Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Sekolah di Purwakarta Sudah Punya Cara Tanamkan Toleransi ke Siswa
26 Juli 2017 11:21 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Fino Boeton tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Waktu menunjukkan pukul 9.15 WIB, Kamis pekan lalu. Saatnya jam istirahat sekolah. Seorang siswa tampak sedang beribadah di ruangan berukuran kurang lebih 3 x 8 meter. Lokasi ruangan itu berada di lantai dua, SMP Negeri 1 Purwakarta, Jawa Barat. Di dalam ruangan itu, terdapat berbagai gambar dan ornamen Yesus Kristus. Ruangan ini memang diperuntukan pihak sekolah sebagai ruang ibadah bagi siswa beragama Kristen Protestan. Sementara itu, masih di dalam lingkungan sekolah, siswa-siswa beragama Islam terlihat sedang menunaikan salat duha di masjid sekolah.
SMP Negeri 1 Purwakarta memiliki siswa dari beragam agama. Meski mayoritas siswanya beragama Islam, pihak sekolah tak ‘menganaktirikan’ siswanya yang beragama non Islam dalam menjalankan aktivitas peribadatan saat jam sekolah. Bagi siswa beragama Islam, disediakan masjid sekolah.
ADVERTISEMENT
Bagi siswa non muslim, pihak sekolah menyulap beberapa ruang kelas untuk digunakan sebagai ruang ibadah. Ada ruang ibadah untuk siswa Kristen Protestan, ruang ibadah untuk siswa beragama Katolik, ruang ibadah untuk siswa beragama Hindu, dan juga ruang ibadah untuk siswa beragama Buddha.
Di tengah kekhawatiran lunturnya sikap toleransi di kalangan generasi muda Indonesia, di Purwakarta ada terobosan baru. Yakni, dengan mengajarkan toleransi dari sekolah, caranya menyediakan fasilitas ruang beribadah bagi siswa yang disesuaikan dengan agama dari masing-masing siswa.
Keberadaan fasilitas ruang ibadah untuk siswa non muslim di SMP Negeri 1 Purwakarta sudah berlangsung November 2016 lalu. Humas SMP Negeri 1 Purwakarta, Yogaswara, menceritakan awal diadakannya ruang ibadah untuk siswa non muslim di sekolahnya, yang merupakan inisiatif dari Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Sebelumnya, kata Yoga, untuk pembelajaran agama, siswa beragama Islam diajarkan oleh guru pelajaran agama Islam. Aktivitas belajar mengajar diselenggarakan di ruang kelas.
ADVERTISEMENT
Namun untuk siswa non muslim, pembelajarannya diserahkan ke sekolah agama masing-masing. “Dulu yang non muslim terpaksa tidak belajar di sekolah kalau mata pelajaran agama tapi belajar di luar,” ujar Yoga saat ditemui di SMP Negeri 1 Purwakarta, Jalan Kolonel Kornel Singawinata, Purwakarta, Jawa Barat, Kamis pekan lalu.
Dengan disediakannya ruang ibadah untuk masing-masing agama, kini pembelajaraan agama untuk semua siswa diadakan di sekolah. Jadwal mata pelajaran agama setiap Jumat. Untuk siswa beragama Islam, sebelum salat Dhuha diberi siraman rohani kultum. Untuk siswa non muslim, sebelum beribadah atau berdoa, diberi siraman rohani oleh guru agama di ruang ibadah masing-masing. “Jadi, karena semua ibadah (sudah terakomodasi), tidak akan ada saling mengganggu kekhusyukan ibadah masing-masing,” ujar Yoga.
ADVERTISEMENT
Untuk ruangan ibadahnya, Yoga melanjutkan, itu bukan ruangan yang baru dibangun. Tapi memanfaatkan ruangan yang sudah ada. Sedangkan untuk gambar atau ornamen keagamaan seperti patung-patung, sesajen, dan lainnya, biasanya siswa yang membawanya dari rumah mereka dan setelah ibadah mereka membawa pulang. “Kalau yang Hindu atau Buddha itu biasanya kan ada sesajen seperti bunga dan buah jadi mau tidak mau harus diganti kalau layu dan busuk,” Yoga menerangkan.
Yoga mengatakan sejak lama di kurikulum ada pembelajaran toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Jadi begitu kebijakan ini diaplikasikan, pihak sekolah tidak menemui kesulitan. Sikap toleransi antarsiswa juga sudah kuat terbangun. Kini, tugas dari sekolah dan pengajar adalah mengarahkan siswa bahwa ketika ada siswa beragama lain sedang beribadah, jangan diganggu. ”Tapi pada dasarnya antarsiswa ini sudah saling memahami bahwa ibadah itu merupakan suatu yang sakral dan sebaiknya tidak diganggu,” ujar Yoga.
ADVERTISEMENT
Fadilah, siswi SMP Negeri 1 Purwakarta dari kelas VIII G mengaku sangat setuju dengan adanya ruangan untuk tempat beribadah bagi setiap pemeluk agama di sekolahnya. Dengan begitu, siswa lebih dapat belajar dan memaknai arti dari sebuah toleransi. “Saya setuju, dengan tersedianya fasilitas tersebut karena semakin menumbuhkam toleransi antar kita,” ujarnya.
Pembelajaran toleransi sesama umat beragama di sekolah, juga diterapkan di SD/SMP Katolik Yos Yudarso, Purwakarta, yang tentu mayoritas siswanya beragama katolik. Namun, bukan berarti tidak ada siswa beragama Islam, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu. Walaupun jumlahnya sedikit.
ADVERTISEMENT
Lambang Purnama, Kepala Sekolah SD Katolik Yos Sudarso, mengungkapkan bahwa saat ini SD Katolik Yos Sudarso memiliki 530 siswa dengan 21 siswa beragama Islam, 15 siswa beragama Buddha, delapan siswa beragama Kong Hu Chu, lima siswa beragama Hindu, dan selebihnya beragama Katolik dan Protestan. Di sekolah ini, kata Lambang, setiap harinya siswa diberi pelajaran agama sesuai dengan agama yang diyakininya. Pembelajaran ini dilaksanakan selama dua jam.
Meski tidak selengkap ruang ibadah di SMP Negeri 1 Purwakarta, di sekolah yang berdiri sejak tahun 1971 ini, pihak sekolah menyediakan musala berukuran 3 x 4 meter untuk siswa beragama Islam, dan gereja yang mampu menampung ratusan siswa beragama Katolik. “Karena ruangan kami masih terbatas, baru ada musala dan gereja Katolik. Sedangkan untuk yang beragama Buddha, Hindu, Kong Hu Chu, dan Protestan, tempat ibadahnya berada di luar sekolah,” ujar Lambang.
ADVERTISEMENT
Lambang menceritakan, ketika siswa muslim melaksanakan salat zuhur, siswa beragama Katolik mengadakan doa bersama di ruang kelas masing-masing untuk menghormati siswa yang beragama Islam melaksanakan salat dengan khusyuk. “Inilah bentuk toleransi yang sudah lama kita terapkan di sekolah ini,” ia mengungkapkan.
Untuk mata pelajaran agama, di sekolah ini ada guru untuk masing-masing agama. Dan setiap memperingati Hari Raya Idul Fitri ada semacam acara kecil-kecilan yang diadakan sekolah. Hari itu. para siswa beragama Islam dikumpulkan di lapangan, dan siswa yang beragama non Islam mulai menyalami dan mengucapkan selamat Lebaran. “Perlakuan yang sama juga diterapkan untuk agama lain yang sedang merayakan hari besar keagamaannya,” kata Lambang.
Saat saya menemui Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, ia mengungkapkan bahwa pembelajaran toleransi di sekolah ini bukanlah kebijakannya. ”Ini bukan kebijakan saya tapi ini titah negara yang harus dilaksanakan, yaitu setiap orang punya hak memeluk agama dan menjalankannya dan negara wajib menyediakan ruang untuk itu,” ia menerangkan.
Awalnya Dedi melihat ada persoalan krusial terkait keberadaan guru agama di sekolah. Jika sekolah yang mayoritas siswanya beragama Islam, guru agama non Islam tidak disediakan pihak sekolah. Begitu juga sebaliknya, kalau sekolah yang mayoritas Nasrani, guru agama Islam dan lain-lain menjadi masalah. ”Bagi saya karena menyediakan guru itu adalah tugas negara, maka guru agama itu harus ada pada setiap sekolah,” tukasnya.
ADVERTISEMENT
Untuk mendapatkan guru agama, pihak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purwakarta meminta bantuan para pemuka agama yang tergabung dalam satuan tugas (satgas) toleransi. Mereka diminta merekomendasikan guru agama yang akan ditempatkan pihak Pemkab Purwakarta di sekolah. ”Tentu (rekomedasi dari) para kyai, para pendeta, para biksu yang tergabung dalam satgas toleransi, sehingga pembelajaran agama itu berjalan dan lahirlah sistem pembelajaran agama seperti ini di Purwakarta,” ujar Dedi. Dan, ”Mungkin ini yang pertama di Indonesia,” ia menegaskan.
Dedi mengemukakan, misi besar dari pembelajaran toleransi di sekolah ini adalah menebarkan virus cinta dan kasih sayang. ”Karena hidup itu akan melahirkan kebahagiaan hanya dengan rasa cinta dan kasih sayang antarsesama manusia tanpa melihat dia agamanya apa,” tutupnya.
ADVERTISEMENT