news-card-video
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Kenaikan PPN 12%: Solusi atau Ancaman Baru bagi Rakyat?

Firdaus
Mahasiswa Akuntansi Internasional UNAND - Presiden Mahasiswa BEM KM UNAND 23/24 - Gubernur BEM KM FEB UNAND 22/23 - Aktivis - Peduli pada ekonomi, keuangan, dan kepemimpinan.
26 Februari 2025 11:23 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdaus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah salah satu instrumen vital dalam struktur keuangan negara. Namun, keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% yang akan berlaku pada 1 Januari 2025 menimbulkan banyak pertanyaan: apakah kebijakan ini akan memberikan dampak positif, atau justru memperburuk kondisi masyarakat, terutama bagi golongan menengah ke bawah?
ADVERTISEMENT
Keputusan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pemerintah beralasan, kenaikan tarif PPN adalah langkah untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri sekaligus menjaga stabilitas perekonomian jangka panjang. Secara teori, peningkatan tarif PPN ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara sehingga mampu mendanai berbagai program pembangunan dan kesejahteraan sosial.
Namun, apakah logika ini cukup valid? Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% cenderung bersifat regresif, yang artinya menekan daya beli masyarakat kecil lebih keras dibanding kelompok kaya. Seluruh harga barang dan jasa, termasuk kebutuhan pokok seperti BBM, transportasi, dan barang konsumsi sehari-hari, berpotensi meningkat akibat efek domino dari kebijakan ini. Tingkat daya beli yang semakin menurun memaksa banyak masyarakat kecil untuk mengorbankan kualitas hidup mereka.
ADVERTISEMENT
Pengamat ekonomi juga menyoroti potensi lonjakan inflasi yang dapat menyertai kebijakan ini. Bukan hanya konsumen yang akan merasa dirugikan, pelaku usaha kecil juga berisiko kehilangan daya saing karena meningkatnya biaya produksi. Dalam situasi ini, perlambatan ekonomi dan penurunan lapangan pekerjaan bisa menjadi ancaman nyata.
Di sisi lain, kebijakan ini juga mengundang pertanyaan tentang sejauh mana prinsip keadilan sosial dihormati dalam desain kebijakan perpajakan. Banyak pihak yang mendorong agar pemerintah mempertimbangkan alternatif yang lebih adil, seperti penerapan pajak kekayaan (wealth tax) atau memperkuat penegakan hukum terhadap wajib pajak besar yang selama ini menghindari kewajiban mereka.
Sebagai solusi, pemerintah harus memastikan bahwa penerimaan tambahan dari PPN dapat dialokasikan secara efektif untuk program-program yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat, khususnya yang termarjinalkan. Jika ada transparansi dalam pengelolaan anggaran, serta penguatan kebijakan perlindungan sosial yang mendalam, maka dampak negatif dari kebijakan ini dapat diminimalkan. Namun, jika jaminan tersebut tidak ada, membatalkan kenaikan PPN menjadi pilihan terbaik.
ADVERTISEMENT
Kritik tajam terus mengalir, banyak pihak yang menilai bahwa menaikkan pajak di tengah pemulihan ekonomi yang belum sepenuhnya stabil bukanlah langkah yang bijak. Kebijakan ini sebaiknya ditunda satu atau dua tahun ke depan, dengan harapan ada pemulihan ekonomi di bawah pemerintahan yang baru. Mengingat masalah korupsi yang masih menggerogoti anggaran negara, sangat sulit untuk berharap masyarakat dapat menerima kenaikan pajak ini dengan lapang dada.
Beberapa pihak bahkan mengusulkan agar pemerintah segera meratifikasi RUU Perampasan Aset sebagai alternatif untuk meningkatkan pendapatan negara, menggantikan kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Penerapan regulasi yang khusus mengatur mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana, seperti korupsi, akan lebih efektif dalam menambah penerimaan negara. Negara membutuhkan pendapatan cepat, dan perampasan aset dianggap sebagai solusi yang lebih berdampak dibandingkan kenaikan PPN yang dianggap justru memberatkan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Meskipun RUU Perampasan Aset dianggap memiliki potensi besar untuk meningkatkan pendapatan negara, kebijakan ini belum menjadi prioritas pemerintah. Alih-alih, kenaikan PPN menjadi 12% yang lebih disoroti. Negara seharusnya fokus pada kebijakan yang memberikan dampak langsung dan positif bagi rakyat, bukan hanya berusaha mendapatkan pendapatan instan yang pada akhirnya membebani masyarakat. Pengelolaan anggaran yang lebih efisien dan pemberantasan korupsi bisa mengurangi kebutuhan akan kebijakan yang membebani rakyat, sekaligus mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.
Pada akhirnya, wacana kenaikan PPN 12% ini kembali menegaskan pentingnya hubungan yang sehat antara pemerintah dan rakyat. Sebelum memaksakan kebijakan, pemerintah harus membuktikan bahwa setiap rupiah yang dikumpulkan benar-benar kembali kepada rakyat dalam bentuk layanan dan fasilitas yang nyata. Tanpa jaminan tersebut, pertanyaan besar ini akan terus mengemuka: apakah kenaikan PPN 12% akan menjadi jalan keluar atau justru ancaman baru bagi rakyat?
Firdaus, Koordinator Pusat Aliansi BEM Sumbar sedang memimpin konsolidasi Aliansi BEM se Sumbar (Sumber: dok.pribadi)