Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Indonesia Sulit Keluar Dari Lingkaran Kemiskinan! Bagaimana Bisa?
20 Maret 2023 7:46 WIB
Tulisan dari Fina Annisa Nurjannah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kemiskinan bukanlah suatu hal yang asing bagi perekonomian Indonesia. Uniknya, tingkat kemiskinan di Indonesia terus mengalami penurunan setelah adanya krisis moneter 1998. Bahkan pada periode tersebut, penduduk golongan miskin mencapai 23,4% dari populasi Indonesia. Tapi persentase itu terus menurun, tingkat kemiskinan di Indonesia saat ini sebesar 9,54%, kalau dibandingkan antara era reformasi dan saat ini, selisihnya cukup banyak.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, apakah kemiskinan di Indonesia semakin menurun?. Dan bisa dikatakan Indonesia terbebas dari kemiskinan?. Tergantung dari perspektif mana kita menanggapinya. Jika kita berpedoman pada definisi kemiskinan dan data menurut BPS, dapat dikatakan kemiskinan di Indonesia memang menurun setiap tahunnya. Menurut BPS, garis kemiskinan periode September 2022 tercatat sebesar Rp. 535.547,00 per kapita per bulan. Yang berarti, orang dapat dikatakan miskin apabila pengeluaran maksimal perbulan nya itu sebesar Rp. 535.547,00 atau Rp 18.000 per hari. Jadi orang yang pengeluaran per hari nya lebih dari Rp. 18.000 dapat dikatakan kaya. Padahal nyatanya, pengeluaran Rp.18.000 perhari itu sangatlah minim, mungkin jika dipergunakan untuk makan, hanya dapat sekali makan, dan tidak dapat menutupi biaya lain seperti obat, listrik, dan lain-lain. Maka, untuk menilai apakah kemiskinan menurun, kita tidak bisa terpaku pada definisi menurut BPS saja, namun juga perlu meninjau fakta dilapangan.
ADVERTISEMENT
Lalu apakah bisa Indonesia terbebas dari masalah kemiskinan?. Mungkin bisa, namun harus melewati banyak tahap dan memakan banyak waktu. Karena menurut Rizky et al., (2019), 40% anak yang lahir dari keluarga miskin akan tetap miskin hingga dewasa. Dimana selisih penghasilan antara anak yang terlahir dari keluarga miskin dan berkecupan mencapai 87%. Ini menggambarkan sulit bagi mereka untuk keluar dari jurang kemiskinan. Hal tersebut sungguh memprihatinkan. Terdapat beberapa faktor yang menghambat masyarakat miskin untuk keluar dari jurang kemiskinan (kemiskinan struktural), yakni:
1. Pola pikir atau mindset yang keliru
Sebagian besar penduduk miskin Indonesia cenderung pasrah dan terima nasib atas apa yang terjadi. Mereka menganggap bahwa kemiskinan yang menimpanya itu ialah takdir, padahal masih bisa dirubah jika ada usaha. Tumbuh di keluarga dan lingkungan yang mayoritas nya miskin, membuat mereka menganggap bahwa kondisi kehidupan di sekitarnya adalah sebuah kewajaran dan juga takdir, jadi tidak termotivasi untuk keluar dari lingkup itu. Mudahnya, selagi mereka masih bisa makan dengan teratur, mereka akan menjalani kehidupan tersebut tanpa berusaha lebih keras lagi untuk keluar dari jurang kemiskinan.
ADVERTISEMENT
2. Sulitnya akses pendidikan
Sulitnya mendapat pendidikan yang berkualitas juga merupakan faktor fundamental. Mereka yang terlahir dari keluarga miskin, sebagian besar hanya mampu sekolah ditempat yang akreditasinya rendah, yang mana kualitas dan fasilitas yang didapat pun berbeda dengan sekolah yang akreditasi nya tinggi, khususnya diperkotaan. Selain itu, pergaulan yang tidak sehat juga sering terjadi pada sekolah dengan akreditasi rendah, seperti bullying, tawuran, dan lain-lain. Tidak hanya itu, mereka yang terlahir dari keluarga miskin susah untuk mendapatkan suasana belajar yang kondusif. Tak jarang dari mereka mengalami kesusahan belajar karena tidak ada akses internet, tidak mampu untuk membeli sarana penunjang pembelajaran yang memadai (smartphone atau buku). Bahkan tak sedikit juga dari mereka yang putus sekolah karena kendala ekonomi atau tuntutan lain seperti membantu keluarga mencari uang dengan bekerja. Padahal dengan mengenyam pendidikan, terbuka peluang bagi mereka untuk mengubah nasib dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
ADVERTISEMENT
3. Keterbatasan akses sumberdaya
Mereka yang berkecukupan, mampu membeli aset dengan bunga cicilan yang rendah. Sedangkan mereka yang miskin, untuk membeli aset, harus menyicil selama bertahun₋tahun, yang apabila ditotal, bunga yang dibayar hampir setara dengan harga asetnya. Orang kaya yang tinggal diperkotaan juga lebih mudah mendapatkan pinjaman atau modal dari lembaga bank. Beda dengan orang miskin yang belum terjangkau dengan akses perbankan, khususnya yang dipelosok. Banyak dari mereka memutuskan untuk melakukan pinjaman illegal, yang mana itu justru dapat membahayakan mereka karena terjebak pada bunga yang tinggi dan kejaran rentenir, sehingga ekonomi mereka akan semakin terpuruk.
Ketiga faktor diatas yang dapat menghambat seseorang untuk keluar dari lingkaran kemiskinan dan semakin memperparah kesenjangan di masyarakat. Kemiskinan struktural ini juga tercermin pada indeks kesenjangan ekonomi yang disebut ratio gini. Lalu apakah ada solusi untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi ?. Tentu saja ada, berikut merupakan solusi yang dapat meminimalisir kesenjangan:
ADVERTISEMENT
1. Sistem pendidikan
Sistem pendidikan di Indonesia masih perlu dievaluasi dan dikembangkan. Akan lebih baik lagi jika pemerintah mengadakan pelatihan₋pelatihan disekolah, atau penambahan wawasan terkait bidang keuangan yang nantinya pasti berguna bagi peserta didik. Seperti ilmu mengelola uang, investasi bagi pemula, pelatihan melamar pekerjaan, dan memulai bisnis. Semua hal itu sangatlah penting karena hampir semua orang akan berurusan dengan hal semacam itu.
2. Pendidikan karyawan
Pemerintah sudah seharusnya menyediakan pelatihan₋pelatihan bagi karyawan. Akan lebih produktif jika saat bekerja karyawan tidak dilepas begitu saja, namun tetap diberi pelatihan yang dapat meningkatkan keterampilan dan wawasannya. Keterampilan dan wawasan yang meningkat tentu akan membawa karirnya kearah yang lebih bagus lagi.
3. PKH (Program Keluarga Harapan)
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita ketahui, pada Program Keluarga Harapan, terdapat pelatihan bagi mereka yang ingin memulai usaha. Namun sepertinya hal ini belum optimal, dilihat dari banyak nya usaha yang belum lama buka namun sudah harus gulung tikar. Akan lebih baik lagi jika pelatihan ini dilakukan semaksimal mungkin dengan menambah wawasan dan keterampilan usaha. Tidak melulu keterampilan, penting juga bagi mereka yang ingin membuka usaha untuk mengetahui wawasan dasar seperti cara melihat peluang, cara memulai bisnis, cara menentukan harga, dll.
Selain itu, di Program Keluarga Harapan perlu ada nya insentif. Jadi, bagi mereka yang sudah sukses menjalankan usahanya, akan didata penghasilan yang diperoleh apakah sudah meningkat (atau setidaknya sudah mencapai upah minimum didaerahnya), apabila peserta PKH mampu menunjukkan bukti penghasilan diatas upah minimum tiga kali berturut₋turut, mereka akan mendapat grade atau pernyataan lulus dari PKH. Dan apabila sudah lulus, mereka tidak boleh mengaku miskin lagi.
ADVERTISEMENT
4. Kartu Indonesia Sehat (KIS)
Adanya Kartu Indonesia Sehat (KIS), membuka peluang bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar layanan kesehatan. Banyak penduduk miskin yang terlilit hutang untuk membayar layanan kesehatan yang nominal nya cukup besar. Maka dapat diartikan bahwa adanya Kartu Indonesia Sehat (KIS) juga melindungi masyarakat miskin dari lilitan hutang.
5. Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan bantuan pendidikan lainnya
Seperti yang sudah kita bahas pada faktor kemiskinan struktural tadi, sulitnya bagi masyarakat miskin mendapat akses pendidikan yang layak. Dengan adanya program KIP diharapkan dapat meningkatkan angka partisipasi sekolah pada golongan miskin dan mengurangi angka putus sekolah akibat kendala ekonomi. Namun, yang masih perlu dievaluasi dari KIP ialah bantuannya yang tidak tepat sasaran. Banyak dari mereka yang mampu namun tetap mendapat KIP, hal ini tentunya mengurangi peluang bagi mereka yang benar₋benar tidak mampu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan akses pendidikan.
ADVERTISEMENT