Konten dari Pengguna

Kesan Pertama Orang Luar Aceh Mengunjungi Aceh Pertama kali

Fikri Nabilah
Mahasiswa Antropologi Sosial Universitas Andalas
11 Oktober 2024 17:25 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fikri Nabilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aceh merupakan salah satu provinsi paling barat di Pulau Sumatera. Provinsi ini terkenal akan kereligiusannya, dan hal itu bukan tanpa alasan. Aceh memiliki otonomi khusus dalam mengatur daerahnya. Aturan-aturan di Aceh diatur dalam undang-undang yang disebut Qanun, yang berlandaskan pada nilai-nilai dan ajaran Islam. Berdasarkan data tahun 2016, diketahui bahwa 98,91% penduduk Aceh memeluk agama Islam. Oleh karena itu, banyak aspek kehidupan masyarakat Aceh yang dipengaruhi oleh nilai-nilai keislaman, mengingat Islam merupakan agama mayoritas di Provinsi Aceh Darussalam.

Stereotip, Fakta, dan Keberagaman Aceh

Beberapa nilai keislaman yang mudah diperhatikan ketika pertama kali mengunjungi Aceh, terutama di Banda Aceh, adalah bagaimana toko-toko di daerah tersebut tutup pada waktu-waktu ibadah. Pada saat Maghrib dan sholat Jumat, kebanyakan toko, meskipun berada di pusat kota, akan tutup sementara. Selain itu, ada juga stereotip negatif yang dikenal banyak orang tentang Aceh sebelum mereka benar-benar mengunjunginya.
ADVERTISEMENT
Salah satu stereotip tersebut adalah banyaknya ganja di Aceh. Namun, setelah saya memiliki kesempatan untuk mengunjungi Aceh melalui salah satu program Kemendikbud, saya melihat bahwa stereotip ini tidak sesuai dengan kenyataan. Saya telah mengunjungi beberapa wilayah di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Disana ganja tetap dianggap sebagai barang terlarang. Ganja tidak diperdagangkan secara bebas, dan masyarakat Aceh menyadari bahwa ganja adalah barang ilegal yang tidak boleh diperjualbelikan secara sembarangan.

Keberagaman Makanan di Aceh

Aceh memiliki kekayaan kuliner lokal yang sangat beragam. Bagi orang luar yang baru datang ke Aceh, keberagaman makanan ini bisa dirasakan jika sering membeli makanan diluar. Harga makanan di Aceh, terutama di Banda Aceh dan Aceh Besar cukup terjangkau. Kita masih bisa menemukan paket nasi, lauk, dan sayur lengkap dengan harga mulai dari lima ribu rupiah saja. Umumnya, harga makanan berkisar antara lima ribu hingga dua puluh ribu rupiah. Beberapa makanan khas Aceh yang terkenal antara lain mie Aceh dan kuah belangong.
ADVERTISEMENT

Sapi Liar di Aceh Besar

Hal lain yang saya perhatikan di lingkungan tempat saya tinggal, yaitu di Kabupaten Aceh Besar, adalah keberadaan sapi liar yang cukup banyak. Banyak pemilik sapi melepaskan ternak mereka untuk mencari makan sendiri. Namun, hal ini menimbulkan beberapa masalah sosial bagi masyarakat setempat. Sapi-sapi tersebut sering memakan buah dari pedagang dipinggir jalan, berjalan di jalan raya sehingga meningkatkan resiko kecelakaan, serta meninggalkan kotoran di jalan yang menimbulkan bau tak sedap dan merusak pemandangan.

Keberagaman Etnis di Aceh

Sebagai orang yang datang dari wilayah yang tidak seheterogen Aceh, saya menilai Aceh memiliki tingkat keberagaman yang cukup tinggi. Meskipun Islam menjadi agama mayoritas di provinsi ini, keberagaman etnis sangat terasa. Aceh terdiri dari beberapa suku besar yang berbeda satu sama lain, seperti suku Anak Jamee, Aceh, Pakpak, Gayo, Tamiang, Devayan, dan lainnya. Keragaman suku ini juga memperkaya bahasa yang ada di Aceh. Setiap daerah bisa memiliki kosakata yang sangat berbeda bukan hanya dari segi logat saja.
ADVERTISEMENT
Kesan pertama saya sebagai orang luar yang pertama kali datang ke Aceh cukup positif. Aceh adalah daerah yang aman, dengan tingkat kriminalitas yang rendah. Makanan di sini murah, dan budaya di Aceh sangat beragam berkat keberadaan beberapa suku besar. Stereotip bahwa ganja bebas diperjualbelikan di Aceh ternyata tidak benar. Kesan keislaman dapat dirasakan dengan memahami nilai-nilai sosial yang berkembang di Provinsi Aceh Darussalam.