Mencari Jejak Asal Usul Manusia Bermata Biru di Buton

Fino Boeton
Wartawan, Dosen, Musisi Amatiran, Pembual Paruh Waktu.
Konten dari Pengguna
31 Juli 2017 15:06 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fino Boeton tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kita telah mengetahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang paling lama dijajah oleh bangsa-bangsa luar. Daya magnet yang paling kuat saat itu untuk datang menjajah Indonesia adalah kekayaan rempah-rempahnya.
ADVERTISEMENT
Portugis merupakan salah satu negara yang masuk ke Indonesia yang telah memasuki laut nusantara jauh sebelum bangsa lain sebenuanya datang melempar sauh dan berlabuh. Merekalah manusia kulit putih Eropa yang paling awal melakukan ekspedisi ke timur untuk mencapai dan mengeksploitasi tanah kaya Nusantara terutama sesudah penaklukan atas Malaka oleh Alfonso de Albuquerque. Pendudukan Malaka mendekatkan mereka ke Maluku, daerah yang kaya hasil bumi khas negeri timur dimana segala rempah tumbuh dan berpusat.
Komune (kelompok yang hidup bersama) turunan Portugis kemudian kini ditemukan jejaknya di Lamno, Nanggroe Aceh Darussalam dan pada Suku Lingon (Lingon Treble) di Halmahera Timur, Kepulauan Maluku. Di dua daerah itu, para turunan Portugis tampaknya berciri sama yaitu rambut pirang, kulit langsat (putih) dengan bola mata yang biru dalam balut rupa khas Kaukasoid.
ADVERTISEMENT
Dan ternyata bukan hanya di Aceh san Maluku saja, namun di Buton, para komune mata biru turunan Portugis ternyata juga ditemukan ada. Menurut cerita, mereka tinggal di Desa Kaimbuawa, Kecamatan Siompu, Kabupaten Buton Selatan, Sulawesi Tenggara. Saya pun menyambangi desa tersebut untuk mencari tahu kebenaran adanya komune turunan Portugis di sana dan menggali lebih dalam silsilah turunan mereka.
Pagi itu cuaca begitu cerah, dengan sinar matahari sedikit menyengat. Sesampainya di Bandara Betoambari, Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, perjalanan ke Desa Kaimbuawa dimulai dengan menumpangi ojek menuju Dermaga Sulaa dengan jarak kurang lebih empat kilometer dari bandara. Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan speedboat yang memang menjadi alat transportasi satu-satunya menuju ke Desa Kaimbulawa.
ADVERTISEMENT
Setelah sejam lebih menyeberang, akhirnya sampai juga di Pelabuhan Siompu. Dan dari pelabuhan, perjalanan dilanjutkan kembali dengan ojek menuju tempat tinggal Bapak La Dala, salah seorang yang katanya turunan Portugis, bermata biru. Dan waktu tempuh dari dermaga ke rumah Bapak La Dala kurang lebih 15 menit dengan melewati beberapa desa serta jalanan yang menanjak juga menembus hutan di pesisir Pantai Pulau Siompu.
Saya pun langsung menuju rumahnya dan disambut langsung oleh Bapak La Dala yang memang bermata biru seperti mata khas orang-orang Eropa. Kepada saya, dia bercerita bahwa Raja Siompu II yang bernama La Laja menikah dengan orang Portugis. Ia tidak mengetahui detail cerita bagaimana bisa rajanya saat itu menikah dengan orang Portugis. Ia hanya mengetahui bahwa ia adalah keturunan keenam.
ADVERTISEMENT
“Saya kurang tahu bagaimana bisa dia menikah dengan orang Portugis waktu itu. Saya juga dengar cerita dari orang tua saya dulu. Saya hanya tahu saya ini sudah keturunan keenam,” ujarnya.
Tidak banyak informasi yang bisa digali dari Bapak La Dala. Ia hanya mengungkapkam bahwa bapaknya juga memiliki mata biru sama seperti dia. Bahkan dia merasa bahwa dia tidak berbeda dari masyarakat pada umumnya. “Iya saya tahu saya mata biru tapi saya merasa normal-normal saja. Tidak ada kelainan,” kata pria berusia 50 tahun ini.
Pria yang saat ini berprofesi sebagai Kepala Skolah SD Negeri 2 Kaimbulawa menyebutkan bahwa tidak semua bermata biru di tiap generasinya. Buktinya hanya kakeknya saja yang bermata biru di lingkaran keluarga kandung kakeknya, kemudia dia sendiri dan anak keempatnya Ariska Dala yang mewarisi mata birunya di antara keenam anaknya.
ADVERTISEMENT
Ariska yang kini duduk di bangku kelas I SMA Negeri 1 Siompu ini memang bermata biru seperti ayahnya, namun nampak jauh lebih bagus. Terlihat seperti mata kucing. Meski bermata unik, namun Ariska nampak tidak begitu senang. Ini disebabkan seringnya ia jadi korban bully baik di sekolah maupun di lingkungan tempat ia bermain. Bahkan ia sempat tidak tahan sekolah di kota dan memilih kembali ke desa karena perlakuan buruk dari teman-temannya saat itu.
“Saya sering diganggu. Dibilang mata kucing. Ada juga yang bilang saya mata setan,” kata Arizka malu-malu saat ditemui di sekolahnya.
Baik La Dala maupun Ariska tampak berparas kaukasoid, tidak terlihat berwajah weddoid apalagi rupa mongoloid sebagaimana ciri penduduk lokal di Pulau Siompu dan umumnya orang Buton.
ADVERTISEMENT
Dan saya pun kesulitan menggali informasi lebih mendalam baik itu melalui La Dala yang tidak begitu mengetahui banyak tentang asal mula mereka, terlebih lagi dari Arizka yang nampak sedikit ketakutan dan malu ketika ditanya.
Beruntung, informasi asal muasal mereka bisa didapat dari salah seorang peneliti sejarah dan budaya Buton, La Yusrie. Ia kebetulan saat ini tengah meneliti jejak silsilah dari orang-orang bermata biru di Buton.
Ia mengatakan bahwa sebuah naskah anonim di Wolio (Buton) menulis dengan detail perihal hubungan paling mula antara Buton dengan bangsa kulit putih Eropa dalam paruh pertama abad ke enam belas. Adalah Farantugisi atau dalam kata yang lain Parantugisi, atau juga Porotugisi, disebut sebagai bangsa kulit putih pertama yang membuang sauh berlabuh di pelabuhan Baubau dan mengunjungi pulau Buton.
ADVERTISEMENT
Para manusia kulit putih dari Eropa itu disebut sebagai bangsa beradab dan terdidik yang datang dengan sepenuh penghormatan ke hadapan sultan Buton memohon perkawanan. Mesiu dan bedil, juga beberapa meriam dikeluarkan dari lambung kapal mereka, lalu diangkut ke istana sebagai hadiah untuk “mengambil hati” Sultan Buton.
“Perkawanan yang dekat itu kemudian membawa ke hubungan perkawinan, seorang puteri bangsawan dari Buton yang adalah turunannya La Ode Saumpula (Bonto atau Raja pertama di Siompu) menikah dengan seorang pimpinan armada Portugis. Darinya ini pangkal muasal turunan para mata biru di Buton,” ujarnya saat dihubungi melalui via telepon.
Yang paling mula datang dan singgah di Buton adalah para pelaut berbangsa Portugis dengan dipimpin oleh seorang yang oleh orang Buton menamainya Felengkonele. Sumber-sumber dalam tradisi lisan di Wolio menyebutkan bahwa Felengkonele menikahi seorang puteri bangsawan Wolio yang kemudian dari sinilah pangkal muasal turunan para mata biru di Buton.
ADVERTISEMENT
Jika di Lamno, Nangroe Aceh Darussalam dan Suku Lingon di Halmahera Timur, Maluku Utara, para mata biru turunan Portugis ini adalah bekas pelarian dan tawanan perang atau sekelompok pelaut Portugis yang selamat dari kapal dagang mereka yang karam dalam ekspedisi mengangkut rempah dari Maluku ke Malaka.
“Di Buton, para mata biru ini adalah sebenarnya trah terhormat yang mendapatkan tempat tinggal ekslusif dalam Benteng Keraton. Mereka para mata biru di Buton sebenarnya adalah para darah biru,” jelasnya.
Lanjut dia, sampai suatu saat ketika Belanda dan Buton membangun kongsi yang sangat erat dalam apa yang dinamai kerja sama selamanya sebagai “sekutu abadi”, segalanya pun dengan cepat segera berubah. Belanda yang melihat Portugis sebagai bangsa Eropa saingannya segera memaksa Buton untuk mengusirnya keluar dari Keraton Wolio.
ADVERTISEMENT
“Seluruhnya yang terkait dengan Portugis, bahkan juga para bangsawan lokal yang menikah dengan beberapa orang Portugis ikut pula terkenai getah pengusiran itu,” katanya.
Sesudah pengusiran itu sukses dan berhasil, Belanda dengan sepihak kemudian melayangkan stigma yang buruk dengan menyebar desus bahwa para mata biru merupakan kelompok orang yang “dikutuk” sehingga mereka “tidak bisa dipercaya”, tidak lagi bisa diberi amanah.
“Stigma dan desus buruk yang disebar Belanda itu menjadikan para mata biru kemudian tersisih dari ruang “kelas satu” dalam trah aristokrasi bangsawan di Buton, jauh lebih buruk bahkan mereka kemudian mengalami pengucilan dan marginalisasi yang membawa mereka tersuruk jatuh dalam dekadensi mental yang akut,” ujarnya.
Stereotype pengucilan yang merendahkan dan tentu mengecilkan itu begitu sangat kuatnya berpengaruh sehingga membentuk generasi para mata biru yang lahir belakangan sebagai bermental inlander (terjajah), minder, introvert, inferior, rendah diri, pemalu, dan bahkan telah avoidant, semacam gangguan akut kepribadian yang mengarah pada pola hubungan sosial yang terbatas seumur hidup dan keengganan untuk masuk ke dalam interaksi sosial.
ADVERTISEMENT
“Sebelum heboh berita soal mata biru ini, mereka ini takut ketemu orang. Mereka sering jadi bahan tertawaan. Ketika ada yang mananyakan soal adanya orang yang bermata biru, reaksi masyarakat di sana langsung tertawa seperti menyindir. Tapi sekarang setelah terpublikasi, masyarakat di sana mulai berubah pandangannya soal orang bermata biru ini,” ungkap La Yusrie.
Setelah terusir keluar dari keraton itu, melanglang dan berkelanalah mereka dengan menyebar di beberapa desa di Kabupaten Buton yakni Desa Kaimbulawa di Pulau Siompu, Desa Tira dan Mambulu di Kecamatan Sampolawa dan Dongkala, Kecamatan Pasarwajo. Dan bahkan sampai Wakatobi tepatnya di Desa Liya yang simpul turunannya menaut dalam darah trah Lakina Liya yang ke-29 bernama La Ode Taru yang memerintah dalam tahun 1916—1940.
ADVERTISEMENT