Konten dari Pengguna

Aksesibilitas dan Surau di Nagari Kurai Taji, Onderafdeling Pariaman

Fikrul Hanif
Penulis, pengajar sejarah, dan dosen tamu dalam visiting scholar di Faculty of Art University of Melbourne, Australia
12 Agustus 2024 10:29 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fikrul Hanif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kisah keberadaan modernisasi Islam di di Nagari Kurai Taji, Onderafdeling tidak lepas dari Pariaman tidak lepas dari keberadaan Surau Paninjauan, Surau Dagang, dan Surau Apar. Ketiganya merupakan kunci dari bersemainya Muhammadiyah groep Kurai Taji yang berdiri pada 25 Oktober 1929. Mereka yang turut andil adalah Adnan gelar Tuanku Itam Ketek, Haroen el-Maany, Oemar Ganti, Oedin (perintis Partai Masyumi di Sumatra Barat), Sidi Mhd. Iljas, dan Munafy bersaudara.
Dari kiri ke kanan: Kasim Munafy (Ketua PDM Padang Pariaman 1952-1991), Sidi Mhd Ilyas (perintis Muhammadiyah groep Kurai Taji (1929), Oedin (penggagas Partai Masyumi awal di Sumatra Barat/perintis Muhammadiyah groep Kurai Taji), Sjailendra (pengurus Partai Masyumi Padang Pariaman). Sumber: dokuimentasi Kasim Munafi
Rel Kereta Api dan Keberadaan Nagari Kurai Taji
ADVERTISEMENT
Bila ditelisik jauh ke belakang, hadirnya Islam modernis di Kurai Taji dipacu sejak beroperasinya kereta api. Bahkan, sekat-sekat yang membatasi ruang gerak pembaruan Islam karena persoalan aksesibilitas, pupus seketika, sejak beroperasi moda transportasi massal tersebut, diawal abad ke-20. Dan, Nagari Kurai Taji sejak direorganisasi tahun 1913, menjadi bagian dari Onderafdeling Pariaman. Secara keseluruhan jumlah penduduknya di awal abad ke-20 adalah 180.000 jiwa(Bezemer, 1921).
Onderafdeling Pariaman terletak di tepi laut dan merupakan daerah yang dipimpin seorang Controleur. Dengan pasarnya yang penting, Kampung Pondok (pecinan Tionghoa), dan pelabuhan kecil yang apik membuat tempat ini terkesan bagus. Namun demikian, sekitar 500 orang asing telah tinggal di sana pada awal abad ke-20 (Herkomst, 1927).
ADVERTISEMENT
Surau sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, juga tidak luput dari pengaruh hadirnya rel kereta api di Kurai Taji. Sebelum abad ke-20, di Nagari Kurai Taji memiliki empat surau utama, masing-masing Surau Batu, Surau Lubuk Ipuah, dan dua Surau di Talogondan (Officieele Vereeniging voor Toeristenverkeer, 1930).
Masing-masing surau tadi, untuk pelaksanaan salat Jumat, dilaksanakan di Masjid Punago Panendangan–yang terletak di Batangtajongkek. Pengaruh tarekat tertua di Sumatra Barat itu memang besar, mengingat Nagari Kurai Taji, masih berada di bawah pengaruh Ulakan –yang menjadi lokus utama dari Syattariyah.
Memasuki awal abad ke-20, masuknya gerakan Islam modernis di Kurai Taji, ikut menganggu kemapanan dari hadirnya Tarekat Syattariyah. Terdapat tiga surau modernis yang hadir di daerah ini. Yakni Surau Apar di Batangtajongkek dan Surau Paninjauan, dan Surau Dagang yang berada di Pekan Sinayan Kurai Taji.
ADVERTISEMENT
Di antara ketiga surau tadi, yang berusia tua adalah Surau Paninjauan–yang ditengarai berdiri pada tahun 1912 itu, telah dibina oleh seorang Kaum Muda, bernama Adnan gelar Tuangku Itam Ketek (Sufyan, 2022).
Adnan merupakan putra kelahiran Nagari Sunur, yang melanjutkan pendidikannya di Madras School Nagari Sungayang, Afdeling Tanah Datar tahun 1906 (Yunus, 1970). Selepas belajar dengan Thaib Umar, Adnan mendalami Islam di Mekah tahun 1909 selanjutnya menyebar pembaruan Islam di Nagari Kurai Taji. Adnan di kalangan masyarakat Kurai Taji disebut sebagai urang mudo (Munafy, 1979).
Dan Taufik Abdullah mempopulerkan istilah urang maju–atau identik dengan sebutan Kaum Muda, sebagaimana ditulis dalam disertasinya (Abdullah, 1971)
Tentu menarik untuk ditelusuri, mengapa dekat jantung Tarekat Syattariyah hadir gerakan Islam modernis?. Pertama, Nagari Kurai Taji sejak akhir abad ke-19 telah menjelma sebagai sentra perdagangan kopra. Dan, tiga saudagar bertitel haji, masing-masing Mangan, Abdul Madjid Latif, dan Mhd. Nur– yang bergerak di komoditi kopra berperan besar dalam mendanai aktvitas Kaum Muda di Surau Paninjauan yang berjarak 300 meter dari jantung Pakan Sinayan (baca: pekan Senin) Kurai Taji.
ADVERTISEMENT
Kedua, sejak beroperasinya kereta api yang membelah Kurai Taji di tahun 1920, telah memicu keuntungan besar bagi ketiga saudagar tadi, untuk mendistribusikan kopra di luar Pariaman. Kereta api juga turut andil dalam meningkatkan perekonomian masyarakat setempat, khususnya pasar Kuraitaji.
Menurut Boelhouwer pada hari pekannya, setiap Senin, Kurai Taji dikunjungi tidak kurang dari 4000 orang (Boelhouwer, 2009). Boelhouwer juga mencatat di sepanjang jalur kereta api, daging kelapa itu dijemur dari pagi sampai sore hari (baca: kopra), untuk dikeringkan.
Keesokan harinya, dikirim dengan kereta api, untuk dibawa keluar Kurai Taji. Makin tinggi deviden yang diperoleh saudagar kopra, makin besar sumbangan yang mereka berikan untuk gerakan Kaum Muda di Surau Paninjauan. Selain itu, kereta api turut menjadi gerbang masuknya ide-ide Islam Modernis di seluruh Sumatra Barat, dan Nagari Kurai Taji khususnya.
ADVERTISEMENT
Mobilitas dalam waktu relatif singkat itu, menjadi semangat baru untuk gerakan Kaum Muda, guna menyebarkan ide-ide brilian mereka di tengah masyarakat yang ‘bersiap’ membuka diri mereka terhadap warna perubahan.
Ketiga, adalah Adnan gelar Tuanku Itam Ketek bersama Haroen el Maany, dan lainnya selaku pembina Surau Paninjauan, telah menjalin kontak dengan tokoh-tokoh pembaruan Islam, seperti Haji Abdul Karim Amrullah (perintis Sumatra Thawalib Padang Panjang dan Sendi Aman Tiang Selamat), Syekh Ibrahim Musa Parabek (Thawalib Parabek), Syekh Muh. Thaib Umar (Madras School), dan Syekh Abdulllah Ahmad (Adabiah School dan PGAI).
Hadirnya Surau Paninjauan dan Surau Dagang
Lancarnya komunikasi di antara Kaum Muda di Sumatra Barat, adalah menjadi sebab langsung dari mudahnya aksesibilitas–yang menghubungkan basis-basis dari Islam modernis. Sidi Mhd Iljas, Oedin, Sulaiman Munaf, Kasim Munafy, Mochtar, dan lainnya merupakan murid-murid Adnan Tuangku Itam Ketek, tidak saja mendalami Islam di Surau Paninjauan, juga menuntut pendidikan formal.
Kasim Munafy berpeci hitam bersama anak-anak Panti Asuhan Muhammadiyah berkodak di depan Surau Dagang. Sumber: Dokumentasi Fakhrurrazi Kasmy.
Mereka tiap pagi hari berangkat menuju ke sekolah formal, dan sore hingga malam hari menghabiskan waktu belajar tauhid, baca quran, bahasa Arab, dan berlatih silat.
ADVERTISEMENT
Mentalitas Kaum Muda yang telah tertanam, mendorong mereka keluar dari Kurai Taji, dan berhubungan dengan gerakan Islam modernis di Padang Panjang.
Dua orang murid Adnan, yakni Sulaiman Munaf dan Mochtar melanjutkan pendidikannya di Sumatra Thawalib Padang Panjang. Dan, Muhammad Iljas aktif berkomunikasi dengan pengembang Muhammadiyah Cabang Padang Panjang, yakni Ahmad Rasyid Sutan Mansur, atau yang akrab disapa Buya Sutan Mansur. Sutan Mansur sendiri telah bermukim di Padang Panjang sejak 1926 (Sufyan, 2014).
Di sinilah titik awal perjumpaan Iljas dengan persyarikatan Muhammadiyah. Dua tahun kemudian, Iljas direkomendasikan oleh Sutan Mansur untuk mengikuti pengkaderan padvinder Hizbul Wathan di Yogyakarta tahun 1928 (Iljas, 1956).
Dengan menumpang kapal Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), Iljas berangkat dari Pelabuhan Emmahaven menuju Tanjung Priok di Batavia, kemudian melanjutkan perjalanannya dengan kereta api uap menuju Stasiun Tugu Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Satu tahun lamanya, Iljas mendalami Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM), Kepribadian Muhammadiyah, dan mengikuti kajian Kiyai Haji Ibrahim, Kiyai Fachruddin, dan Ki Bagus Hadikusumo. Tidak hanya, belajar mendirikan dan mengelola persyarikatan, Iljas turut menghadiri Kongres ke-18 Muhammadiyah di Solo.
Sepeninggal Iljas mempelajari Muhammadiyah ke Yogyakarta, atas dorongan dari ninik mamak dari Suku Koto yang bermukim di Pekan Kurai Taji, bernama Mak Dorong, Mak Demak, Moh. Ma’ruf dan Syamsudin, mendirikan sebuah surai berpaham modernis.
Surau itu dinamai Surau Dagang – yang berarti tempat berkumpulnya pedagang, atau ‘hijrah’ dari surau kaum mereka (baca: Tarekat Syattariyah) ke surau yang berpaham Islam Berkemajuan.
Bila di Maninjau ayah Hamka Haji Rasul merelakan Sendi Aman Tiang Selamat dilebur kedalam Muhammmadiyah, maka di Kurai Taji Haroen el Maany, S.D.M Iljas, Oedin, Umar Ganti, Abd. Jalil dari Rambai, Harun Parel dari Pasar Teleng, Abu Bakar Ma’ruf, Moh. Ma’ruf dari Pekan Kurai Taji, dan Dahlan bin Juri (Sunur-Bandar X) pun ingin Surau Paninjauan dan Surau Dagang bertransformasi menjadi basis utama dari persyarikatan Muhammmadiyah.
ADVERTISEMENT
Tentu tidak mudah merintis persyarikatan di basis Tarekat Syattariyah yang telah mengakar lebih dari dua abad. Butuh nyali yang besar, berhadapan dengan ulama tradisional–yang menuduh aktivis persyarikatan sesat, kafir, dan zindiq. Mereka bergeming. Peresmian Muhammadiyah groep Kurai Taji pun menghadapi tantangan yang berat.
Pada 28 Oktober 1929, Iljas telah mengumpulkan parewa–guna menjaga keamanan selama peresmian groep Kurai Taji di garasi mobil Bagindo Moh. Tahar. Mereka tentu, tidak mau mengambil resiko berhadapan dengan ancaman kekerasan dan pembubaran paksa oleh massa fanatik Syattariyah yang digerakkan oleh Tuanku Lubuk Ipuh.
Pada mulanya acara peresmian dilaksanakan di Surau Dagang. Namun, dalam openbare vergadering yang dihadiri utusan Muhammadiyah Tjabang Padang Panjang, yakni Sutan Sara Endah yang disesaki simpatisan Muhammadiyah, akhirnya diputuskan peresmian Muhammadiyah groep Kurai Taji dilaksanakan di kandang mobilnya Bagindo Moh. Nur, pada 29 Otober 1929.
ADVERTISEMENT
Peresmian yang dijaga parewa itu berlangsung aman, dan tanpa gangguan. Hadirnya Surau Dagang di jantung perekonomian Nagari Kurai Taji, memicu kekhawatiran ulama Syattariyah. Mengapa?. Surau Dagang yang terletak di posisi strategis dan dekat dengan pekan, menjadi pilihan dari saudagar yang bermukim di Nagari Kurai Taji, untuk melaksanakan shalat.
Sementara di Jorong Batang Tajongkek dan Lubuk Ipuh yang jauh dari pasar, justru makin sepi dari jamaah. Meskipun Surau Dagang telah ramai dengan aktivitas ibadah dan muamalah, namun belum bisa melaksanakan shalat Jumat.
Hasil negoisasi antara Kaum Muda dengan Tuanku Lubuk Ipuh, disepakati pada minggu pertama dan ketiga diisi oleh ulama Syattariyah di Masjid Punago Panendangan. Dan untuk pekan kedua dan keempat diisi oleh tokoh Muhammadiyah Kurai Taji. Namun, pelaksanaan kesepakatan itu tidak dihiraukan ulama Syattariyah.
ADVERTISEMENT
Sehingga, ketika khatib dari Muhammadiyah tampil di Masjid Raya Punago, kelompok Syattariyah menghilang dan memilih shalat di Surau Lubuk Ipuh. Negoisasi yang dilanggar itu, mendorong Iljas cs menetapkan Surau Dagang melaksanakan ibadah shalat Jumat.
Bukannya malah berkurang, sejak awal 1930, Surau Dagang sudah tidak mampu menampung sesaknya jamaah yang melaksanakan shalat Jumat, dan Tarawih. Dan, sejak 1930-1950 Surau Dagang menjadi sentral dari aktivitas Muhammadiyah Cabang Kurai Taji yang diketuai Oedin – kaka ipar dari Sidi Mhd. Iljas dan menyebarluaskan persyarikatan ke jantung-jantung pertahanan Syattariyah.
Percepatan dan pengaruh Surau Dagang sebagai lokus utama persyarikatan Muhammadiyah ke nagari-nagari di seluruh afdeling Pariaman, makin tidak terbendung. Keberadaan moda transportasi massal yang membelah Pariaman, mendorong ide-ide modernis memasuki kantong-kantong massa tarekat Syattariyah.
ADVERTISEMENT
Namun, peran hadirnya kereta api di Nagari Kurai Taji sempat vakum selama seminggu, karena banjir besar yang melanda Onderafdeling Pariaman. Pada 30 Agustus 1930, kereta api berketel uap itu hanyut dibawa banjir, karena hujan deras selama dua hari. Akibatnya, rel kereta api itu tersapu oleh bandir. Rel tetap berada di bagian trek tersebut, tetapi antara Kurai Taji dan Pauh Kambar, rel kereta api telah hanyut oleh banjir (Sumatra Bode, 2 September 1930).
*Bila ingin mengutip, tulislah judul, nama penulis, dan linknya dengan jujur.