Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Menjemput Gelar Pahlawan Nasional untuk Chatib Sulaiman
8 Januari 2025 23:16 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Fikrul Hanif Sufyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Barangkali penegasan itu pantas digaungkan, mengingat sejak diajukan pada 2019, gelar pahlawan nasional belum kunjung dianugerahi pada Chatib Sulaiman. Sebagai catatan penting, anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang diangkat oleh Bung Karno pada 1947, sekaligus Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD) di masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) itu, tewas bersimbah darah dalam aksi genosida yang dilakukan serdadu belanda dalam Peristiwa 15 Januari 1949. Tentu banyak yang bertanya, siapa Chatib Sulaiman?
ADVERTISEMENT
Lahir di Sumpu dan Bergerak di Padang Panjang
Laki-laki bertubuh tinggi besar itu lahir pada 1906 di Nagari Sumpur, Afdeling Tanah Datar. Ayahnya bernama Haji Sulaiman – seorang saudagar yang bermukim dan berniaga di Pasar Gadang Padang. Sedang ibunya bernama Siti Rahmah (Riwayat Hidup dan Perjoangan Chatib Suleiman, 1973). Terlahir dari suku Sumagek, Chatib bertumbuh di Pasar Gadang Padang – sebuah kawasan sibuk dalam transaksi jual-beli dan untuk urusan ekspor impor pada masa Kolonial Belanda hingga tahun 1970an.
Mengawali pendidikannya di Gouvernementschool, kemudian melanjutkannya di HIS Adabiah sebagai prasyarat memasuki Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang. Namun, sayang sekolahnya di MULO hanya sampai di kelas 2 karena ia kerap memprotes kebijakan sekolah, ditambah kesibukannya memainkan biola untuk film bisu di sejumlah bioskop di gemeente Padang. Meskipun putus dari MULO, Chatib berubah menjadi seorang yang otodidak (Sufyan, 2020).
ADVERTISEMENT
Dunia dan pandangannya berubah, tatkala ayah angkatnya juga seorang saudagar kaya dan tokoh dibalik pergerakan di Sumatra Barat – yang bernama Abdullah Basa Bandaro, mengajak Chatib ke ibukota Afdeling Batipuh X Koto, Padang Panjang.
Di kota garnizun ini, Chatib menjadi guru di HIS Muhammadiyah dan Madrasairsyadunnas, kemudian ia aktif mewarnai dunia pergerakan. Mulai dari merintis berdirinya Kepanduan Indonesia Muslim (KIM) pada Juli 1931 dan merintis Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) Cabang Sumatra Barat pada Desember 1932 (Kahin, 1979).
Di PNI Baru, Chatib merumuskan pendidikan politik untuk rakyat, taktik dan strategi–yang diarahkan pada kader-kader PNI Barunya Hatta–Sjahrir itu. Chatib tidak saja mengkader juga menanamkan nilai-nilai nasionalisme pada masyarakat melalui pers yang ia rintis bersama Leon Salim, yakni majalah “Pemberi Sinar” di Padang Panjang (Sufyan, 2023).
ADVERTISEMENT
Politik represif Kolonial Belanda terhadap kaum pergerakan dengan ancaman di-Digoel-kan, memaksa Chatib mundur dari dunia pergerakan. Pasca mundur dari dunia pergerakan, Chatib kembali menjadi pendidik.
Lewat bantuan seorang konglomerat, pemilik Bank Nasional dan PT Inkorba, Chatib mendirikan sekolah “Merapi Institut” tahun 1935 di Padang Panjang. Yang membedakan sekolah yang dirintis Chatib ini, dengan lainnya adalah menolak subsidi dari pemerintah Hindia Belanda.
Dua tahun setelah mendirikan Merapi Institut, Chatib kemudian merintis sekolah Seminary Islam di Padang Panjang. Tujuannya adalah melahirkan calon-calon guru agama Islam. Melihat kepiawaian Chatib memenej sekolahnya, Anwar Sutan Saidi pun meminta Chatib untuk mengelola PT. Inkorba.
Anwar juga menugasi Chatib sebagai Wakil Direktur Persatuan Dagang Bumiputera, serta mengelola perusahaan untuk kemandirian ekonomi bangsa. Setelah duduk di Persatuan Dagang Bumiputra, Chatib segera melakukan koordinasi, untuk melawan korporasi asing yang menguasai perekonomian Sumatra Barat dari tahun 1938 sampai 1940.
ADVERTISEMENT
Dari Tuntutan Indonesia Merdeka hingga Merintis Giyugun
Pada 1940, Chatib memutuskan mengakhiri “puasa”nya di dunia pergerakan. Di akhir kekuasaan Hindia Belanda, Chatib Sulaiman dengan beberapa kawannya mempersiapkan gerakan tanggal 12 Maret 1942. Mereka menuntut Asisten Residen Padang Panjang mengakui Merah Putih, dan kemerdekaan Indonesia (Sufyan, 2020).
Aksi protes yang digagas eks PNI Baru dan PSII Sumatra Barat itu gagal, karena rencana keburu bocor. Akibatnya Chatib Sulaiman bersama Leon Salim, Murad Saad, Chaidir Gazali, St Rajo Bujang dan Dt Mandah kayo diciduk veldpolitie dan Politieke Inlichtingen Dienst (PID) tanggal 11 Maret 1942. Mereka dituduh merebut kekuasaan. Mereka pun dibuang ke Kutacane (Aceh Selatan) selama delapan hari (Salim, 1980).
Pasca hengkangnya Belanda, pemerintah Dai Nippon merekrut Chatib untuk masuk dalam organisasi bentukannya, yakni Pemuda Nippon Raya (1942), Minangkabau Syu Sangi Kai (1943), dan Minangkabau Hokokai tahun 1944) (Atjeh Sinbun, 18 Zyu-Iti-Gatu 2604). Sumbangsih terbesar Chatib jelang Indonesia merdeka dan pada TNI adalah perekrutan pemuda dalam barisan Giyugun (Zed, 2005).
ADVERTISEMENT
Pada pertengahan tahun 1943, Chatib mengusulkan kepada Gubernur Sumatra Barat Yano Kenzo, untuk segera membentuk barisan militer diberinama Laskar Rakyat. Usul ini langsung ditanggapi, setelah Komando Angkatan Darat yang berkedudukan di Saigon, Vietnam mengeluarkan perintah untuk segera membentuk Kyodo Boei Giyugun pada 8 September 1943.
Panglima Tentara ke25 Tanabe memberi kewenangan penuh kepada Gubernur Yano Kenzo untuk melaksanakan pembentukan tentara sukarela Giyugun. Pada 14 Oktober 1943, Chatib Sulaiman memimpin dan memelopori terbentuknya panitia untuk pembentukan Giyugun, dengan nama Giyugun Konsetsu Honbu (Salim, 1980).
Sejak bertanggung jawab dalam Giyugun, Chatib sibuk berkeliling Sumatera Barat untuk merekrut calon perwira Giyugun, sebagian besar waktunya digunakan untuk bolak-balik antara Padang dan Bukittinggi.
Jumlah tentara Giyugun di Sumatra Barat dalam catatan awal berjumlah 1000 orang, dengan jumlah tertinggi 2000 orang dengan pangkat tertinggi Letnan Satu (1 orang), 40 orang berpangkat Letnan Dua, dan 80 orang setingkat Bintara. Seluruh pasukan Giyugun menjalani latihan selama tiga sampai enam bulan (Sufyan, 2020).
ADVERTISEMENT
Tetap Bersahaja Memasuki Birokrasi Pemerintahan
Di awal kemerdekaan, setelah terbentuknya Badan Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI) di Pasar Mudik Padang, pada 29 Agustus 1945 Chatib Sulaiman mengadakan rapat di Padang. Rapat itu merekomendasikan, sesegera mungkin perlu dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) di daerah-daerah. Giyugun inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya TNI di Sumatera Barat (Kementerian Penerangan, 1954).
Pada saat yang sama, di akhir Agustus 1945 Chatib dilantik sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Sumatera Barat. Setelah pelantikannya, pada pertengahan September 1945, ia menghadiri Sidang Pleno KNIP di Malang bersama-sama Dr.a.Rahim Usman PR dan Marzuki Jatim (Diary Chatib Sulaiman, September 1945).
Karir birokrasinya melejit, ketika Chatib ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Kemakmuran Sumatera Barat. Pada tanggal 1 Oktober 1946, Chatib menyelenggarakan Konferensi Kemakmuran yang menghasilkan beberapa putusan penting, di antaranya NV. Veem dan badan usaha milik Belanda yang ada di Sumatra Barat, diserahkan dan dikelola oleh Persatuan Saudagar Sumatera Barat dan Jawatan Kemakmuran (Sufyan, 2020).
ADVERTISEMENT
Rupanya, tidak sampai di sana saja karir Chatib. Tiga bulan setelah menjabat Jawatan Kemakmuran, Sidang Pleno KNI ke-8 tanggal 4-6 Januari 1947 di Bukittinggi merekomendasikan kepada Bung Karno, untuk menetapkan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat asal Sumatra Barat. Kemudian Bung Karno menetapkan penetapan lima orang anggota KNIP, yakni Tedjakusuma, Marzuki Jatim, Haji Ahmad Chatib gelar Datuk Batuah, Dr. A. Rahim Usman, Bachtaruddin, dan Chatib Sulaiman (Salim, 1980).
Hidupnya Berakhir di Medan Juang
Medan perjuangan Chatib Sulaiman tidak pernah berakhir, jelang wafatnya. Pada 1947 dalam rapat yang digagas Wakil Presiden Moh. Hatta di Bukittinggi, Chatib Sulaiman mendampingi Buya Hamka memimpin Front Pertahanan Nasional (FPN). Chatib yang terpilih selaku Sekretaris FPN bertugas untuk mempersatukan seluruh laskar perjuangan yang dibentuk oleh partai politik. Selain itu, Chatib Sulaiman juga bertugas untuk membentuk Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK).
ADVERTISEMENT
Pengabdiannya di masa revolusi kemerdekaan, kembali berlanjut. Pada tahu 1948 Chatib dilantik sebagai Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD) Sumatra Barat. MPRD merupakan lembaga keamanan dalam membangun kekuatan pertahanan dan keamanan rakyat sipil, untuk mempertahankan eksistensi negara lewat Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). MPRD juga menjadi organ utama perjuangan di masa PDRI (Sufyan, 2020).
Sejak disahkan selaku Ketua MPRD, Chatib terus melakukan kunjungan sampai ke pedalaman Sumatra Barat, melakukan koordinasi dengan Bupati Militer, Wedana Militer, Wali perang, Ketua MPRK/MPRN, Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), Mobilie Brigade (kini: Brimob), Pasukan Mobil Teras (PMT), dan Badan Pertahanan Nagari/Kota (BPNK).
Pada pertengahan Januari 1949, Chatib Sulaiman dalam kapasitasnya sebagai Ketua Markas Pertahanan Daerah (MPRD), diberikan mandat oleh Gubernur Militer Mr. Sutan Moh. Rasjid untuk mengemban tugas negara, menghadiri rapat rahasia di Nagari Situjuh.
ADVERTISEMENT
Bertolak dari Nagari Koto Tinggi dan berjalan kaki sejauh 22,6 kilometer menuju Situjuah Batua, Chatib dikawal oleh seorang sipil berangkat membawa dokumen-dokumen penting negara untuk menghadiri rapat besar di Situjuh. Tujuan rapat itu adalah menyusun strategi merebut Kota Payakumbuh dan mengusir tentara Belanda (Zed, 1997).
Namun, tidak seorang pun yang mengikuti rapat rahasia di Lurah Kincia Nagari Situjuah Batuah itu, punya firasat buruk jelang Subuh tanggal 15 Januari 1949 . Tiba-tiba sepasukan tentara Belanda menghujani rumah Mayor Makanuddin HS dengan senjata mesin.
Seorang Camat Militer bernama Ruslan Saleh dalam Sufyan (2020) memberikan kesaksiannya: “Pada saat yang menegangkan itu, saya melihat Chatib Sulaiman berdiri memegang pistolnya, sambil tangan kirinya menyandang buntalan berisi surat-surat dan instruksi gubernur militer (baca: Mr. Sutan Moh. Rasjid)... Beliau mempertahankan dokumen-dokumen tersebut mati-matian dan memberikan perlawanan dengan menembakkan pistolnya beberapa kali”.
Chatib Sulaiman bersimbah darah pada waktu subuh, tanggal 15 Januari 1949 di Lurah Kincia Nagari Situjuh Batua. Ia tertembus peluru tajam dari senapan seorang serdadu Belanda dari punggung tembus ke jantungnya.
ADVERTISEMENT
Tidak seorang pun serdadu Belanda yang mengetahui raut wajahnya. Hanya Ruslan yang bersaksi, seorang serdadu membalikkan tubuh pengurus Partai Sosialis Indonesia (PSI) Sumatra Barat yang sekarat dan menusukkan bayonet ke jantungnya.
Chatib yang tewas bersimbah darah dengan beberapa orang sipil dan militer lainnya, kemudian dimakamkan masyarakat tidak jauh dari lokasi kejadian, di Lurah Kincia, Nagari Situjuah Batua Kabupaten Limapuluh Kota, Propinsi Sumatra Barat.
Dari pengabdiannya pada negara hingga tetes terakhir darahnya, sudah selayaknya Chatib Sulaiman dianugerahi oleh Presiden Prabowo Subianto dengan gelar Pahlawan Nasional pada November 2025 nanti.
*Fikrul Hanif Sufyan adalah penulis buku “Sang Republiken. Biografi Chatib Sulaiman”