Di Balik Topeng Demokrasi Bangsa

Fina Raihana
Mahasiswa Sosiologi Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
22 Mei 2023 19:08 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fina Raihana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Foto: Pexels/Engin Akyurt
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Foto: Pexels/Engin Akyurt
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia telah dijajah oleh bangsa lain selama ratusan tahun lamanya. Perlakuan kolonial yang tidak memanusiakan manusia pada saat itu terus berlanjut hanya untuk keuntungan sepihak.
ADVERTISEMENT
Seluruh hal yang berada dalam bumi Indonesia dieksploitasi baik sisi alam maupun sisi manusia. Struktur feodalisme bahkan sangat jelas terasa miris melihat golongan pribumilah yang berada di tingkatan paling bawah.
Pribumi seakan tidak memiliki hak memilih, berbicara, dan melawan. Dalam prosesnya, muncul kaum terpelajar dengan adanya politik etis yang digaungkan oleh Douwes Dekker dalam buku Max Havelaar.
Dari sinilah, mulai muncul tokoh-tokoh dari rakyat yang paham dan mengharapkan kemerdekaan. Demokrasi sendiri secara tidak langsung telah diterapkan dalam proses ini. Dari rakyat untuk rakyat, begitulah prinsipnya.
Sistem demokrasi sendiri sangatlah melekat pada ideologi bangsa kita yakni Pancasila. Di dalamnya terdapat sila ke-4 yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia harus saling mengedepankan musyawarah atas asas kerakyatan sehingga dapat bersama-sama memecahkan masalah.
Ilustrasi Garuda Pancasila. Foto: Shutter Stock
Dengan menganut sistem demokrasi, seluruh rakyat Indonesia dapat memiliki hak nya masing-masing untuk berkontribusi dan membela negeri. Dalam kemerdekaannya, demokrasi memberi ruang bagi rakyat untuk secara tidak langsung memimpin negeri melalui hak bersuara. Namun, dalam perjalanannya apakah sistem demokrasi di Indonesia berjalan dengan baik saat ini?
ADVERTISEMENT
Melihat berbagai macam hal yang terjadi di dalam negeri, saat ini Indonesia tengah mengalami kemerosotan makna dan kekuatan dari demokrasi itu sendiri. Pandemi membuat masyarakat tidak berdaya dan justru memunculkan celah bagi kalangan elite untuk semakin berinovasi dalam menunaikan kepentingan pribadi.
Kesejahteraan rakyat sudah tidak lagi dilibatkan dalam membangun negeri. Mulai muncul kebijakan-kebijakan yang dirasa tak dapat diterima oleh akal sehat dengan alasan demi kesejahteraan rakyat, berlandaskan hak asasi manusia, ataupun rakyat yang tidak paham akan potensi pemberlakuan terhadap kebijakan-kebijakan tersebut.
Pemerintah lupa bahwa siapapun yang menjadi rakyat, tidak memandang tinggi rendahnya pendidikan maupun jenis pekerjaan, memiliki hati nurani yang mengetahui apakah itu benar atau salah. Mana saja kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat atau tidak. Rakyat tidak bodoh, maka dari itu rakyat bersuara.
ADVERTISEMENT
Namun sekali lagi, suara rakyat saat ini kerap kali tidak didengar. Ada banyak kebijakan kontroversial yang membuat rakyat resah namun tak kunjung mendapat perhatian dan klarifikasi dari pemerintah. Hal ini dibuktikan dari beberapa aksi demo yang dilakukan oleh mahasiswa terutama dalam menuntut kebijakan-kebijakan pemerintah beberapa tahun terakhir ini.
Massa BEM SI mengelar aksi unjuk rasa menolak RKUHP di DPR, Jakarta, Kamis (15/12/2022). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Tentu kita masih ingat kasus pemecatan 57 anggota KPK dengan embel tidak memenuhi kriteria tes wawasan kebangsaan yang secara proses pun terasa sangat ganjal. Aksi demonstrasi mahasiswa yang menuntut untuk tidak memberhentikan sejumlah anggota tersebut di antaranya seperti Novel Baswedan, Hotman Tambunan, dan sebagainya tetap saja tidak dipertimbangkan.
Di lain sisi, pemerintah kini hadir dengan RKUHP yang cukup mengundang kontroversial. Dalam RKUHP tersebut di antaranya berfokus pada hukuman bagi pihak-pihak yang melakukan penghinaan terhadap pemerintah maupun aksi demonstrasi. Hal ini cukup menjadi bukti yang jelas dan nyata bahwa Indonesia yang bersifat demokratis perlahan ingin digeser menjadi bangsa yang apatis.
ADVERTISEMENT
Kepentingan kaum elite lebih diutamakan daripada nilai luhur yang sedari dulu terus berusaha diabadikan. Pemerintah terus melakukan pesta, sementara rakyat terus berteriak di luar gedung sana. Seakan demokrasi tak lagi dianggap berharga.
Entah suara rakyat yang terlalu sia-sia atau kaum elite politik yang sudah berada di luar batasnya. Inilah negeriku, negeri yang dengannya dahulu melawan penjajah dengan kata “Merdeka!”, dari rakyat biasa yang berani melawan si tuan kolonial yang berkuasa. Kini menjadi rakyat yang merdeka namun merampas hak berdemokrasi bangsanya.