Konten dari Pengguna

Ambang Masa Depan Sastra di Era Digital: Kemajuan atau Kehancuran?

Fira Ila Maula
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga
23 Oktober 2024 14:30 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fira Ila Maula tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Canva Design (Digitalisasi pada Sastra)
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Canva Design (Digitalisasi pada Sastra)
ADVERTISEMENT
OPINI - Perkembangan dunia digital yang semakin pesat telah membawa banyak perubahan signifikan di berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Penggunaan platform digital yang semakin meningkat setiap harinya membuka peluang baru bagi sastra untuk semakin berkembang sembari mempertahankan eksistensinya pada era ini. Dalam lingkup sastra, digitalisasi memberikan akses yang lebih mudah bagi penulis dan pembaca untuk berinteraksi dengan karya sastra, baik dalam bentuk cerita pendek, puisi, pantun, maupun bentuk lain yang kini telah tersedia di berbagai platform digital seperti Instagram, Wattpad, dan platform sastra lainnya.
ADVERTISEMENT
Kemajuan digital ini memungkinkan karya sastra untuk menjangkau khalayak yang lebih luas tanpa batasan geografis. Para penulis, baik yang sudah mapan maupun yang masih baru, kini dapat menerbitkan karyanya secara mandiri dan langsung berinteraksi dengan pembaca melalui media sosial atau platform menulis online. Dari satu sisi, digitalisasi terlihat sebagai pendorong positif bagi keberlanjutan sastra. Namun, di balik kemudahan ini, ada ancaman yang mengintai eksistensi dan kesakralan karya sastra itu sendiri, terutama terkait dengan masalah regulasi dan perlindungan hak cipta yang masih sangat minim.
Kelebihan Digitalisasi dalam Sastra
Era digital telah memungkinkan pengembangan sastra melalui cara-cara yang sebelumnya tidak terbayangkan. Penulis tidak lagi harus bergantung pada penerbit besar untuk menerbitkan karyanya. Mereka dapat langsung mempublikasikan tulisan mereka di berbagai platform digital yang memberikan kemudahan akses kepada pembaca di seluruh dunia. Selain itu, media sosial telah menjadi wadah bagi komunitas-komunitas sastra untuk berkumpul dan berbagi karya, menciptakan ruang di mana apresiasi dan kritik dapat berkembang secara lebih terbuka.
ADVERTISEMENT
Platform seperti Wattpad dan Joylada misalnya, memberikan kesempatan bagi penulis amatir untuk menunjukkan karyanya kepada jutaan pembaca secara gratis. Penulis dapat melihat langsung respons dari pembaca melalui komentar-komentar yang diberikan, sehingga terjadi hubungan interaktif antara keduanya. Hal ini memperkaya proses kreatif dan memberikan motivasi bagi penulis untuk terus berkarya.
Di sisi lain, para pembaca pun diuntungkan dengan adanya digitalisasi. Mereka bisa dengan mudah mengakses berbagai karya sastra dari penulis lokal hingga internasional hanya dengan sekali klik. Platform-platform ini menyediakan aksesibilitas yang tak terbatas, memperluas wawasan dan pengalaman membaca masyarakat. Sastra kini lebih inklusif, menjangkau semua lapisan masyarakat tanpa terkendala oleh biaya mahal atau keterbatasan fisik.
Namun, di balik semua manfaat ini, ada beberapa masalah mendasar yang muncul seiring dengan perkembangan dunia digital yang semakin pesat.
ADVERTISEMENT
Tantangan Digitalisasi terhadap Hak Cipta dan Eksistensi Sastra
Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh dunia sastra di era digital adalah pelanggaran hak cipta. Baru-baru ini, terjadi kasus yang melibatkan marketplace besar di Indonesia, Shopee, yang menjadi platform penjualan buku ilegal. Kasus ini diungkap oleh chef dan selebgram Devina Hermawan, yang mendapati bahwa buku resep masakannya telah dipalsukan dan dijual dengan harga yang sangat murah—sekitar Rp. 1.500,-. Hal ini mengejutkan publik karena menunjukkan betapa lemahnya perlindungan hak cipta di era digital.
Masalah ini tidak hanya dialami oleh Devina Hermawan, tetapi juga oleh banyak penulis lain yang mengungkapkan bahwa karya mereka telah dipalsukan dan dijual secara ilegal di platform yang sama. Ironisnya, meskipun sudah banyak laporan yang diajukan kepada pihak Shopee, tampaknya tindakan nyata dari pihak marketplace tersebut masih sangat minim. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya regulasi dan penegakan hukum terkait hak cipta di era digital, terutama di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ketika karya-karya sastra dijual secara ilegal dengan harga yang tidak masuk akal, penulis tidak hanya dirugikan secara finansial, tetapi juga secara moral. Jerih payah mereka menciptakan karya yang bermakna dan bernilai tinggi seolah-olah diabaikan begitu saja oleh masyarakat dan platform yang seharusnya melindungi mereka. Digitalisasi, yang seharusnya membawa manfaat, justru menjadi ancaman jika tidak diimbangi dengan regulasi yang ketat dan perlindungan yang memadai.
Regulasi yang Lemah, Ancaman bagi Karya Sastra
Kasus yang dihadapi Devina Hermawan hanyalah puncak gunung es dari permasalahan yang lebih besar. Di era digital, regulasi terkait hak cipta dan perlindungan karya intelektual masih sangat lemah. Padahal, dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, perlindungan terhadap karya intelektual seharusnya menjadi prioritas utama. Tanpa adanya regulasi yang jelas dan tegas, karya sastra dan para penulisnya akan terus terancam oleh tindakan-tindakan ilegal seperti pembajakan dan penjualan buku bajakan.
ADVERTISEMENT
Kurangnya perhatian dari pemerintah dan pihak berwenang terhadap kasus-kasus seperti ini juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana sastra dipandang dalam konteks masyarakat saat ini. Apakah sastra sudah tidak lagi dianggap penting? Apakah karya-karya penulis tidak lagi dihargai sebagaimana mestinya? Sastra yang selama ini menjadi cerminan dari kehidupan dan budaya masyarakat, kini seolah-olah dipinggirkan dalam hiruk-pikuk perkembangan digital yang lebih berfokus pada bidang-bidang seperti kesehatan, politik, dan ekonomi.
Masa Depan Sastra di Tengah Arus Digitalisasi
Digitalisasi, meskipun membawa banyak manfaat, juga menghadirkan tantangan besar bagi dunia sastra. Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana melindungi karya-karya sastra di tengah kemudahan akses informasi dan keterbukaan digital. Ketika platform-platform digital tidak mampu memberikan perlindungan yang memadai, para penulis akan semakin kehilangan motivasi untuk terus berkarya, karena mereka merasa usaha keras mereka tidak dihargai dan dilindungi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, munculnya platform media sosial yang lebih berfokus
pada hiburan juga turut menggeser perhatian masyarakat dari karya sastra yang memiliki nilai estetika dan intelektual tinggi. Blog-blog pribadi, yang dulu menjadi tempat seseorang berbagi dan mengekspresikan diri melalui tulisan, kini mulai mati dan terlupakan. Media sosial yang lebih mudah diakses dan lebih menghibur, kini menjadi wadah utama bagi masyarakat dalam berkomunikasi dan berekspresi. Sastra, yang mungkin dianggap lebih "berat" dan membutuhkan pemikiran mendalam, perlahan-lahan mulai terpinggirkan.
Meskipun demikian, kita tidak boleh pesimis terhadap masa depan sastra di era digital. Sastra memiliki peran penting dalam merepresentasikan kehidupan masyarakat, dan eksistensinya harus tetap dipertahankan. Namun, untuk mewujudkan hal ini, dibutuhkan dukungan dari semua pihak—pemerintah, platform digital, dan masyarakat luas. Regulasi yang ketat harus segera diberlakukan untuk melindungi karya-karya sastra dari tindakan-tindakan ilegal seperti pembajakan dan penjualan buku bajakan.
ADVERTISEMENT
Peran digitalisasi dalam perkembangan sastra memang tidak bisa dipungkiri membawa banyak manfaat. Akses yang lebih mudah bagi penulis dan pembaca, serta ruang interaksi yang lebih terbuka melalui platform digital, telah memperkaya dunia sastra modern. Namun, di balik semua kelebihannya, digitalisasi juga menghadirkan tantangan besar, terutama terkait dengan pelanggaran hak cipta dan ancaman terhadap eksistensi karya sastra.
Keberlanjutan sastra di era digital sangat bergantung pada bagaimana kita, sebagai masyarakat, memandang dan menghargai karya-karya sastra. Ketika perlindungan terhadap karya sastra tidak lagi menjadi prioritas, dan ketika platform digital tidak mampu melindungi para penulis dari tindakan ilegal, maka kita sedang menghadapi ancaman serius terhadap masa depan sastra.
Sastra adalah cerminan dari kehidupan dan budaya kita, dan sudah seharusnya kita semua terlibat dalam melindungi dan mempertahankan eksistensinya. Dengan regulasi yang lebih baik dan dukungan dari semua pihak, kita dapat memastikan bahwa sastra tetap hidup dan berkembang di tengah arus digitalisasi yang semakin kuat ini.
ADVERTISEMENT