Konten dari Pengguna

Mansur Dt Palimo Kayo, Sang Revolusionernya PERMI

Fikrul Hanif
Penulis, pengajar sejarah, dan dosen tamu dalam visiting scholar di Faculty of Art University of Melbourne, Australia
5 September 2024 12:44 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fikrul Hanif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fikrul Hanif Sufyan - periset, pengajar sejarah, dan pernah menjadi dosen tamu dalam Visting Scholar di Faculty of Art University of Melbourne Australia
ADVERTISEMENT
Namanya tiba-tiba mencuat di pertengahan September 1935. Mulai dari Tjaja Sumatra, Sinar Sumatra, Sumatra post, Sumantra courant, Sumatra Bode, dan beberapa surat kabar lainnya membicarakan putra dari ulama modernis Minangkabau terkenal, Syekh Daud Rasjidi. Kisah perjalanan dari aktivis Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) ini makin mengemuka, ketika Sumatra-bode pada 27 September 1935 menyematkan gelar, Sang Revolusioner dari Minangkabau untuk Mansur Daud Dt. Palimo Kayo.
Terlahir di Nagari Balingka
Laki-laki kelahiran Nagari Balingka, Kelarasan IV Koto Afdeling Oud Agam, Sumatra Westkust pada 10 Maret 1905. Ayahnya seorang ulama modernis, murid terbaik dari Haji Abdul Karim Amrullah, sekaligus pendiri dari Diniyahschool Balingka (Palimo Kayo, 4 Desember 1980).
Mengawali pendidikannya di vervolgschool pada 1912 di Balingka, kemudian ia lanjutkan ke Gouvernementschool di Lubuk Sikaping. Naik ke kelas IV, Mansur Daud dibawa pindah ke Padang Panjang, dan melanjutkan strata pendidikannya untuk kelas V di Gouvernementschool.
ADVERTISEMENT
Semasa di Padang Panjang, inilah ia belajar mengaji dengan Inyiak Adam Balai-balai – atau dalam narasi Sejarah Minangkabau dikenang dengan nama Inyiak Adam BB. Ia juga termasuk murid dari ayahnya Hamka semasa di Surau Jembatan Besi.
Setelah menamatkan pendidikannya di Gouvernementschool tahun 1917, Mansur Daud meneruskan pendidikannya di Sumatra Thawalib Padang Panjang. Daud Rasjidi tentu punya maksud tertentu menyekolahkan anaknya di sekolah Islam modernis tersebut (Palimo Kayo, 4 Desember 1980).
Sekolah yang dibina oleh muridnya Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi itu, rupanya sudah menarik perhatian calon murid asal Jambi, Benkoelen, Tapanuli, bahkan hingga ke Aceh. Sifat dan tabiat Mansur banyak berubah, sejak belajar di Thawalib.
Selain belajar di Thawalib, Mansur yang sudah berusia 12 tahun, juga belajar mengaji dengan Zainuddin Labay El-Yunussy di Diniyahschool. Sekali seminggu, Mansur bersama murid dari Thawalib dan Diniyahschool berkumpul di ruangan redaksi majalah Al-Munir yang dipimpin Labay – murid kesayangan dari Haji Rasul. Mereka berkumpul, untuk mengikuti acara debat di Internationale Debating Club (IDC)¬–yang digelar oleh kakak kandung dari Rahmah El-Yunussiah itu.
ADVERTISEMENT
Setamat dari Thawalib pada 1923, Mansur berangkat ke Tanah Haram, untuk menunaikan ibadah haji. Ia pun mendalami Islam di Mekah dengan Syekh Abdul Qadir Al-Mandiliy. Setahun berjalan, ia terpaksa kembali ke ranah Minang. Sebab, sedang berkecamuk perang antara Raja Sjarif Hosein dengan Raja Abdul Aziz Assaud. Sebagaimana yang dinarasikan oleh para sejarawan, konflik itu dimenangkan oleh Abdul Aziz.
Setibanya di ranah Minang, Mansur melanjutkan studinya di Thawalib Parabek – yang dibina oleh Syekh Ibrahim Musa. Pasca menamatkan studinya di Parabek, Mansur berdakwah dari Medan hingga ke Penang Malaysia. Di sinilah ia berjumpa dengan sahabat dari Inyik De eR, yakni Syekh Thaher Djalaluddin.
Kisahnya menemani Syekh Thaher Djalaluddin inilah, yang membawa perjalanannya untuk belajar di India pada 1925. Selama berada di tanah kelahiran Mahatma Gandhi, ia berguru pada Syekh Abdul Azat di Jamiah Islamiyah Loknow, Syaukat Ali dan Muhammad Ali di Islamic College India. Di kedua perguruan tinggi di India itu, Mansur menyelesaikannya tahun 1930.
Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo bersama Fatimah Hatta (istri). Semasa hidupnya, Datuk Palimo Kayo dikenal sebagai aktivis PERMI, politiisi Masyumi, Duta Besar Indonesia untuk Irak (1956–1960), dan Ketua Majelis Ulama Indonesia Sumatra Barat pertama. Sumber: dokumentasi H.M.D Palimo Kayo.
Berkancah di PERMI
ADVERTISEMENT
Setamatnya belajar di India, laki-laki yang kelak dikenal dengan nama Datuk Palimo Kayo itu, kembali ke ranah kelahirannya. Tepatnya diusia 25 tahun. Kembalinya Datuk Palimo Kayo bertepatan dengan terbentuknya Persatutuan Muslimin Indonesia (P.M.I) – sebagai hasil dari Kongres Sumatra Thawalib tanggal 22-27 Mei 1930 di Fort de Kock (kini: Bukittinggi).
Organisasi pergerakan – oleh sebagian kalangan disebut sebagai partai lokal – yang mengusung dua ideologi, yakni Islam dan kebangsaan, itu pun merekrut Datuk Palimo Kayo selaku anggotanya. Dua bulan kemudian, tepatnya tanggal 5-9 Agustus 1930, digelarlah Konferensi pertama P.M.I. Konferensi itu, menetapkan Haji Abdul Madjid selaku ketua, Haji Iljas Jacob (wakil ketua), Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo (sekretaris umum), dan Haji Syuib el-Yutusy sebagai (bendahara).
ADVERTISEMENT
Kiprahnya di P.M.I, menandai awal pergerakannya di panggung politik vis a vis dengan pemerintah Kolonial Belanda. Setahun berselang, P.M.I berganti akronim menjadi PERMI. Perubahan ini, terjadi pada Konferensi II pada 9-10 Maret 1931. Dalam putusannya PERMI menegaskan sebagai partai yang non kooperatif terhadap Kolonial Belanda. Posisi ketua beralih ke Haji Djalaluddin Thaib, sedangkan Datuk Palimo Kayo masih memegang posisi sama, yakni sekretaris umum.
Di usia 26 tahun, Datuk Palimo Kayo telah dikenal selaku orator ulung. Kelihaian Datuk Palimo Kayo dalam berdiplomasi dan geraknya yang revolusioner, makin mengemuka dan menjadi bahan perbincangan di kalangan Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Sampai akhirnya, ia pun tersandung kasus spreekdelict
Revolutionnaire Minangkabauer yang Tersandung Spreekdelict
Kisahnya bermula dari Medan. Memasuki awal tahun 1934, tablig PERMI di Medan, makin kurang diminati. Bahkan, saking kurangnya acara tabligh PERMI urung dilaksanakan, karena sepi penonton. Mereka pun mensiasati dengan menghadirkan orator muda, yang mendapuk Sekretaris Umum PERMI.
ADVERTISEMENT
Para pengurus PERMI di Medan sudah kehilangan akal, untuk meningkatkan minat masyarakat untuk mendukung perjuangan mereka. Mereka pun menggantungkan harapan pada Datuk Palimo Kayo, untuk menghidupkan kembali minat dan ketertarikan masyarakat.
Diawali dengan sambutan dari Mangaradja Lhoetan pada dan Abdoel Ralum pada 2 Mei 1934, Datuk Palimokayo didaulat untuk membakar semangat umat Islam – lewat pidatonya yang menggelora di Medan pada 9 Mei 1934. (Sumatra-bode, 1935).
Penampilan orasi Datuk Palimo Kayo memang memukau. Ia tampil menyerang kebijakan Kolonial Belanda, kapitalisme, belasting yang menyengsaran di masa depresi ekonomi. “Orang ini telah mengambil suara yang menentang kekuasaan yang ada dalam sebuah ceramah di sebuah tabligh PERMI di Medan” (de Sumatra post, 1935).
ADVERTISEMENT
Akibatnya, Datuk Palimo Kayo pun dituntut Spreekdelict. Dia dituding melanggar Pasal 153 Wetboek van Strafrecht. Dalam pasal itu berbunyi, “Barangsiapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan, tulisan atau gambar menganjurkan supaya ada gangguan terhadap ketertiban umum, atau supaya ada penggulingan atau penyerangan terhadap kekuasaan yang ada di negeri Belanda atau di Hindia Belanda atau supaya ada pemungutan suara untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus gulden.”
Perintah penahanan segera dikirim kepada Datuk Palimo – yang berada di Padang Panjang. “Datuk Palimo Kayo dibawa ke Medan setelah ditangkap. Dia tiba pagi hari. Sambil menunggu sidang kasusnya oleh Landraad, ia telah ditempatkan dalam penahanan preventif.” (de Sumatra post, 1935).
ADVERTISEMENT
Datuk Palimo Kayo pun ditahan di sel penjara Bukittinggi pada 10 Desember 1934, kemudian dipindahkan ke Penjara Suka Mulia Medan. Ia diajukan ke Landraad Medan pada 24 September 1935. Dalam interogasi yang dilakukan jaksa, Datuk Palimokayo telah selama 14 kali berurusan dengan Pasal 153, namun seluruhnya berakhir dengan pembebasan.
Beberapa media berbahasa Belanda yang meliput beritan sidang Datuk Palimo Kayo, melontarkan pujian terhadap laki-laki berusia 30 tahun itu. De Sumatra Post menyebutnya sebagai orator yang berpengaruh dan terkemuka; pembicara terbaik dan paling berguna di PERMI.
Surat kabar lainnya menyebut, Datuk Palimo Kayo sebagai “pendekar mulut” – yang dimaknai seseorang yang mengetahui seni berpencak, berorasi, dan berdiplomasi dengan sempurna (De locomotief, 1935).
ADVERTISEMENT
Sebutan yang sama, juga disematkan Sumatra-bode (1935) bahwa Datuk Palimo Kayo merupakan orang yang paling berpengaruh di PERMI, bahkan dianggap penasihat spiritualnya PERMI.Bahkan, surat kabar ini menyebut, ia seorang revolusioner dari Minangkabau, pembicara yang handal, dan menjadi pimpinan utama untuk propaganda Permi di luar Minangkabau.
Tidak hanya Datuk Palimokayo yang berurusan dengan spreekdelict, dua orang pembicara lainnya turut dikenai pasal karet tersebut. Mangaradja Lhoetan, direktur utama Sinar Deli dan Abdoel Rachim, yang berprofesi sebagai tukang cuci dituntut dengan pasal yang sama.
Dalam empat kali persidangan di Landraad Medan, Datuk Palimo Kayo yang didampingi pengacara Mr. Moh. Joesoef, akhirnya dijatuhi hukuman satu tahun penjara, tanpa pemotongan masa tahanan. Ia divonis akibat menganggu rust en orde dan melanggar Pasal 153. Datuk Palimo Kayo pun dibebaskan dari Penjara Suka Mulia Medan pada 24 September 1936 (de Sumatra post, 1936).
ADVERTISEMENT
*bila ingin mengutip, hargailah penulis artikel dengan menuliskan nama dan judul artikelnya