Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Pilihan Cerdas Musisi di Jalur Indie
27 Juli 2017 11:42 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
Tulisan dari Fino Boeton tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siapa sangka album “Musim Yang Baik” milik Sheila On 7 yang dirilis tahun lalu menjadi album terakhir band asal Yogyakarta tersebut bersama label Sony Music Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pasca kontraknya habis bersama major label yang sudah bekerja sama dengan Sheila On 7 selama 16 tahun, Duta, Eross, Adam dan Brian memilih untuk tidak memperpanjang kontrak mereka dan beralih ke indie label.
“Kita mungkin lebih mencoba belajar mandiri. Mengatur segalanya mulai dari musik, management dan lain-lainnya sendiri. Kami berterima kasih banyak kepada Sony Music yang sudah percaya kami selama 16 tahun dan menghasilkan 10 album termasuk soundtrack. Sekarang kita sendiri aja dulu,” kata Duta saat peluncuran album mereka saat itu di Hard Rock Cafe Jakarta saat itu.
Nampaknya langkah musisi untuk beralih ke indie label bukan hanya dilakukan oleh Sheila On 7. Sudah ada musisi-musisi seperti, Slank (Slank Record) Glenn Fredly (Musik Bagus) dan Sandhy Sandoro (Sondoro Music) yang sudah punya label sendiri. Ini seolah mempertegas bahwa major label bukan menjadi satu-satunya jalan buat para musisi untuk menelurkan karya dan bisa sampai ke para pendengar terutama fans.
ADVERTISEMENT
Saat masih mejadi jurnalis di salah satu media cetak ternama di Jakarta, saya sempat mewawancarai salah satu penyanyi muda yang tengah naik daun Raisa Andriana. Ia nampaknya sudah menyadari hal tersebut jauh sebelum ia terjun ke dunia musik. Ini ia buktikan saat merilis album pertama dan keduanya, ia tidak bernaung di bawah major label tetapi punya label sendiri yakni Solid Record yang sekarang berganti nama menjadi Juni Record (PT Juni Suara Kreasi).
Sejak awal terjun di dunia musik, Raisa memang tidak ingin hanya bernyanyi saja tapi ingin belajar juga industri musiknya. Makanya dia mencari semua possibility yang ada sebelum benar-benar terjun di dunia musik. “Jadi ternyata banyak pilihan bisa full sign lewat major label, bisa yang lain. Jadi kita pilih indie dengan mencari investor, terus kita bikin album sendiri dan kemudian titip edar melalui Universal Music di album pertama dan kedua aku. Dulu Solid Record tapi sekarang namanya June Record,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Raisa mengaku sudah nyaman dengan keleluasaan dalam berkarya melalui jalur indie. Ia merasa ada keleluasaan tanpa harus mengikuti kemauan siapa-siapa, bekerjasama dengan siapa saja terserah dia.
“Beda banget sih treatment-nya dengan artis -artis yang full sign. Tiap hari promo melulu, selalu ada di TV, dapat iklan dan lain-lain. Pada saat itu aku itu gak kayak gitu. Dari pertama itu aku merintisnya sendiri sama manajemen. Aku bukannya susah diatur sih cuma aku tahu kemauan aku itu kayak apa. Mungkin kalau full sign mungkin merasa kurang bisa explore,” ungkapnya.
Di labelnya ini, Raisa berperan utama yakni mengemukakan kemauannya seperti apa ke teman-teman di management-nya khususnya produsernya mas Raendra Suditro dan Music Director, Marco sekaligus drumernya. Kemudian ia nanti mendapat masukan kira-kira ia cocoknya sama siapa player-nya.
ADVERTISEMENT
Kesulitannya, lanjut Raisa yakni biaya yang mungkin jauh lebih besar. Namun ia tidak bisa menyebutkan berapa besar biaya yang harus dikeluarkan. Selain itu, tantangannya memilih jalur indie adalah harus giat cari channel distribusi sendiri. Jadi dituntut jauh lebih kreatif dibanding pakai cara-cara konvensional kayak beli spot di televisi, beli spot iklan seperti artis major label.
“Kita obviously tidak punya uang sebanyak major label yang dapat uang dari regional yang jor-joran, pergi ke luar negeri, apa segala macam. Kayak gitu kan kita gak ada sama sekali. Makanya kita harus pintar-pintar nyari jalan-jalan yang kira-kira tidak membutuhkan banyak capital tapi punya impact yang sama,” ungkapnya.
Raisa lebih berkiblat pada musisi-musisi luar yang hampir semuanya mengerjakan sendiri. Dan dari dulu mindset-nya harus belajar industrinya. Ia ingin bisa memberi nafas baru dan memberi jalan buat musisi-musisi muda lain yang baru akan terjun ke dunia musik. Sebab menurut dia, kenekatan-kenekatan seperti ini yang bisa bikin suasana beda.
ADVERTISEMENT
“Saya lihat sekarang itu banyak sekali cara-cara buat musisi mengeluarkan karyanya. Kalau dulu kan harus ke major label baru bisa menjadi seseorang. Jadi industri ini tidak kaku lagi, semakin kaya dan semakin meriah, juga semakin terinspirasi. Dan bagi penikmat musik juga makin banyak pilihan, playlist nambah. Kayak gitu-gitu sih,” katanya.
Diakui bicara penjualan lagu memang belum signifikan dan pemasukannya lebih banyak dari tampil off air. Dan Raisa menilai harusnya musisi itu penghasilan terbesarnya adalah dari karya. Namun sekarang zamannya beda yakni era digital dan orang tidak perlu lagi membeli fisik lagi dan oni diperparah dengan pembajakan yang semakin parah. “Kasarnya sih orang-orang itu (pembajak) pengen bilang, ahh lo udah kaya juga, ngapain juga gua beli lagi lo kalau bisa dapat yang free!,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sebelum Raisa, ada band asal Bandung, Pure Saturday yang sudah memilih jalur Indie sejak tahun 1994 sampai sekarang masih tetap jalan dan belum bubar. Band yang digawangi Satria NB (vokal), Ade Purnama (bass) dan Arief Hamdani (gitar) tetap berkomitmen untuk menjalankan band ini meski kini masing-masing personil punya kesibukan.
“Komitmen itu kayaknya muncul secara alami. Kita tahu sekarang kita tidak bisa seperti dulu dimana mengutamakan nge-jam ketimbang materi. Sekarang itu materi dulu baru nge-jam. Tapi ini tidak membuat kita benar-benar berhenti apalagi sampai bubar. Mungkin sekarang ngebandnya lebih santai aja. Kurang lebih sebulan kemarin terakhir kita manggungnya,” ujar Arief Hamdani saat kami berbincang di salah satu kafe di Bandung.
ADVERTISEMENT
Kondisi santai seperti ini diakui mereka tidak terlepas dari jalur indie yang mereka pilih. Meski sempat bersama major label, pada akhirnya Pure Saturday mengakui memang lebih cocok memakai jalur indie karena secara prinsip kerja, mereka tidak cocok dengan major label. “Kalau sama major label gimana yah harus bilangnya. Dulu kan kita pernah major label Aquarius, mungkin kita gak sama prisip kerjanya jadi yah kita kembali lagi ke indie,” katanya.
Lanjut dia, saat ini Indie lebih punya pilihan untuk menjual dan mempromosikan hasil karya. Media sosial dan media digital memudahkan para band atau musisi indie untuk menciptakan pasar sendiri. Mereka juga mengakui bahwa mereka bertahan tidak terlepas dari kemajuan teknologi dimana tanpa perlu bertemu karena kesibukan kerjaan masing-masing, mereka masih bisa berkomunikasi dan saling sharing keperluan lagu.
ADVERTISEMENT
“Kita sekarang itu realistis dan understanding. Kalau realistisnya yah kita sadar bahwa PS ini sudah ada pada kondisi seperti ini, saya harus fokus di kerja, Ade harus fokus di kerja, Iye (Satria NB) juga fokus dikerjaan. Tapi kan sekarang udah ada media sosial, meski kita gak pernah ketemu tapi kita masih aktif dalam hal buat karya baru,” unkapnya.
“Orang-orang banyak yang ngomong, ada apa dengan PS? Apalagi pasca keluarnya dua personil. Tapi tidak apa-apalah, biarkan saja orang mau bilang apa. Kita tidak mungkin paksa manggung tapi tidak enjoy. Kita akan buktikan masih ada dengan hasilin single lagi dalam waktu dekat ini,” tambahnya.
Ade menambahkan, mereka sudah nyaman dengan kondisi seperti dan jalur indie yang mereka pilih. Tidak peduli dengan berapa penghasilan yang mereka dapatkan dari band, tapi yang utama bagaimana mereka bisa lebih bebas mengeksplor musik yang mereka inginkan dan idealisme yang sudah terbangun sejak Pure Saturday dibentuk.
ADVERTISEMENT
“Yah kita nyaman-nyaman aja. Gak ada masalah. Toh kita masih tetap ada sampai sekarang,” ungkapnya.
Namun ada tantangan tersendiri dalam bermusik saat ini khususnya dengan membanjirnya band dan musisi indie. Dulu pendengar salah satu musik bisa bertahan lama, sementara sekarang tidak ada yang menjamin hari ini pendengar atau penikmat musik bisa bertahan menikmati musik dari satu band atau musisi saja.
“Dulu ibaratnya PS bisa meng-keep lima pendengar dalam waktu lama, tapi sekarang pendengar bisa cepat beralih ke musik lain. Ini karena pendengar sudah lebih kritis dan banyak pilihannya. Inilah kendalanya sekarang,” ujarnya.
Untuk menambah penghasilan, Pure Saturday juga menjalankan bisnis merchandise. Bisnis tersebut dijalankan oleh pihak management Pure Saturday sendiri. Meski tidak seberapa hasil dari jualan merchandise tersebut, namun itu sudah cukup membantu pemasukan band.
ADVERTISEMENT
“Yah dibilang gede juga gak sih, tapi sebulan penghasilan dari merchandise lumayan. Saya tidak bisa menyebutkan berapa detail nominalnya. Kalau dua digit ada yah,” kata Ade.
Kata Ade, keuntungan dari jualan merchandise itu cukup untuk membayar karyawan dan tempat menyewa kamar kos-kosan yang difungsikan sebagai gudang penyimpanan stok merchandise mereka. Akan tetapi meski punya potensi untuk lebih membesarkan bisnisnya menjadi bisnis clothing, namun mereka tidak begitu antusias. “Mungkin kita merasa momennya sudah gak tepat atau terlambat. Biarin aja band-band yang baru yang serius menggarap bisnis clothing. Kita yah cukup jualan merchandise internal aja,”ujarnya.
Punya label sendiri dan menjalankan bisnis secara mandiri, namun Pure Saturday tidak berpikir untuk dapat digaji dari pendapatan band. Mereka tetap pada niat awal band dibentuk untuk menyalurkan kreatifitas mereka dan bekarya dengan bebas.
ADVERTISEMENT
“Kita mungkin sejak awal bukan dibilang bego yah, tapi kita mau main musik tanpa berpikir ini nanti akan major label atau indie? Mau dapat penghasilan banyak atau tidak, mau ngebiayain recording dari mana. Kita jalan saja. Dan kita bangga dari awal tetap konsisten dengan apa yang kita mulai yaitu bermusik itu harus enjoy.” ungkapnya.