Di Pelabuhan Raha Ini, Ada “Spiderman” Juga loh (Bagian I)

Fino Boeton
Wartawan, Dosen, Musisi Amatiran, Pembual Paruh Waktu.
Konten dari Pengguna
19 Juli 2017 11:21 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fino Boeton tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setelah kemarin menonton aksi Tom Holland dalam film terbaru "Spider-Man: Homecoming", saya jadi teringat sekumpulan bocah-bocah di salah satu pelabuhan di Sulawesi Tenggara. Dan untuk mengabadikan kisah mereka, saya pun langsung menulis aktivitas mereka sehari-hari di pelabuhan.
ADVERTISEMENT
Di Pelabuhan Nusantara Raha, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) banyak dijumpai anak-anak mulai dari usia 10 hingga 15 tahun yang mencari rupiah dengan berbagai profesi, mulai dari mengasong hingga menjadi buruh pelabuhan. Dan pemandangan seperti ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya dan seolah anak-anak inilah yang menjadi aktor utamanya.
Terik matahari dan hembusan angin laut menghiasi penatnya suasana siang hari di Pelabuhan Nusantara Raha saat itu. Di sebuah teras terminal pelabuhan yang tidak begitu besar, namun dipenuhi oleh sesak manusia. Mulai dari pedagang, calon penumpang hingga para supir angkot dan tukang ojek berbaur jadi satu.
Mereka tampak asyik mengobrol, tampak asyik melayani pembeli dan asyik menikmati sebatang rokok sambil menunggu kapal tiba dan berharap mendapat rejeki berlebih hari ini. Di salah satu sudut terminal, ada sekelompok anak-anak yang sedang serius berdebat tak ubahnya para anggota dewan di Senayan. Namun bedanya, anak-anak ini tidak mengenakan jas dan dasi melainkan baju apa adanya yang tampak kusut. Dan bahan perdebatnya-pun pastinya bukan soal politik.
ADVERTISEMENT
Jumlahnya sekitar puluhan anak dengan rata-rata usia antara 8 hingga 13 tahun. Sama seperti orang lain yang berada di terminal pelabuhan, mereka juga tengah menunggu kapal datang dan sandar di Pelabuhan Nusantara Raha.
Beberapa dari anak-anak itu menenteng keranjang kecil yang berisikan beberapa jenis kue seperti lemper dan gogos yang berkolaborasi dengan telur rebus, kacang goreng dan air mineral. Sebagian lagi sama sekali tanpa ada tentengan atau bawaan. Bahkan ada beberapa dari anak-anak tersebut tak menggunakan alas kaki. Mereka tampak seperti satu bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas pelabuhan sehari-hari.
Candaan-candaan terus mengiringi obrolan mereka. Sesekali bahkan saling kejar-kejaran. Entah apa yang membuat mereka begitu tampak selalu riang. Saya pun coba mendekat tanpa mencoba mengusik dan merusak ritme percakapan mereka yang makin lama seolah makin menarik untuk disimak. Bak seorang agen intelejen, mata saya memang tertuju pada buku yang saya baca, namun pendengaran saya fokus merekam percakapan dan sesekali mencuri-curi pandang ke bocah-bocah tersebut.
ADVERTISEMENT
“Kayaknya kapal terlambat lagi datang. Biasanya jam begini sudah kelihatan kapal,” ucap salah seorang dari mereka.
“Ah, ini belum jam berapa, paling sebentar lagi datang,” sahut temannya.
Selang beberapa menit setelah percakapan keluhan menunggu kapal datang, benar apa yang dikatakan, kapal jenis fiber yang menjadi trasnportasi utama yang menghubungkan antar pulau di Sulawesi Tenggara itu sudah mulai terlihat meski masih nampak seperti butir beras karena jaraknya yang masih jauh.
“Woiii…kapal sudah dekat,” teriak bocah yang mungkin paling kecil dan paling muda diantara kumpulan anak-anak tersebut.
Mereka pun berlari menuju dermaga sambil menenteng keranjang jualan dan keceriaan seolah terpancar dari wajah masing-masing anak. Mereka terus berlari seperti sedang berburu layangan putus. Dan ada pula salah satu anak yang iseng dengan mendorong bahkan menurunkan celana temannya.
ADVERTISEMENT
Di pintu gerbang masuk dermaga, seorang pria berpakaian seragam rapi sambil memegang setumpuk karcis begitu setiap melayani setiap yang masuk pelabuhan asalkan membayar uang retribusi. Namun, lain cerita untuk anak-anak tadi.
Tanpa izin terlebih dahulu, mereka langsung masuk begitu saja ke dalam dermaga melewati penjaga pintu gerbang dermaga. Dan penjaga pintu pun membiarkan anak-anak tersebut masuk. Ini menandakan jika pelabuhan sudah seperti rumah mereka sendiri yang bebas mereka masuki kapan saja tanpa harus mengeluarkan biaya retribusi pelabuhan.
Berbaur dengan calon penumpang, buruh pelabuhan dan ibu-ibu penjual lainnya, anak-anak itu berjejer di tepi dermaga tempat biasa kapal berlabuh. Candaan satu sama lain belum juga berakhir dan kali ini lebih ekstrim lagi. Mereka saling menakut-nakuti dengan cara berpura-pura mendorong untuk menjatuhkan ke laut. Tapi baik yang didorong maupun yang menjadi korban dari aksi iseng itu. Tidak merasa takut, malahan mereka terus tertawa.
ADVERTISEMENT
Kapal semakin dekat untuk berlabuh, dan apa yang saya saksikan membuat saya seolah tengah menonton aksi Spiderman si manusia laba-laba. Kapal memang sudah dekat dermaga, namun belum sandar sepenuhnya. Masih ada jarak kurang lebih dua meter, dan anak-anak ini seolah tak sabar untuk naik ke atas kapal. Mereka nekat melompat dari dermaga ke kapal. Dan bukan satu atau dua anak saja, tapi semua anak yang saya jumpai di pelabuhan ini melakukan hal yang sama.
Saat saya bertanya ke salah satu aparat kepolisian yang tengah bertugas di pelabuhan, kenapa tidak dilarang anak-anak tersebut melakukan aksi nekat seperti itu, yang tentunya bisa membahayakan keselamatan mereka jika terjatuh. Polisi itu menjawab sudah berklai-kali baik polisi maupun ABK kapal melarang anak-anak itu agar tidak melompat ke atas kapal sebelum kapal benar-benar sandar, namun tidak pernah didengar.
ADVERTISEMENT
“Jadi kami biarkan saja. Dan mereka juga sudah terbiasa melakukan hal itu meski tentunya hal itu tidak dibenarkan,” kata polisi berpangkat Britu ini.
Penasaran dengan apa yang anak-anak itu lakukan di dalam kapal, saya pun masuk dalam kapal untuk memperhatikan aktivitas mereka lebih dekat.
Anak-anak yang membawa tentengan keranjang jualan, sibuk menawarkan jualan mereka ke para penumpang. Sedangkan yang tidak membawa apa-apa, dengan modal tangan kosong, mereka mencoba mencari peruntungan dengan menjadi buruh angkut barang.
Jika yang menjual terang-terangan menawarkan barang ke pembeli, berbeda dengan buruh-buruh cilik ini. Biasanya mereka harus sembunyi-sembunyi menawarkan jasa angkut barang. Ini dikarenakan ada buruh resmi angkut barang di pelabuhan itu dan yang bukan burung resmi dilarang mengangkat barang penumpang apalagi anak-anak yang mengangkat barang.
ADVERTISEMENT
Berburu dengan waktu, karena kapal hanya sandar kurang dari 15 menit, anak-anak itu langsung bergegas ke luar kapal. Dan seperti saat naik, bahkan saat mereka turun dari kapal pun, kapal sudah dalam keadaan lepas pelabuhan. Sekali lagi, dengan keahlian melompat mereka, seolah itu bukan masalah berarti.
Ingin tahu lebih jauh keseharian dari anak-anak itu, saya pun lalu memanggil salah seorang anak dan membeli kue yang dijualnya. Pada kesempatan itu, saya mencoba membuka percakapan.
Samsul, salah seorang anak yang biasa berjualan di Pelabuhan Nusantara Raha ini mengaku sudah tujuh tahun berjualan di pelabuhan dan kesehariannya banyak dihabiskan di pelabuhan.
Ia menganggap tidak ada lagi yang bisa ia perbuat selain berjualan di pelabuhan tersebut. Dan karena keasikan mendapatkan uang dari hasil jualan, ia pun terpaksa tidak melanjutkan sekolah alias berhenti saat duduk di bangku kelas  II SMP.
ADVERTISEMENT
“Dulu biasanya pulang sekolah, saya langsung ke pelabuhan dan menjual. Karena keasikan sudah bisa menghasilkan uang sendiri dari hasil berjualan, maka saya tidak lanjut sekolah,” ungkapnya.
Kata dia, memang orang tuanya menyuruh untuk tidak berhenti sekolah, namun ia tetap tidak mau sekolah karena merasa sudah bisa mandiri dan mencari uang. Ia mengaku, dalam sehari, ia bisa mendapat uang Rp 100 ribu. Dimana Rp 50 ribu ia kasi ke orang tuanya, dan sisanya ia pergunakan sendiri.
Saat saya bertanya apakah anak jalanan seperti mereka diberi santunan olah Dinas Sosial Kabupaten Muna. Samsul dan beberapa temannya serentak dan dengan tegas menolak jika mereka disebut anak jalanan. Dalam pengertian mereka, anak jalanan itu merupakan gelandangan yang tidak punya rumah dan orang tua.
ADVERTISEMENT
“Kami bukan anak jalanan, kami punya orang tua dan punya tempat tinggal. Dan kami tidak pernah mengemis atau meminta-minta. Kerjaan kami halal,” tegasnya.
Risal, salah seorang teman Samsul mengatakan jika jualan yang mereka jual adalah jualan dari pedagang sekitar pelabuhan. Mereka hanya mengambil untung dengan menjualnya dua kali lipat di atas kapal dari harga biasanya.
Dan demi berburu laris, ia dan teman-temannya nekat melompati kapal yang belum sandar sempurna. Dan itu dianggap hal yang biasa. Padahal pernah beberapa kali kejadian, beberapa dari mereka (penjual, red) jatuh ke laut daat hendak melompat.
“Memang dilarang lompat ke kapal kalau belum sandar. Tapi ini demi berburu pembeli. Jangan sampai didahului sama yang lain. Sekarang masih mending nanti jarak dua meter baru kita lomat, tapi dulu lebih dari dua meter, kita sudah lompat,” tuturnya santai.
ADVERTISEMENT