Konten dari Pengguna

Gagalnya Revolusi Prematur 16 November 1926

Fikrul Hanif
Penulis, pengajar sejarah, dan dosen tamu dalam visiting scholar di Faculty of Art University of Melbourne, Australia
28 Juli 2024 10:20 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fikrul Hanif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebelum pecahnya peristiwa Silungkang 1927 – yang heroik, telah didahului gerakan awal yang dikenal dengan peristiwa 16 November 1926. Kisahnya, bermula dari seorang perwakilan dari Jawa datang ke Nagari Silungkang, Sumatra Westkust. Kenapa di Silungkang? Terjadi pergeseran peta kekuatan Kuminih yang awalnya di Padang Panjang, sejak 1925 bergerak ke Silungkang di bawah pimpinan Suleiman Labai.
ADVERTISEMENT
Si utusan memberi tahu kelompok Kuminih Silungkang, bahwa aksi massa pecah pada malam 12 hingga 13 November 1926 di Banten Jawa Barat. Setelah itu, kelompok Kuminih Sumatra harus mengikuti aksi yang sama. Kemudian, utusan dari Jawa itu, memilih tinggal sekitar tiga pos dari Silungkang, agar tidak ketahuan oleh marsose dan veldpolitie (kini: Brimob).
Pertemuan antara deputi dari C.C PKI dengan petinggi Kuminih dilakukan secara rahasia. Rapat itu dipimpin oleh Limin dan Radjo Sampono. Dalam rapat rahasia itu, disepakati pada pukul 12 tengah malam (baca: pukul 00) pada tanggal yang disepakati, sebuah bom akan meledak di Nagari Sikalang onderafdeling Sijunjung, sebagai tanda bahwa revolusi telah dimulai.
Lubang tambang harus mereka kuasai. Mereka juga berencana membebaskan para penggerak Kuminih yang dipenjara di Sawahlunto. Aksi radikal berikutnya adalah membunuh semua pejabat Binenlands Bestuur. Bubuk magnesium dan bahan peledak lainnya juga harus direbut paksa dari perusahaan tambang Ombilin Mijnen, untuk pembuatan dinamit melawan marsose.
ADVERTISEMENT
Sebuah peta sketsa Sawahlunto pun telah dipersiapkan. Lewat peta itu, sudah terpantau rumah-rumah orang Eropa di sekitar Ombilin Mijnen dan penjara, harus dipasangi dinamit –dengan bantuan veldpolitie yang bersimpati dengan gerakan mereka. Kelompok Kuminih pun diberi identitas ikat pinggang merah. Bila berkhianat, mereka akan dianiaya dan dibunuh.
Pada awal November 1926 diperkirakan 300 klewang telah tersedia di daerah perlawanan, ditambah sekitar 50 senjata api. Namun, rupanya klewang ini, tidaklah gratis. Tiap-tiap simpatisan Kuminih diwajibkan untuk membeli klewang lewat iuran yang dipungut kelompok Kuminih. Untuk laki-laki seharga f 0.50, dan bagi perempuan, klewang dijual senilai f 0.25 (de Sumatra Post, 6 Januari 1927).
Untuk senjata api dibeli oleh Talaha gelar Soetan Langit, anggota pimpinan Sarekat Rakyat di Silungkang. Ia bertugas untuk menjual kembali seharga f 40. Baik klewang, maupun senjata api disembunyikan di dalam tanah. Sebagian lagi di gudang yang terletak di belakang pegunungan-dijaga oleh seorang ulama tarekat–yang menyediakan jimat kepada kelompok Kuminih.
ADVERTISEMENT
Di pihak lain, sejak awal Juli 1926, kewaspadaan telah ditingkatkan oleh pemerintah onderafdeling Sijunjung seiring rumor, bahwa klewang telah diangkut dari Lintau menuju Silungkang pada malam hari. Desas-desus itu, dikonfirmasi dari PID yang dikirim asisten residen Sijunjung. Diduga senjata tersebut, dikumpulkan oleh Kuminih untuk melakukan huru-hara.

Meningkatnya Aksi Sporadis dan Jimat Kekebalan

Aksi-aksi sporadis jelang 16 November 1926, seperti di Nagari Silungkang, Padang Sibusuk, Batu Manjulur, Kubang, Sijantan dan Tanjung Ampalu, telah meresahkan Asisten Residen Sijunjung. Tidak hanya di wilayah kekuasaannya, aksi kelompok Kuminih juga telah meledak di Sungai Jambu, Fort van der Capellen. Pada awal Agustus 1926, seorang propagandis Mohamad Taher dan para pendukungnya melakukan aksi brutal. Tentara marsose pun bergerak cepat, Taher langsung ditangkap bersama anggotanya (Pandji Poestaka, 10 Januari 1927).
ADVERTISEMENT
Dari spionase, asisten residen memperoleh sketsa jalur pengangkutan senjata ke Silungkang, dilaksanakan pada Oktober 1926. Untuk menjaga distribusi senjata, Soeleiman Labai menyewa jasa seorang ulama tarekat. Ia ditugasi selaku perantara pengangkutan dan distribusi senjata di Nagari Kubang, dan daerah sekitarnya.
Tidak hanya bertugas menjaga dan mendistribusikan senjata, si ulama turut andil dalam menyebarkan jimat kekebalan. Dari laporan PID, jelang aksi massa, menunjukkan bahwa perdagangan yang ramai dilakukan di onderafdeling Sijunjung adalah jimat kebal. Mereka yang membeli jimat, turut dibekali ilmu kebal bacok dan peluru. Selain di Kubang, ulama tarekat juga beraksi di Nagari Lunto, Kolok dan Talawi.
Laporan pemerintah juga menyebut, nama Radjo Katjik dan Soeleiman Labai sebagai “master gudang”. Pemerintah telah mengendus, tokoh intelektual dibalik rencana revolusi 16 November adalah Radjo Katjik dan Soeleiman Labai. Keduanya secara rutin berkeliling di kampung-kampung dan mengadakan pertemuan rahasia di mana-mana. Mereka mempropagandakan, agar penduduk melakukan perlawanan bersenjata, sambil menunggu isyarat dari Radjo Katjik.
ADVERTISEMENT
Dalam penggeledahan yang dilancarkan tentara marsose, ditemukan enam klewang yang tersembunyi di pekarang rumah di Nagari Kubang. Mereka yang ditangkap mengakui, bahwa rencananya senjata tajam dan api itu untuk menyerang Sawahlunto, serta membunuh pejabat pemerintah. Bila berhasil melumpuhkan Sawahlunto, pimpinan Kuminih–telah mempropagandakan, bahwa masyarakat akan dibebaskan dari belasting, dan merebut kemerdekaan. Sedangkan orang yang menolak bergabung diancam akan dibunuh.
Pandai besi asal Lintau yang ditangkap prajurit marsose mengakui, bahwa Soeleiman Labai menginstruksikan untuk memproduksi lebih dari 160 klewang dalam waktu tiga bulan. Senjata itu dibuat secara diam-diam di Sawahlunto dan Tanjung Ampalu.
Sekitar 15 Oktober 1926, giliran Haji Bahaudin ditangkap di Sawahlunto. Ia seorang haji yang turut mengkoordnir cabang Sawahlunto; menjadi penghubung antara Silungkang dengan seorang komandan veldpolitie di Sikalang.
ADVERTISEMENT
Para propagandis Kuminih bekerja secara intensif terutama di Nagari Pianggu (afdeling Solok), Taratak Bancah, Padang Sibusuk, Tanjung Ampalu dan Sijantang (afdeling Sawahlunto/Sijunjung). Menjelang akhir Oktober, kembali marsose menangkapi massa Kuminih di Nagari Kubang yang kedapatan menyembunyikan klewang.
Tentara marsose dibantu veldpolitie terus melakukan pencarian senjata api dan klewang. Setelah pimpinan Kuminih menyadari bahwa, pemerintah mengetahui strategi mereka, akhir Oktober 1926, mereka bermaksud meminta “uang aur” dari pemerintah Nagari Silungkang, Muara Kelaban dan Padang Sibusuk.
Mereka menginginkan semblihan seekor kerbau untuk pesta adat besar. Tujuannya, bersumpah di depan dewan nagari. Tujuannya adalah memperoleh kembali kepercayaan dewan nagari, bahwa aksi massa yang mereka lancarkan, untuk melenyapkan kapitalisme yang menyengsarakan, dan merebut kemerdekaan. Namun, rencana pesta adat ini, urung dilakukan.
ADVERTISEMENT
Pada akhir Oktober 1926, tentara Marsose terus mencari klewang. Semakin banyak klewang yang disita dari massa Kuminih, dan sebagian lainnya diberikan secara sukarela oleh masyarakat yang tidak tergabung dalam Sarekat Rakyat. Untuk memengaruhi dan mempropagandakan Kuminih–seorang pimpinan di Silungkang bernama Datuk Bagindo Ratoe, melancarkan kampanye sengit.
Saluran dakwah, lewat pengajian dan wirid di surau-surau menjadi saluran mereka, untuk mempropagandakan bahwa Belanda dan orang Eropa lainnya adalah kelompok yang harus dilawan dan dibunuh. Mereka juga membakar semangat jihad para jamaah, untuk melawan belasting yang memberatkan dan sistem kapitalis yang menyengsarakan.
Mohamad Taher dan Limin dari Silungkang; Saroen dari Piaggu, Bagindo Ratoe dari Silungkang, Hadji Bahaoedin dari Sawahlunto, Datoek Bidjo dari Tanjung Ampalu, dan Moenaf dari Sijantan, adalah deretan nama mubaligh yang dituduh PID, telah memprovokasi massa. Mendekati hari H, kembali marsose dan militer meringkus pimpinan Sarekat Rakyat Silungkang, seperti Bagindo Ratoe pada awal November (Sumatra Bode, 5 Januari 1927).
Stasiun Silungkang Onderafdeling Sijunjung pernah menjadi saksi dari Peristiwa 16 November 1926, kemudian meledak kembali pada 1 Januari 1927. Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/706467?solr_nav%5Bid%5D=e5f668e2a446be07949a&solr_nav%5Bpage%5D=0&solr_nav%5Boffset%5D=0

Peristiwa 16 November 1926: Revolusi Prematur yang Keburu Bocor

Empat orang tokoh di Silungkang menyusun rencana penyerangan ke penjara yang terletak di Sawahlunto. Dua di antara penggagas aksi massa itu adalah Haji Machmoed dan Datoek Bidjo, dari Nagari Tanjung Ampalu.
ADVERTISEMENT
Datuk Bidjo dan Haji Machmoed terus memantau bertambahnya 99 senjata klewang–yang diserahkan secara sukarela. Keduanya berharap dalam aksi sporadis itu, velpolitie yang bersimpati dengan gerakan perlawanan Kuminih segera turun tangan dan membantu mereka.
Komandan rumah pos kelas dua Sikalang, Inspektur Ponto memainkan peran penting dalam peristiwa 16 November 1926. Laki-laki kelahiran Talaud Manado tahun 1896 itu, mempunyai jejaring dengan veldpolitie di Sawahlunto. Ia diperbantukan pada detasemen di Sawahlunto. Selain itu, Ponto juga kerap berkomunikasi dengan Kopral Rumuat–mantan komandan rumah pos Sikalang–yang membawahi 12 orang veldpolitie. Baik Rumuat dan Ponto, bersimpati dengan perjuangan Kuminih di Silungkang (Deli Courant, 10 Januari 1927).
Rumuat memang mempunyai hubungan istimewa dengan pimpinan Silungkang. Ia didukung secara finansial, bahkan dimodali untuk bertahan di Sikalang. Pono dan Rumuat secara teratur melakukan perjalanan antara Sawahlunto dan Silungkang, untuk berhubungan dengan para pimpinan Kuminih, serta memberi tahu secara teratur kondisi terkini.
ADVERTISEMENT
Sarekat Rakyat Silungkang jelang 16 November 1926, makin gencar melakukan koordinasi dan menyebarkan pesan khusus, “..., segera setelah sinyal diberikan aksi sporadis harus dilakukan. Mereka akan siap menyerbu Sawahlunto,” demikian instruksi yang dikeluarkan Soeleiman Labai dan Radjo Katjik (Sufyan, 2021).
Selain itu, Zakasren Sigin - seorang polisi lapangan yang dipecat dari veldpolitie kembali ke kampung halamannya di Padang Panjang. Sigin kadang-kadang datang ke Sikalang, sehingga ada komunikasi yang kontinyu dengan Ponto dan Rumuat. Bila kembali ke Padang Panjang, ia menyampaikan pesan khusus pada H.M Nur Ibrahim - pimpinan redaksi Djago! Djago!
Di Nagari Sakalang, kelompok Kuminih bertanggung jawab untuk memicu aksi massa dengan meledakkan dinamit. Setelah meledaknya dinamit di Sikalang, Soeleiman Labay berharap kerusuhan akan menjalar ke Nagari Silungkang, Muara Kalaban, Sawahlunto, Durian, Lunto, Padang Sibusuk dan tempat-tempat lain.
ADVERTISEMENT
Sampai akhirnya, sebuah telegram memberitakan aksi massa 12-13 November 1926 telah meledak. Tanggal 15 November 1926, Sigin pun kembali dari Padang Panjang. Ia membawa pesan untuk Haji M. Nur Ibrahim, dengan instruksi untuk meledakkan perlawanan. Tapi Sigin mulai mencium, gerakan yang dirancang tergesa-gesa itu, berujung gagal. Rumuat yang juga menjadi andalan pimpinan Silungkang, juga tidak memiliki keberanian pada menit-menit terakhir.
Satuan marsose dan veldpolitie segera bergerak. Agar tidak memprovokasi masyarakat, langkah-langkah diambil sangat rahasia. Satuan veldpolitie langsung melakukan penyergapan. Akses utama ke Sawahlunto dijaga dari segala arah. Polisi meminta untuk menutup jalur alternatif. Mereka ingin segera memblokade ledakan dari aksi massa Kuminih.
Objek-objek vital di pusat Sawahlunto, dijaga ketat oleh polisi. Mobil disiapkan polisi, untuk menjaga kemungkinan terjadinya ledakan massa. Mereka menunggu di suatu titik antara Sawahlunto-Muaro Kalaban. Lebih dari 100 pita merah, pakaian, anjing, ditemukan oleh veldpolitie di Sikalang.
ADVERTISEMENT
Pada malam 16 November 1926, telah tersebar berita serangan akan dilakukan pada malam harinya di Padang Sibusuk, Silungkang dan Kubang. Revolusi prematur yang telah dirancang pun gagal. Penangkapan semakin gencar dilakukan. Belum termasuk klewang yang ditemukan, dan disita aparat keamanan dari lokasi penyimpanannya.
Pada 18 Novembar 1926, revolver pertama dari pimpinan Kuminih ditemukan veldpolitie tersembunyi di sebuah bunker di Silungkang. Dari massa yang tertangkap marsose, diketahui banyak klewang disembunyikan di perbukitan. Jumlah kiriman uang yang dilacak mencapai f 161, diperuntukkan bagi 100 parang yang dibuat pandai besi di Muaro Kalaban. Sementara senjata api juga disembunyikan. Saat menelusuri orang-orang yang terlibat aksi sopradis, ternyata kepala negari Teratak Bancah termasuk di antara penggerak peristiwa 16 November 1926 .
ADVERTISEMENT
Satuan marsose berhasil melumpuhkan perlawanan massa. Para pimpinan “pemberontak” yang berjumlah 20 orang –segera diringkus dan dikenai tuduhan melakukan upaya penggulingan kekuasaan dan telah merusak rust en orde. Mereka yang ditangkap marsose adalah Achmad gelar Sutan Saripado, Abbas, Abdoel Roesman, Barahim, Moh Joessof, Moh. Taher, Ponto, Rasad, Rumuat, Saleh gelar Datuk Bagindo Ratu, Saleh gelar Datuk Mangkuto, Salim, Sihab, Soai, Suleiman, Haji Soeleiman, Talaha, Rahim, dan Salih Pakih Maraji (Sumatra Bode, 10 Januari 1927).
Sisanya sekitar 15 orang telah melarikan diri dari pengejaran marsose dan veldpolitie. Di bawah koordinasi pimpinan Sarekat Rakyat Silungkang, kembali mereka menggelar aksi massa serupa yang dalam lembaran sejarah dikenang dengan Peristiwa Tahun Baru 1927, Peristiwa Silungkang, ataupun dalam banyak literatur menyebutnya Pemberontakan Silungkang.
ADVERTISEMENT