Konten dari Pengguna

Lenin & Parkoin Djago Djago, Kisah Unik Nama Anak Aktivis Sarekat Rakyat

Fikrul Hanif
Penulis, pengajar sejarah, dan dosen tamu dalam visiting scholar di Faculty of Art University of Melbourne, Australia
1 Agustus 2024 8:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fikrul Hanif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak dideklarasikan di Pasar Usang Padang Panjang, Sarekat Rakyat segera buncah di onderafdeling Padang Panjang. Mereka dengan mudah, memesona dan merekrut massa lewat isu-isu kapitalisme, kolonialisme, belasting yang menyengsarakan rakyat. Namun, di tengah aktivitas hingar bingar pergerakan, terselip kisah menarik untuk nama anak-anak dari aktivis pergerakan di onderafdeling Padang Panjang.
ADVERTISEMENT
Menggerakkan Sarekat Rakyat
Adalah Haji Ahmad Khatib gelar Datuk Batuah, Natar Zainuddin, Djamaluddin Tamim, dan Arif Fadhillah bergerak bersama untuk menumbuhkan Kuminih di Sumatra Westkust. Haji Datuk Batuah dan Djamaluddin Tamim bergerak bersama pers Pemandangan Islam. Mereka leluasa bergerak selaku guru di Sumatra Thawalib Padang Panjang.
Propagandis Sarekat Rakyat Padang Panjang. Dari kiri ke kanan: Djamaluddin Tamim, Natar Zainuddin, Haji Ahmad Khatib gelar Datuk Batuah, dan Arif Fadillah. Sumber: Sufyan, 2017.
Dua orang lainnya, Natar Zainuddin dan Arif Fadhillah bergerak lewat surat kabar Djago! Djago! – yang mengusung motto soeara merdeka kaoem melarat. Keempat propagandis turut bergerak dalam lembaga kader – yang mereka beri nama Internationale Debating Club. Lembaga kader yang sukses membentuk kader militan dan memperjuangkan idealisme Kuminih untuk kalangan grass root.
Sesekali, mereka mengadakan acara debat untuk kalangan kadernya di Bufet Merah. Jadi maka jadilah Oktober 1923, Sarekat Rakyat dengan cepat membesar, massa makin bertambah, artikel-artikel protes mereka pun membuat muka Residen Sumatra Westkust padam. Beragam isu protes, telah menghiasi surat kabar kiri, mulai dari Pemandangan Islam, Djago! Djago!, Doenia Achirat, Njala, Petir, dan Torpedo.
ADVERTISEMENT
Nada-nada protes yang mereka tulis – dituding sebagai ujaran kebencian oleh pembesar Hindia Belanda. Tudingan tidak saja disasar untuk Olanda, namun juga untuk para otoritas adat –yang menghambakan diri pada kulit putih.
Lenin, Anak Pertama Haji Datuk Batuah
Di tengah dunia pergerakannya, ada hal yang menggelitik. Terutama untuk di kalangan keluarga Sarekat Rakyat, ketika memberi nama untuk anak-anaknya. Adalah Haji Datuk Batuah – leader Sarekat Rakyat Padang Panjang – dari pernikahannya dengan Saadiah – perempuan asal Nagari Koto Laweh, afdeling Tanah Datar.
Dari pernikahannya lelaki bertubuh tambun dan berkumis lebat itu, dikaruniai tiga orang anak. Masing-masing bernama Lenin, Sjaukani, dan Nawabijah. Lenin? Ya, nama itu telah dipersiapkannya, ketika mengetahui berita kehamilan istrinya sudah menginjak usia 6 bulan. Haji Datuk Batuah yang berada di perjalanan dari Solo menuju pelabuhan Tanjung Priok.
ADVERTISEMENT
Kekagumannya pada sosok Lenin, kian menguat – ketika Haji Datuk Batuah memperoleh beberapa salinan tulisan dari Lenin. Jadi, maka jadilah. Ketika istrinya melahirnya seorang bayi laki-laki diberi nama Lenin. Ia begitu bangga dengan kelahiran bayinya.
Ketika, ia dibuang ke Tanah Merah, Boven Digul Papua pada 1927– Saadiah memboyong Lenin menyusul Haji Datuk Batuah. Di tanah Merah, Haji Datuk Batuah kemudian dikaruniai dua anak dari Saadiah, diberi nama Sjaukani dan Nabawijah. Namun, ketika dipindah ke Cowra Australia, Saadiah memboyong kembali ketiga anaknya ke Nagari Koto Laweh, afdeling Tanah Datar.
Parkoin Djago Djago, anak ketiga Arif Fadillah
Tokoh lainnya dari redaktur Djago! Djago! yang unik memberi nama untuk anaknya adalah Arif Fadillah gelar Sutan Maharajo. Laki-laki kelahiran Nagari Bungo Tanjuang, afdeling Tanah Datar itu, usianya lebih muda 4 tahun dari leader Sarekat Rakyat – Haji Datuk Batuah.
ADVERTISEMENT
Semasa aktif selaku ideolog Kuminih di IDC, Arif turut serta membangun basis massa jelang peristiwa 16 November 1926 dan memuncak dengan aksi massa di Silungkang pada 1 Januari 1927. Selain itu, di kampung halamannya, laki-laki yang kerap disapa Guru Buyuang itu ikut membesarkan basis massa Kuminih di Bungo Tanjuang dan Nagari Pitalah.
Sejak revolusi prematur 1 Januari 1927 dengan mudah dipadamkan, Arif Fadillah pun menyusul Haji Datuk Batuah dan Natar Zainuddin ke tanah pembuangan, Boven Digoel. Dari buah pernikahannya dengan Djamalijah, ia dikaruniai dua anak kembar perempuan. Di tanah pembuangan, ia meneruskan pekerjaan yang sebelumnya ia geluti, yakni sebagai guru.
Di akhir kekuasaan Kolonial Belanda, ketika pasukan Dai Nippon bergerak menyerang Papua, Van der Plass – yang telah mendapat izin dari pemerintah Australia, untuk memindahkan seluruh tahanan politik [ia mengelabui dengan menyebutnya kriminal] ke Cowra New South Wales pada 1943.
ADVERTISEMENT
Bila Haji Datuk Batuah mengembalikan keluarganya ke Koto Laweh, berbeda dengan Arif Fadhillah yang memboyong keluarganya ke Australia. Arif Fadillah berangkat lebih dulu ke Australia menumpang kapal S.S Both dan mendarat di pelabuhan pada 22 Juni 1943.
Djamalijah masa itu telah berbadan dua, memboyong kedua anak perempuannya dari Digoel pada 4 Juni 1943. Ia turun dari pelabuhan di Australia pada 16 Juli 1943. Arif dan keluarganya menempati P.O.W Camp no.12 Cowra New South Wales Australia.
Parkoin Djago Djago - anak ketiga dari Arif Fadillah (pengurus Sarekat Rakyat Padang Panjang) yang dilahirkan di Rumah Sakit di Cowra Australia pada 20 November 1943. Sumber: dokumentasi Arif Fadillah.
Tepat pada 20 November 1943, Djamalijah dirujuk ke Rumah Sakit di Cowra untuk melahirkan. Dari catatan Internee Prisoner of War diketahui, bahwa anak ketiga dari Arif Fadhillah ini sempat dirawat cukup lama selama di rumah sakit. Anak bungsunya itu dirawat sampai tanggal 28 November 1943 dan baru berkumpul kembali dengan Djamalijah.
ADVERTISEMENT
Arif Fadillah yang memboyong kembali anak ketiganya itu ke camp Cowra pada awal Desember 1943, menamakannya Parkoin Djago Djago. Tentu nama ini cukup asing. Sebab, jarang sekali seorang laki-laki Minang memberi nama anaknya dengan nama itu.
Biasanya, orang Minang memberi nama anaknya dengan pelafalan Arab, semisal Samsudin, Amirudin, Rajab, dan lainnya. Namun, berbeda dengan Arif Fadillah – yang masa itu masih dibawah bayang-bayang ingatannya pada surat kabar yang pernah ia redakturi, yakni Djago! Djago! – dalam bahasa Minangkabau berarti bangun! bangun!
Untuk Parkoin sendiri adalah akronim dari Partai Komunis Indonesia. Meskipun, Arif Fadillah sejak kepergian Natar Zainuddin dan Haji Datuk Batuah, cukup dekat dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka, namun ia belum tertarik bergabung dengan Partai Republik Indonesia (PARI). Dan, penamaan Parkoin untuk putranya juga tidak lepas dari bayang-bayang kebesaran dari revolusi Silungkang – yang mudah dipatahkan oleh tentara marsose dan veldpolitie.
ADVERTISEMENT
*Siapapun yang mengutip artikel ini, cantumkan lah nama penulis sebagai penghargaan terhadap hasil tulisannya.