Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Seperti Ini Awal Mula Suku Cia-cia Menggunakan Aksara Korea
17 Juli 2017 12:39 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Fino Boeton tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang anak menulis huruf kanji di secarik kertas di serambi sebuah rumah papan beratap sirap suatu siang di akhir November lalu. Namun bila lebih diperhatikan, itu bukan huruf dari Jepang atau Cina, melainkan huruf-huruf Korea. Pemandangan ini biasa terlihat dalam kehidupan sehari-hari di Kampung Karya Baru, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Di kampung berjarak sekitar 20 kilometer arah timur Kota Baubau ini bermukim 80.000 jiwa suku Cia-Cia.
ADVERTISEMENT
Di sini, warga kampung, dari anak kecil hingga dewasa, sudah pintar menulis dengan huruf-huruf Korea yang disebut aksara Hangeul. Huruf ini pun digunakan sebagai petunjuk tempat-tempat umum di Karya Baru. Beberapa nama jalan atau plang sekolahan, selain ditulisi nama resmi versi bahasa Indonesia dengan aksara Latin, juga dilengkapi dengan tulisan berhuruf Korea.
Hampir semua suku Cia-Cia juga menggunakan aksara Hangeul untuk berkomunikasi secara tertulis di antara mereka. Namun, bahasanya tetap bahasa asli mereka sendiri. “Murid-murid sekolah di sini belajar menulis huruf Hangeul, dan di SMA juga ada pejaran bahasa Korea,” kata Abidin, salah satu guru SMA Negeri 6 Baubau yang asli warga Cia-Cia.
Awal mula Suku Cia-Cia mengenal aksara dari “Negeri Ginseng” itu terjadi sekitar awal tahun 2000-an. Ketika itu, Wali Kota Baubau yang dijabat oleh MZ. Amirul Tamin tergerak hatinya ketika mendengar pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang menyebut beberapa bahasa daerah di Indonesia terancam punah.
ADVERTISEMENT
Salah satu penyebabnya, penutur bahasa-bahasa daerah minoritas ini tidak memiliki sistem penulisan yang bisa mengabadikan pelafalan bahasa mereka sendiri. Sehingga, pengaruh bahasa mayoritas bisa menggerus pemakaian bahasa kaum minoritas itu. Amirul pun teringat kepada suku Cia-Cia, penutur bahasa Buton Selatan, sejenis bahasa tutur Austronesia, namun tak memiliki sistem aksara sendiri. “Di situ saya berpikir kalau bahasa Cia-Cia ini murni bahasa lisan. Dokumennya tidak ada, dan ini bisa punah,” ujarnya.
Dari fakta inilah, kemudian Pemerintah Kota Baubau berupaya mencari aksara yang cocok dengan bahasa Cia-Cia agar bisa didokumentasikan. Awalnya dipertimbangkan untuk menggunakan aksara Arab seperti halnya bahasa Wolio, bahasa mayoritas di Buton. Namun, bunyi konsonan bahasa Cia-Cia tidak semuanya bisa ditulis dengan huruf Arab.
ADVERTISEMENT
Pada 2005, bekerja sama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), pemerintah kota kemudian menggelar “Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara” di Baubau. “Salah satu yang hadir itu seorang guru besar asal Korea, Prof. Chun Thay Hyun. Ia tertarik dengan paparan tentang keragaman bahasa dan adat istiadat di wilayah bekas Kesultanan Buton ini,” Amirul bercerita.
Prof. Chun Thay Hyun lalu menyempatkan waktu untuk melakukan penelitian di Cia-Cia karena wilayah ini belum memiliki alfabet sendiri, serta adanya kesamaan pelafalan dan struktur bahasa dengan Korea. Tiga tahun kemudian, sebuah organisasi kemasyarakatan dari Korea Hunminjeongeum Research Institute datang ke Buton atas saran Prof. Chun Thay Hyun. Institut ini telah bertahun-tahun ber-tungkus-lumus menyebarkan penggunaan abjad Korea ke kaum-kaum minoritas yang tak memiliki sistem tulisan sendiri di seluruh Asia.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Kota Baubau kemudian bekerja sama dengan Hunminjeongeum Research Institute untuk menyusun bahan ajar kurikulum muatan lokal mengenai bahasa Cia-Cia dengan huruf Korea. Huruf ini mulai dipelajari dari tingkat SD hingga SMA. Sejak saat itulah nama Cia-Cia populer di Korea, Jepang, bahkan sampai ke Inggris dan Amerika.
Amirul memaparkan, berkat aksara Hangeul itu, kini telah dibuat naskah bahasa Cia-Cia dalam tiga terjemahan, yakni Indonesia, Inggris, dan Korea. Setelah semua usaha ini tercapai, Amirul yakin bahwa dengan adanya sistem penulisan ini, bahasa Cia-Cia akan tetap lestari.
Namun, yang lebih menggembirakan, setelah menguasai huruf-huruf Korea itu, beberapa siswa, guru, masyarakat Cia-Cia, serta Pemerintah Kota Baubau pernah diundang langsung ke Korea. Mereka mendemonstrasikan kemampuan menuliskan huruf Hangeul untuk bahasa Cia-Cia. “Bahkan, kemudian beberapa guru dari Korea didatangkan langsung ke Baubau untuk mengajarkan huruf Haenggul,” Amirul memaparkan.
ADVERTISEMENT
Hangeul di sisi lain juga seperti berkah bagi suku Cia-Cia. Seorang peneliti, Syahrir Ramadhan, yang pernah meneliti soal relasi budaya dan bahasa Korea dengan Cia-Cia, menemukan fakta bahwa suku Cia-Cia, khususnya di Karya Baru, awalnya dianggap minoritas dan terisolasi di Buton. Sejak dulu mereka dianggap sebagai suku terbelakang, tidak berpendidikan, dan tidak layak mendapatkan “panggung” di lingkungan lebih luas di Buton. “Mereka minoritas yang terpinggirkan,” kata Syahrir.
Dari hasil penelitiannya, kata Syahrir, orang Cia-Cia yang ada di Karya Baru sebenarnya dulu berasal dari Kecamatan Sampolawa di Buton Selatan. Migrasi orang Cia-Cia ke Karya Baru ternyata dilakukan secara paksa oleh tentara. Peristiwa tersebut menjadi ingatan kelam orang Cia-Cia yang merasakan bagaimana kekerasan yang dilakukan oleh militer saat itu. Migrasi tersebut terjadi pada 1969, untuk membangun perkampungan baru yang disebut Resettlement 11 Karya Baru. “Maka wajar, mereka itu dianggap sebagai warga pendatang dan dikucilkan saat itu,” katanya.
ADVERTISEMENT
Namun, perasaan minder dan terkucilkan itu mulai pudar ketika mereka mengenal huruf Korea. Abidin mengakui, anak-anak Cia-Cia sangat cepat menguasai huruf-huruf Hangeul. Selain itu, hanya aksara Korea yang paling cocok dipakai untuk menulis naskah Cia-Cia dibandingkan dengan aksara Arab atau Latin. Sebab, entakan ketika berbicara bahasa Cia-Cia hampir mirip dengan bahasa tutur Korea. Dan lebih mudah dipelajari. “Siswa di sini pernah juga belajar aksara Wolio yang pakai huruf Arab, tapi itu dianggap terlalu sulit, berbeda dengan aksara Haenggul,” ujarnya.
Kini, pelajaran menulis bahasa Cia-Cia menggunakan aksara Haenggul ini, kata Abidin, dimasukkan ke mata pelajaran muatan lokal. Dan hanya ada sekolah-sekolah di wilayah tempat bermukimnya orang Cia-Cia, yakni di Kecamatan Sorawolio, Kota Baubau, yang memberikan pelajaran ini.
ADVERTISEMENT
Abidin sendiri sudah membuat dua buku pelajaran bahasa Cia-Cia yang ditulis menggunakan aksara Hangeul. Ia mengatakan, ada kebanggaan tersendiri buat warga Cia-Cia dengan masuknya kerja sama dengan Korea dalam bentuk penggunaan aksara Haenggul ini. Selain kini mereka dapat menuangkan bahasa mereka dalam bentuk lisan, Cia-Cia juga kini dikenal oleh dunia luar. “Tentu kami bangga,” katanya.