The Happiness Trifecta: Kebahagiaan Kimiawi, Makna Hidup, Kenali Diri Sendiri

Firasyan Daffa Ragilliendra
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
9 Juni 2024 17:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firasyan Daffa Ragilliendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://cdn.pixabay.com/photo/2022/08/17/15/46/family-7392843_1280.jpg
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://cdn.pixabay.com/photo/2022/08/17/15/46/family-7392843_1280.jpg
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernahkah Anda bertanya-tanya apa yang membuat Anda bahagia? Sepanjang sejarah, manusia telah mencari sumber kebahagiaan sejati. Para filsuf merenungkan makna hidup, sementara para ilmuwan sekarang mulai memahami peran zat kimia di otak kita yang memengaruhi perasaan senang dan kepuasan. Namun, kebahagiaan sejati mungkin lebih dari sekadar reaksi kimia. Artikel ini akan mengeksplorasi konsep "Chemical Happiness", "The Meaning of Life", dan "Know Thyself" untuk memberikan gambaran yang holistik tentang bagaimana kita dapat mencapai kebahagiaan yang langgeng.
ADVERTISEMENT

Chemical happiness

Penelitian menunjukkan bahwa kebahagiaan subjektif manusia lebih ditentukan oleh faktor biokimia dan genetik daripada faktor eksternal seperti kekayaan atau kebebasan politik. Ilmuwan biologi menemukan bahwa kebahagiaan kita diatur oleh mekanisme biokimia yang telah berkembang selama jutaan tahun. Hal ini berarti bahwa kondisi mental dan emosional kita, termasuk kebahagiaan, dipengaruhi oleh sistem saraf, neuron, sinaps, dan zat-zat biokimia seperti serotonin, dopamin, dan oksitosin.
Penelitian juga menunjukkan bahwa peristiwa eksternal seperti memenangkan lotere atau menemukan cinta sejati tidak secara langsung membuat seseorang bahagia; yang sebenarnya terjadi adalah peristiwa tersebut memicu sensasi menyenangkan dalam tubuh yang dihasilkan oleh hormon dan sinyal listrik di otak. Sistem biokimia kita cenderung menjaga tingkat kebahagiaan pada tingkat yang relatif konstan, meskipun ada perubahan dalam kondisi eksternal.
ADVERTISEMENT
Ada perbedaan individu dalam sistem biokimia ini; beberapa orang cenderung memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi secara alami, sementara yang lain cenderung lebih rendah. Kebahagiaan juga dipengaruhi oleh faktor genetik yang menentukan rentang emosi seseorang, membuat beberapa orang lebih mudah merasa bahagia meskipun dalam kondisi yang tidak ideal.
Selain itu, peristiwa sejarah dan perubahan sosial, seperti Revolusi Perancis, tidak banyak mempengaruhi tingkat kebahagiaan secara keseluruhan. Kebahagiaan lebih terkait dengan keseimbangan biokimia dalam tubuh daripada perubahan eksternal.
Berdasarkan pandangan ini, upaya untuk mencapai kebahagiaan melalui perubahan sosial atau politik dianggap tidak efektif. Sebaliknya, pendekatan yang lebih efektif adalah dengan memahami dan memanipulasi biokimia otak untuk meningkatkan kebahagiaan. Misalnya, obat-obatan seperti Prozac dapat meningkatkan kadar serotonin dan membantu mengatasi depresi.
ADVERTISEMENT

The Meaning of Life

Huxley berpendapat bahwa kebahagiaan setara dengan kesenangan fisik yang bisa dicapai melalui manipulasi sistem biokimia. Namun, penelitian Daniel Kahneman menunjukkan bahwa kebahagiaan lebih kompleks, melibatkan pandangan hidup secara keseluruhan sebagai sesuatu yang bermakna dan berharga. Kebahagiaan tidak hanya diukur dari surplus momen-momen menyenangkan, melainkan dari bagaimana seseorang menilai makna hidupnya. Meski mengasuh anak seringkali tidak menyenangkan, banyak orang tua menganggap anak-anak sebagai sumber kebahagiaan terbesar mereka.
Nilai-nilai dan keyakinan seseorang menentukan apakah mereka melihat hidup mereka sebagai "budak yang sengsara" atau "pembimbing yang penuh kasih". Kebahagiaan juga tergantung pada makna yang diberikan pada pengalaman hidup, yang bisa sangat bervariasi antar budaya dan zaman. Misalnya, orang-orang di Abad Pertengahan mungkin merasa hidup mereka lebih bermakna karena keyakinan pada kehidupan setelah mati dibandingkan orang modern yang mungkin hanya melihat kekosongan setelah kematian.
ADVERTISEMENT
Ilusi kolektif tentang makna hidup membuat orang merasa bahagia, meskipun dari sudut pandang ilmiah, hidup manusia tidak memiliki makna absolut. Makna yang kita berikan pada hidup hanyalah delusi. Kebahagiaan mungkin tergantung pada bagaimana kita menyelaraskan delusi pribadi dengan delusi kolektif. Selama narasi pribadi kita sejalan dengan narasi orang-orang di sekitar kita, kita bisa meyakinkan diri bahwa hidup kita bermakna dan menemukan kebahagiaan. Kesimpulan ini menunjukkan bahwa kebahagiaan mungkin bergantung pada delusi diri.

Know Thyself

ada dua pandangan umum tentang kebahagiaan: pandangan yang mengaitkan kebahagiaan dengan sensasi menyenangkan dan pandangan yang mengaitkannya dengan makna hidup. Kedua pandangan ini berbagi asumsi bahwa kebahagiaan adalah perasaan subjektif (baik dalam bentuk kesenangan atau makna), dan bahwa untuk menilai kebahagiaan seseorang, kita hanya perlu bertanya pada mereka bagaimana mereka merasakannya.
ADVERTISEMENT
Namun, pandangan tersebut dipengaruhi oleh pandangan dominan zaman kita, yaitu liberalisme. Liberalisme menganggap perasaan subjektif individu sebagai sumber otoritas tertinggi dalam menentukan kebaikan, keindahan, dan hal-hal yang seharusnya atau tidak seharusnya terjadi. Pandangan ini tercermin dalam politik liberal yang percaya bahwa pemilih yang paling tahu apa yang terbaik untuk mereka tanpa perlu diatur oleh pihak lain, serta dalam ekonomi liberal yang menganggap pelanggan selalu benar.
Tetapi, pandangan ini tidak berlaku dalam semua agama dan ideologi. Sebagian besar agama dan filsafat di sepanjang sejarah menekankan bahwa ada standar objektif untuk kebaikan dan keindahan, dan skeptis terhadap perasaan dan preferensi individu. Buddhisme, misalnya, menekankan bahwa kebahagiaan tidak bergantung pada perasaan subjektif, tetapi pada pemahaman yang mendalam tentang sifat impermanen dari semua perasaan. Dalam konteks ini, meditasi Buddhisme bertujuan untuk menghentikan keinginan akan perasaan tertentu, sehingga pikiran menjadi tenang, jelas, dan puas.
ADVERTISEMENT
Pandangan ini menantang konsep modern tentang kebahagiaan yang mengidentifikasikannya dengan perasaan subjektif dan menunjukkan bahwa pengetahuan yang benar tentang diri sendiri mungkin merupakan kunci sejati kebahagiaan, tidak hanya mengandalkan perasaan internal. Meskipun masih banyak yang harus dipelajari dalam memahami sejarah kebahagiaan, penting untuk terus membuka dialog dan mempertanyakan paradigma yang ada.

Kesimpulan

Kebahagiaan bukan sekadar rasa senang sesaat, melainkan hasil kompleks dari interaksi biokimia otak, makna hidup, dan pengetahuan diri. Sistem biokimia otak menjaga keseimbangan kebahagiaan, namun makna hidup yang diyakini dan pengetahuan diri yang mendalam menjadi kunci kebahagiaan sejati. Mencari kebahagiaan melalui pencapaian eksternal tak efektif, pemahaman diri dan makna hiduplah yang menuntun kebahagiaan yang langgeng.
Sumber:
Harari, Y. N. (2014). Sapiens: A Brief History of Humankind. Signal Books.
ADVERTISEMENT