Halal Tidak Seharusnya Bersanding Dengan Haram

Finola Ifani Putri
Mahasiswa Jurnalistik, Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
30 November 2020 8:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Finola Ifani Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Wacana terkait halal dan haram memang selalu dapat membuka ruang publik. Seperti di Indonesia yang mana masyarakatnya mayoritas kaum muslim dan memiliki budaya tidak mengkonsumsi alkohol. Meskipun ada juga pengecualian dalam beberapa upacara adat. Dalam budaya Indonesia, “halal” merupakan panduan yang sangat penting bagi mayoritas masyarakatnya dalam mengkonsumsi makanan. Dengan adanya kepercayaan yang jelas, maka tidak seharusnya memberikan embel-embel halal pada makanan yang kodratnya haram.
ADVERTISEMENT
Saat ini, Korean wave sedang digandrungi di berbagai belahan dunia tak terkecuali Indonesia. Musik yang ditawarkan oleh boyband dan girlband seperti BTS dan Blackpink, drama, hingga makanan khas Korea Selatan menjadi budaya popular. Masyarakat berlomba – lomba mengikuti mode berbusana khas Korea Selatan. Tidak hanya sampai disitu, banyak juga yang memasarkan berbagai jenis makanan khas negeri ginseng tersebut.
Salah satu budaya Korea Selatan yang dirasa kurang cocok untuk diaplikasikan pada kebudayaan masyarakat Indonesia yaitu budaya minum alkohol. Meminum alkohol khususnya soju memang sudah menjadi tradisi masyarakat sana sejak dahulu. Bahkan dalam beberapa drama korea yang sempat saya tonton selalu terdapat adegan minum soju bersama dengan rekan kerja, yang kemudian saya mengetahui bahwa hal tersebut dinamakan hoesik.
ADVERTISEMENT
John Fiske berpendapat dalam budaya popular, komoditas memiliki dua fungsi yaitu fungsi material dan fungsi budaya. Jika meninjau pandangan Fiske pada budaya meminum soju di Korea Selatan, maka fungsi budayanya seperti yang sudah saya sebutkan diatas. Kemudian fungsi materialnya yaitu sebagai penghangat, apalagi kita tahu bahwa disana memiliki musim dingin.
Terpengaruh dari Korean wave, maka beberapa waktu lalu media sosial sempat diguncangkan dengan munculnya soju halal. Soju halal ini diproduksi oleh penjual yang berasal dari Bandung. Mulai dari pengemasan hingga warna minuman tersebut memang terlihat mirip seperti soju khas Korea. Akan tetapi, dari segi rasa berdasarkan pengakuan sang penjual memang mereka tidak mengetahui bedanya. Alasannya karena mereka belum pernah mencicipi rasa dari soju asli.
ADVERTISEMENT
Soju asal negara Korea Selatan merupakan minuman fermentasi dari beras, gandum atau ubi yang memiliki kandungan alkohol. Sedangkan soju halal yang ramai menjadi perbincangan di media sosial beberapa waktu belakangan diklaim memiliki bahan yang sangat berbeda dengan soju khas negara ginseng. Soju halal terbuat dari semacam virgin mojito yang diracik dan memiliki varian rasa strawberry, leci, yoghurt, dan greentea.
Terlepas dari bagaimana adanya perdebatan antara tim yang pro ataupun kontra terhadap produk tersebut, nyatanya soju halal ini memang berhasil menarik berbagai konsumen untuk mencicipinya. Theodor W. Adorno mengatakan bahwa “manusia yang mengonsumsi atau terjebak dalam budaya komoditas merupakan manusia yang hanya mementingkan hasrat sehingga kehilangan nalarnya secara rasional”. Adorno pun berpendapat jika budaya popular malah membuat manusia tidak tercerahkan.
ADVERTISEMENT
Maka seperti yang dikatakan Adorno, wacana soju halal menjadi sesuatu yang malah tidak mencerahkan manusia. Pada dasarnya soju adalah minuman yang mengandung alkohol dan alkohol merupakan hal yang dilarang dalam kepercayaan Islam. Melihat masyarakat Indonesia yang mayoritas merupakan muslim, memang pengaplikasian budaya meminum soju di Indonesia terasa kurang pas.
Budaya popular kemudian menghasilkan inovasi yang justru menghilangkan nilai dan esensi komoditasnya. Soju halal mencoba untuk berinovasi dan mangakali komoditas aslinya agar cocok di dalam kebudayaan Indonesia. Dalam hal ini saya melihat soju halal justru menghilangkan makna dan esensi yang ada dalam soju.
Manusia kemudian seperti yang dikatakan Adorno mulai mementingkan hasratnya dan kehilangan pikiran rasionalnya. Soju pada kodratnya adalah mengandung alkohol, yang mana memang terlarang untuk umat muslim. Maka wacana soju halal seakan-akan bersifat kontradiktif, hanya agar para ukhti di Indonesia dapat mengikuti tren Korean wave. Jika mereka mengetahui bahwa soju merupakan salah satu hal yang dilarang, lalu mengapa harus memaksakan pengaplikasian budaya yang ternyata memang bertentangan dengan kepercayaan mereka?
ADVERTISEMENT
Penamaan produk “soju halal” sejak awal memang sudah kontradiktif. Sekali lagi soju dikenal oleh masyarakat luas sebagai alkohol. Kemudian bagaimana bisa soju (alkohol) menjadi sesuatu yang halal? Saya memang mengetahui bahwa komposisi pembuatan soju halal 100% berbeda dengan soju aslinya. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah mengapa harus menggunakan kata soju? Selain itu, mulai dari pengemasan hingga warnanya pun diidentifikasikan mirip dengan soju (alkohol) original.
Jika hal tersebut merupakan strategi pemasaran memang saya akui hal ini dapat menarik perhatian konsumen. Namun, kembali lagi seperti apa yang dinyatakan Adorno, bahwa budaya popular menyebabkan manusia kehilangan nalar objektifnya. Disini terlihat dengan mengikuti budaya popular yaitu Korean wave, manusia memaksa mengikuti hasratnya untuk dapat mencicipi soju dan membuat sebuah produk imitasi.
ADVERTISEMENT
Jika berpikir secara rasional, maka tidaklah seharusnya produk tersebut mengadopsi kata “soju”. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun menolak memberikan sertifikat halal pada produk ini karena penggunaan kata soju dan klaim terhadap kalimat halal. Meskipun saat ini produk tersebut sudah berubah nama dan kemasan agar mengindari kontroversi lebih lanjut serta mendapatkan sertifikasi halal dari MUI, namun sejak awal wacana soju halal memang sulit untuk saya cerna, terlalu kontradiktif sehingga terkesan memaksa.
Apabila komposisi yang ditawarkan sangat berbeda dari soju khas Korea, mengapa tidak sejak awal memakai penamaan yang berbeda pula? Selain itu, pernyaatan dari sang penjual yang tidak dapat membedakan cita rasa antara soju buatannya dengan soju khas Korea karena belum pernah mencobanya semakin menimbulkan pertanyaan besar dikepala saya. Bagaimana mungkin dapat mengklaim sebuah produk serupa apabila belum mengetahui cita rasa produk aslinya.
ADVERTISEMENT
Selain soju halal, sebelumnya sudah pernah muncul wacana daging babi halal. Sama seperti soju halal, daging babi halal terlalu kontradiktif dan memaksa. Bagi penganut kepercayaan Islam, daging babi merupakan sesuatu yang haram. Lalu bagaimana bisa menghalalkan suatu makanan yang haram?
Impossible Food yang merupakan perusahaan makanan asal California menciptakan daging babi halal. Menurut pernyataannya, daging tersebut tidak terbuat dari daging babi sungguhan, namun terbuat dari tumbuhan. Berkat kemajuan teknologi, daging tersebut dikatakan oleh beberapa orang memiliki cita rasa yang sama seperti daging babi aslinya. Dengan tidak adanya kandungan babi dalam produk tersebut maka perusahaan itu dengan percaya diri mengklaim bahwa produk tiruannya halal sehingga menciptakan wacana daging babi halal.
Jika melihat dari komposisi dan kandungan yang terdapat dalam daging babi halal tersebut memang tidak terdapat unsur haram. Namun, dalam fatwa MUI No. 4 Tahun 2003 “Tidak boleh mengkonsumsi dan menggunakan makanan/minuman yang menimbulkan rasa/aroma (flavor) benda-benda atau binatang yang diharamkan” maka kemudian pilihannya tergantung pada kepercayaan kalian.
ADVERTISEMENT
Kemajuan teknologi menghasilkan inovasi dalam budaya popular. Namun, alih-alih mencerahkan, inovasi-inovasi tersebut dilihat Adorno malah menghilangkan nalar rasional. Menghadirkan berbagai produk-produk dengan penamaan yang kontradiktif dan terkesan memaksa. Sejak awal penggunaan kata halal yang disandingkan dengan sesuatu yang haram memang sulit untuk dipahami. Apabila sesuatu yang haram tidak dapat dinikmati, lalu mengapa memaksa dengan membawa sebuah wacana yang seakan-akan mengahalalkan sesuatu yang memang kodratnya haram.
Sumber foto: Psikolif 1