Jangan Panggil Saya Bunda

finaisme
Wander Mother. @finaisme @totallyrendang
Konten dari Pengguna
18 Januari 2018 10:07 WIB
comment
21
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari finaisme tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya inget banget waktu itu masih berstatus anak SMP saat terkesan dengan panggilan 'bunda'. Saat itu ada teman yang begitu berbinar-binar kalo berkisah, termasuk saat berinteraksi dengan ibunya yang dia panggil 'bunda' dan sesekali 'bunbun'. Saya pikir, unik banget nih keluarga.
ADVERTISEMENT
Mungkin karena saya memanggil ibu saya dengan panggilan mainstream 'mama'. Panggilan yang paling praktis, mudah, berskala global.. #tsaah. Sosok mama saya tentu istimewa buat saya, tetapi 'mama' ada banyak.. hahaha.. rada 'pasaran' gitu. Seperti 'ibu' dan 'mami' yang memang trend jadi pilihan panggilan. Kata Bunda justru ada di istilah sastra kayak 'Bunda Piara', frase 'Bundo Kanduang', 'Ayah dan Bunda', 'Bunda Maria', dsb. Mungkin karena kesan 'nyastra' gini, banyak yang pilih panggilan yang lebih ringkes (mama, ibu, mami) ataupun tradisional (mimih, biyung, indung, emak, dll). Scara pribadi, diantara pilihan itu, ada sensasi hangat pas mengulang kata 'bunda'. Plus brasa elegan dan sangat Indonesia.
Jadilah saya bercita-cita, kalo suatu hari nanti punya anak, pengen dipanggil 'bunda' aah..
ADVERTISEMENT
Momennya muncul tahun 2000, saat keponakan pertama lahir. Keluarga nanya, saya mau dibahasakan apa oleh bayi ini nanti. Di situlah pertama kalinya saya 'coming out' pengen dipanggil bunda sama anak. Dan di keluarga saya yang akrab bener ini, keponakan itu beneran kayak anak sendiri. Bedanya, bukan saya yang hamil, melahirkan dan menjadi penanggung jawab utama hidupnya. (lah.. banyak bedanya!). Anyway, tidak ada pertanyaan sama sekali atas rikwes saya tuh, tapi berhubung saya adik dari ibunya si bayik, maka ditambahkan kata 'kecil' setelah bunda. I was officially became one 'Bunda Kecil', di suatu pagi tanggal 17 September 2000. Istilah imutnya: buncil.
The real 'bunda' in me finally came true in 2006. Saat saya punya anak beneran. Bukan ponakan ataupun anak tetangga yang saya aku-akuin gitu. Masa bulan madu dipanggil 'bunda' sesuai dengan derajatnya berlangsung baik-baik saja hingga akhirnya tahun 2008 saya pindah ke Jakarta.
Annoyed (Foto: Pixabay)
Terjadilah distorsi atas konsep 'bunda' yang lebih dari 1 dekade saya jaga. Bunda yang hangat, mulia, puitis, akrab, antimainstream, nasionalis, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Alasannya sederhana, kok ya makin banyak 'bunda' di sekeliling saya? Sebagian dari mereka adalah 'bunda' jadi-jadian, yang ditahbiskan menjadi bunda oleh para SPG/pedagang. Mereka, para SPG, secara sepihak telah mengubah status semua perempuan dewasa, rada muda atau rada tua, menikah ataupun tidak, beranak ataupun tidak, menjadi seorang 'bunda'. Siapa yang memberi mereka hak itu??
Seorang perempuan muda 20an tahun menyusuri toko di mal tamcit, sang SPG menyapa, "Mampir Bundaaaa.. bisa coba jilbab yang paling baru.. model syahrini atau ashanti.. ada dua-duanya."
Seorang ibu paruh baya, sekitar 50an tahun, sedang memilih kain di Mayestik, "Yang itu baru datang lho Bunda dari India, bahan sutra yang paling halus."
Seorang perempuan 30an, pulang kantor dengan stelan jas mampir ke gerai kosmetik, "Ada yang bisa dibantu Bunda? Kita punya lipstik sekaligus pelembab baru nih.."
ADVERTISEMENT
Seorang perempuan dengan 2 anaknya belanja di hypermart, si anak bersuara lantang memanggilnya 'Maaaak' ditegur SPG, "Hai Bunda, popoknya lagi promosi nih.. "
Saya, ke ITC Ambassador dengan anak saya, SEMUA (yes, semua!) toko yang saya lewati dan ada SPG-nya kompakan memanggil saya 'bunda'. Nawarin ini itu lah.. Sebel! Sejak kapan kamu jadi anak saya? Padahal baru kemarin saya ke tempat yang sama, pakai jeans dan tshirt, kumel.mode, ditegur aja enggak. Kalopun ada yang negor, di toko yang saya hampiri, status saya masih 'kakak'nya.
Anyway, masih misteri buat saya, mencari tahu siapa yang mencuci otak mereka sehingga melupakan panggilan yang sudah mengakar sebelumnya dan paling netral seantero Nusantara: ibu. Nggak mungkin lah ada hubungannya dengan Dorce yang sejak semakin berumur menjadi Bunda Dorce.
ADVERTISEMENT
Apakah biar terkesan akrab? terkesan anti-mainstream? atau eksperimen? biar dianggap anak lalu si ibu jadinya mau beli? Apa maksudnya, apaaaa?
Tau nggak, kalau banyak juga calon pembeli jadi ilfil karena sapaan tersebut? Bukannya membuat mereka ingin tau dengan produknya, malah jadi ingin berlalu dengan segera.
Saya aja yang BENERAN ibu-ibu dan BENERAN dipanggil Bunda oleh anak saya, sangat jengah dan keberatan dengan perubahan ini. Lebih dari itu, saya sangat sediiih... yes, sedih bener, karena istilah 'bunda' dijadikan alat komersialisasi. Jauh dari cita-cita saya dulu atau kesan syahdu yang dinyanyikan Melly Goeslaw.
Jadi mbak dan mas, bapak dan ibu, serta adik-adik SPG maupun tim marketing dan sales manapun di Indonesia, coba kembalikan martabat 'ibu' dan gunakan kembali istilah itu. Berhenti panggil para wanita yang jadi obyek jualanmu dengan sapaan 'bunda' sebelum penurunan kasta istilah bunda benar-benar terjadi. Plis... jangan panggil saya bunda, yes?
ADVERTISEMENT