Konten dari Pengguna

Tak Hanya sebagai Santapan Lebaran, Ketupat Dijadikan Alat Perang di Bangka

Firda Aulia Ramadanti
Mahasiswi Sastra Indonesia - Universitas Jenderal Soedirman
9 April 2022 6:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firda Aulia Ramadanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Tradisi Unik Perang Ketupat sebagai Pengusiran Roh Jahat

Foto oleh Mufid Majnun dalam Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Mufid Majnun dalam Unsplash
ADVERTISEMENT
Ketupat identik dengan santapan khas Indonesia yang disajikan ketika lebaran. Namun, di Bangka Belitung ketupat justru dijadikan alat perang pada tradisi Perang Ketupat.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini ramai diperbincangkan mengenai Perang Ketupat yang kembali digelar di Bangka Belitung usai terhenti selama dua tahun akibat pandemi Covid-19. Lalu, apa sebenarnya Perang Ketupat tersebut?
Asal-Usul
Perang Ketupat merupakan sebuah tradisi di Desa Tempilang, Bangka Belitung yang diadakan pada bulan Syakban untuk menyambut Ramadan. Tradisi Perang Ketupat sudah ada sejak tahun 1883. Mulanya tradisi ini dilakukan sebagai persembahan kepada makhluk halus di laut dan darat supaya tidak mengganggu aktivitas masyarakat Desa Tempilang, sebab terdapat cerita turun-temurun jika Desa Tempilang dijajah oleh lanon atau bajak laut dan siluman buaya.
Ketika agama Islam datang, maka ditambahkan unsur keagamaan di dalamnya, yaitu sebagai tradisi menyambut Ramadan dan menyucikan diri. Tradisi ini sudah ditetapkan oleh Kemendikbud sebagai warisan budaya takbenda.
ADVERTISEMENT
Tahapan Tradisi Perang Ketupat
Dua hari sebelum dilaksanakannya tradisi Perang Ketupat, masyarakat akan mengadakan doa bersama disertai acara Nganggong yang merupakan tradisi membawa makanan dengan nampan khas Bangka, kemudian memakannya bersama-sama.
Dikutip dari jurnal “Keunikan Tradisi Perang Ketupat di Pulau Bangka” oleh Indah Flourylia, menjelaskan terdapat lima prosesi di dalam tradisi Perang Kupat, yaitu Penimbongan, Ngancak, Perang Ketupat, Taber Laut, dan Taber Kampong.
Penimbongan
Penimbongan merupakan prosesi pemberian sesajen kepada makhluk halus di darat dengan tujuan agar tidak mengganggu masyarakat di Desa Tempilang. Prosesi dipimpin oleh dukun laut, dukun tua, dan dukun darat dengan memanggil makhluk halus yang mendiami daratan. Sesajen diletakkan di rumah kayu (penimbong) dan disuguhkan untuk mereka.
ADVERTISEMENT
Ngancak
Berbeda dengan Penimbongan, prosesi Ngacak bertujuan memberikan sesajen kepada makhluk yang mendiami lautan. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari gangguan makhluk halus seperti siluman buaya agar tidak mengganggu masyarakat Desa Tempilang yang berprofesi sebagai nelayan.
Atok Sapik (tokoh adat) menjelaskan bahwa terdapat aturan sesajen pada prosesi Ngacak. Makanan yang disajikan ialah bubur merah, bubur putih, nasi ketan yang di atasnya diberi ayam panggang, rokok daun lada, peralatan sirih, air putih, telur rebus, pisang rejang, dan air putih. Lalu, sesajen disimpan di atas batu karang sembari diterangi empat lilin.
Perang Ketupat
Prosesi inilah yang menjadi acara puncak dari tradisi Perang Ketupat dan dilaksanakan di pesisir pantai pada pagi hari. Perang Ketupat dibuka dengan pantun dan Tari Serimbang diiringi lagu Timang Burong.
ADVERTISEMENT
Lalu, dilanjutkan dengan pertunjukan Tari Kedidi yang gerakannya mirip dengan pencak silat sebagai lambang dari kekuatan dan perlindungan diri. Pertunjukan terakhir ialah Tari Campak yang melambangkan persahabatan. Tarian ini diiringi dengan lantunan berbalas pantun.
Setelah seluruh pertunjukan usai, para dukun akan melakukan pembacaan mantra. Saat pembacaan mantra dilakukan, tiba-tiba dukun darat tergeletak tak sadarkan diri. Hal tersebut dipercaya bahwa dukun darat sedang berkomunikasi dan meminta izin pada leluhurnya. Lalu, dukun laut membantu dukun darat hingga sadar kembali.
Saat dukun darat sudah sadar, ia mengumumkan larangan yang harus ditaati saat semua prosesi dari tradisi Perang Ketupat selesai. Siapa pun yang melanggar akan diberi sanksi diarak keliling kampung.
Larangan dilakukan selama 3-4 hari yang berisikan dilarang pergi berlaut, dilarang mencuci baju di danau atau sungai buatan manusia, dilarang menjemur pakaian di depan rumah, keluar rumah harus mengenakan topi atau penutup kain, dan dilarang menjuntaikan kaki dari perahu ke laut. Larangan di atas diberlakukan untuk menghindari bentrokan, pertengkaran, dan menciptakan rasa aman.
ADVERTISEMENT
Usai dukun darat selesai mengumumkan larangan, para dukun akan mengumpulkan puluhan ketupat dan diletakkan di atas tikar anyaman daun pandan. Ketika ketupat siap, peserta dibacakan mantra agar sakit akibat lemparan ketupat tidak terasa. Lalu, peserta masuk ke arena Perang Ketupat dan dibagi menjadi dua kelompok yang saling berhadapan. Suara peluit pertanda perang dimulai dan peserta akan saling melempari ketupat.
Prosesi saling lempar ketupat melambangkan pengusiran roh jahat. Filosofi ketupat menurut masyarakat Desa Tempilang ialah anyaman janur yang merupakan simbol pertahanan dan saling melindungi kelompok dengan bergotong royong. Sedangkan, nasi di dalam ketupat melambangkan persatuan dan kesatuan.
Taber Laut
Taber Laut dilakukan dengan pembacaan mantra oleh dukun laut sembari memercikkan air laut dan melepas perahu berisi sesajen ke laut. Pelepasan perahu disebut Ngayot Parae. Prosesi ini bertujuan untuk memulangkan makhluk halus laut yang mendiami daratan serta menghindari gangguan ketika nelayan berlaut.
ADVERTISEMENT
Taber Kampong
Prosesi ini menjadi tahapan terakhir dari tradisi Perang Ketupat. Sehari sebelumnya, masyarakat menanam kayu mentangor di ujung jalan dan menanam batang kandas di ujung teluk.
Prosesi Taber Kampong dilakukan para dukun dengan keliling kampung sambil memercikkan air dengan maksud mengusir roh jahat. Namun, setelah adanya penggabungan unsur keagamaan, prosesi Taber Kampong juga dilaksanakan dengan melakukan ritual doa bersama meminta pertolongan Allah dan menyucikan diri dari dosa.