Konten dari Pengguna

Standarisasi Tiktok Dalam Konsep Simulacra Jean Baudrillard

Fikri Nabilah
Mahasiswa Antropologi Sosial Universitas Andalas
13 September 2024 11:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fikri Nabilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Simulacra: kaburnya batas antara yang nyata dan yang palsu

pixabay.com/antonbe
zoom-in-whitePerbesar
pixabay.com/antonbe
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jean Baudrillard, seorang filsuf asal Prancis, memperkenalkan gagasan bahwa manusia modern hidup ditengah dunia simulacra, dimana simbol dan citra menggantikan realitas yang sebenarnya. Dalam simulacra, representasi sebuah peristiwa sering kali menjadi lebih penting daripada peristiwa itu sendiri. Pemikiran Baudrillard ini lahir dari pengamatannya terhadap pengaruh komunikasi massa yang semakin mengaburkan batas antara yang nyata dan yang buatan. Akibatnya, masyarakat modern kini mengonsumsi berbagai hal tanpa lagi memahami esensi aslinya. Apa yang dianggap sebagai kenyataan sering kali hanyalah gambaran yang dibentuk oleh simbol-simbol, menciptakan apa yang disebut Baudrillard sebagai hyperreality, sebuah realitas palsu yang tampak lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.
ADVERTISEMENT

Jejak pemikiran Baudrillard

Jean Baudrillard adalah salah satu tokoh penting dalam filsafat postmodernisme, pemikirannya melintasi berbagai disiplin ilmu dan mengundang perhatian luas, tidak hanya dikalangan akademisi. Gagasan-gagasannya banyak dipengaruhi oleh pemikir besar seperti Karl Marx, Friedrich Nietzsche, hingga Claude Lévi-Strauss. Baudrillard, yang lahir pada 27 Juli 1929 ditengah arus industrialisasi dan perkembangan teknologi yang pesat, melihat dengan jelas bagaimana masyarakat mulai menjauh dari realitas fisik mereka, tersedot ke dalam dunia simbol dan citra yang tidak lagi mencerminkan kenyataan yang sebenarnya.

Fenomena standarisasi tiktok: kesuksesan yang semu

Fenomena simulacra yang diungkapkan Baudrillard bisa kita lihat dengan jelas pada era digital saat ini, khususnya dalam fenomena standarisasi kesuksesan pada platform Tiktok. Tiktok tidak hanya menjadi media hiburan, tetapi juga alat yang secara tidak sadar membentuk persepsi publik tentang apa itu kesuksesan. Pada platform ini, standar kesuksesan sering kali diukur berdasarkan pencapaian material, memiliki mobil mewah, rumah pribadi, atau kekayaan sejak usia 20-an.
ADVERTISEMENT
Narasi ini terus diproduksi dan diperkuat oleh konten kreator yang tanpa henti menampilkan kehidupan glamor, seolah-olah itu adalah tolak ukur keberhasilan yang universal. Pengulangan visual dan narasi yang seragam ini menciptakan ilusi bahwa kesuksesan memiliki satu bentuk saja, yang kemudian tertanam dalam benak jutaan pengguna. Padahal, realitas kehidupan masing-masing orang jauh lebih beragam dan kompleks.
Bagi sebagian besar penonton, terutama mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi sederhana, standar tersebut tidak hanya tidak realistis, tetapi juga menyesatkan. Seorang pedagang keliling misalnya, tidak memiliki akses yang sama untuk mencapai kekayaan seperti yang digembar-gemborkan di Tiktok. Namun, narasi ini terus didorong oleh algoritma platform, yang mengutamakan konten yang mendapat banyak perhatian, terlepas dari realitas kehidupan para penontonnya.
ADVERTISEMENT

Realitas yang ditinggalkan

Dalam dunia hyperreality, kita melihat fenomena dimana orang-orang tidak lagi hidup berdasarkan tujuan dan harapan yang nyata sesuai dengan kondisi mereka. Alih-alih, banyak yang terjebak dalam angan-angan untuk mengejar standar kesuksesan yang tidak relevan dengan kehidupan mereka. Kehidupan nyata semakin diabaikan demi mengejar citra yang diciptakan di dunia maya.
Hal ini tentu menjadi salah satu dampak dari dunia digital yang tanpa batas borderless, di mana siapa pun dapat mengakses dan melihat segala sesuatu, menciptakan ilusi bahwa semua hal dapat diraih dengan mudah. Namun, realitas kehidupan sebenarnya jauh dari citra ideal yang dipromosikan. Standar kesuksesan TikTok hanya mencerminkan sebagian kecil dari pengalaman manusia, tetapi dengan masifnya pengaruh media sosial, standar semu ini memengaruhi cara orang berpikir dan merasa tentang hidup mereka sendiri.
ADVERTISEMENT

Pentingnya kembali pada realitas

Walaupun kehidupan digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kita, ada langkah-langkah yang bisa diambil untuk mencegah diri terjebak dalam *hyperreality*. Salah satu cara paling efektif adalah dengan kembali memperkuat hubungan sosial di dunia nyata. Berinteraksi langsung dengan orang lain, bertatap muka, dan menjalin percakapan yang bermakna dapat membantu kita mempertahankan keseimbangan antara dunia maya dan realitas fisik.
Bersosialisasi di dunia nyata juga memungkinkan kita untuk memahami kondisi kehidupan kita yang sesungguhnya. Saat kita terhubung dengan komunitas nyata, kita lebih mudah menyadari bahwa hidup ini penuh dengan variasi setiap orang memiliki perjalanan yang unik, dengan tantangan dan kesempatan yang berbeda. Kepekaan terhadap kondisi hidup kita sendiri menjadi lebih kuat, dan kita bisa lebih bijaksana dalam menentukan tujuan dan harapan yang sesuai dengan realitas yang kita jalani, bukan yang dikonstruksikan oleh media sosial.
ADVERTISEMENT