni dalam sudut pandang yang murung walau lukisannya menggambarkan keriangan dan keceriaan, akan tetap menjadi lukisan yang membawa kesan murung. Seperti lukisan The Persistence of Memory, yang dilukis oleh Salvador Dali masih disalahartikan oleh banyak kritikus seni. Banyak yang percaya bahwa jam saku yang lembut dan berbentuk seperti telur itu merupakan representasi dari fluiditas dan kelenturan konsep kita tentang waktu dan ruang. Penafsiran ini mengarah pada keyakinan bahwa Dali memiliki pemahaman setingkat Einstein tentang teori relativitas. Namun, ketika ditanya mengapa ia memilih untuk melukis jam-jam terkenalnya, seniman itu menjawab bahwa ia terinspirasi oleh gambar keju camembert yang meleleh di bawah sinar matahari. Itulah gaya khas dari Salvador Dali, dari sinilah kita bisa mengetahui bahwasanya seni akan bisa dilihat sebagai seni ketika ia mengerti seni itu sendiri, seperti apa yang dikatakan Yos Suprapto dalam wawancaranya. Kemudian tentang hak berekspresi, dalam lukisan Yos Suprapto dianggap kontroversi karena menyinggung Presiden Jokowi. Padahal itu adalah pure seni bukan sindiran terhadap politik, banyak pada jaman sekarang kebebasan berekspresi dibatasi. Menilik pada kenyataan yang terdapat di Indonesia, hak berekspresi diatur dalam Pasal 28E ayat 3 UUD 1945. Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Kebebasan berekspresi penting untuk mewadahi ide, gagasan, pemikiran, dan sikap. Kebebasan ini juga penting untuk memastikan berjalannya proses-proses demokrasi. Namun, kebebasan berekspresi dapat dibatasi dengan pertimbangan tertentu, seperti untuk menghormati hak atau nama baik orang lain, melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan masyarakat, atau moral masyarakat. Pada kenyataannya lukisan Yos Suprapto tidak menyinggung hal-hal yang dapat membatasi kebebasan berekspresi dalam lukisan itu tersendiri. Budaya jilat pantat, budaya yang sering terjadi di Indonesia yang bersinggungan dengan politik/kekuasaan di Indonesia. Sebab terjadinya budaya jilat pantat ini adalah keinginan untuk mendapatkan keuntungan dapat dilalui dengan budaya jilat pantat, orang mungkin melakukannya untuk mendapatkan promosi, kenaikan gaji, atau perlakuan istimewa. Mereka percaya bahwa menyenangkan pihak berwenang akan meningkatkan peluang mereka. Namun, budaya jilat pantat sangat-sangat meresahkan karena dalam konteks lukisan saja mereka “orang-orang penjilat” tetap melakukan penjilatannya demi mendapatkan eksposur yang tinggi. Seperti yang dikatakan Yos Suprapto pembredelan ini terjadi karena adanya jilat pantat yang terjadi oleh museum cagar budaya yang mengatasnamakan galeri nasional padahal pada kenyataan sebelumnya galeri nasional tidak pernah membuat press conference terhadap apapun itu. Dan ya, ini sangat mengherankan kenapa ini bisa terjadi. Terjadinya pembredelan terhadap karya seni Yos Suprapto hingga penyabotasean di gedung galeri nasional seperti burung yang ingin terbang namun terkena perangkap dari sang penjahat, dia memiliki niat baik namun penjahat akan tetap menjadi penjahat mau burung itu terbang ingin mencari makan untuk keluarga pun, burung itu akan tetap ditangkap. Kesimpulannya adalah kontroversi lukisan Yos Suprapto yang telah terjadi di galeri nasional adalah lukisan akan tetap menjadi lukisan bukan sebuah tuduhan. Kontroversi ini menyinggung dunia seni karena pro dan kontra ini terjadi antara pelukis dan penikmat. Ini semua tergantung dari pemaknaan setiap orang yang melihat, walau kebebasan berekspresi itu nyata terkadang hal – hal yang di luar politik akan terseret ke dalam dunia politik jika ada budaya jilat pantat di dalamnya. Sampai pada dititik tidak sukalah terhadap suatu hal akan terjadi penyabotasean di dalamnya.
ADVERTISEMENT