Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Mengulik PLTS Terapung: Tulang Punggung Pengembangan Potensi Surya?
4 Maret 2022 10:37 WIB
Tulisan dari Firdya Nadia Silmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan kawasan Sunshine Belt atau “Sabuk Sinar Matahari”, yakni kawasan yang terletak antara 35° Lintang Utara dan 35° Lintang Selatan. Kawasan Sunshine Belt memiliki privillege berupa pancaran sinar matahari terbanyak sepanjang tahunnya. Di Indonesia sendiri, rata-rata potensi sinar matahari harian yang diterima (Global Horizontal Irradiance) mencapai 4,8 kWh/m2. Namun, pemanfaatan potensi surya di Indonesia melalui Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sendiri masih dibawah 1% dari total potensi yang mencapai 400 GW. Rendahnya pengembangan PLTS di Indonesia tidak jauh dari asumsi kesulitan pengadaan lahan.
ADVERTISEMENT
Indonesia juga merupakan salah satu negara kepulauan yang 2/3 bagiannya merupakan wilayah perairan. Selain memiliki perairan yang luas, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, perairan laut Indonesia juga tergolong tenang, dilihat dari tinggi ombak yang relatif kecil di laut internal Indonesia. Untuk mengurangi potensi konflik ketersediaan lahan, pembangunan PLTS Terapung di wilayah perairan adalah kuncinya.
PLTS Terapung merupakan sistem modul surya skala besar yang dipasang terapung di permukaan perairan, baik danau, waduk, dam, danau irigasi, area pengelolaan air buangan ataupun lepas pantai. Hingga saat ini, perairan di Indonesia khususnya danau tercatat memiliki luas sebesar 121.000 km2. Hal ini tentunya dapat menjadi salah satu potensi pembangunan PLTS Terapung. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada tahun 2021, potensi pengembangan PLTS Terapung di Indonesia mencapai 28.000 MW.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, perkembangan PLTS Terapung justru terlihat lebih pesat dibandingkan PLTS ground-mounted, atau PLTS yang ada di daratan. Pada 2020, kapasitas terpasang sudah mencapai angka 153,3 MW, yang terdiri dari pembangkit off-grid dan PLTS IPP (Pembangkit Independent Power Producer). Salah satu PLTS Apung terbesar di Asia Tenggara bahkan dimiliki Indonesia, yakni PLTS Cirata 145 MW yang terletak di Jawa Barat.
Instalasi PLTS Terapung memiliki beberapa keuntungan. Selain dapat memaksimalkan pemanfaatan lahan, PLTS Terapung unggul dalam perpindahan panas karena berada di media air, hal tersebut sangat baik untuk penggunaan PV pada area-area yang memiliki iradiasi matahari yang tinggi. Instalasinya pun relatif lebih mudah dan cepat, karena tidak membutuhkan alat berat (tanpa pekerjaan sipil).
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, penggunaan modul pada permukaan air juga dapat meningkatkan potensi energy yield, karena mendapat efek cooling dari permukaan air. Dibanding PLTS ground-mounted, modul pada PLTS Terapung dapat beroperasi pada temperature 3-10°C lebih rendah dibanding PLTS Atap. Dari segi ekosistem perairan, PLTS Terapung juga dapat menghambat pertumbuhan alga, sehingga dapat meningkatkan kualitas air dan mengurangi produksi gas methane yang disebabkan oleh dekomposisi zat organik.
Pada prinsipnya, sistem PLTS Terapung tidak jauh berbeda dengan sistem PLTS ground-mounted. Komponen pada sistem ini antara lain terdiri dari modul surya, floater/platform apung, solar charge controller, inverter, penyangga modul PV, baterai, combiner box, solar/battery inverter, panel distribusi, sistem pengkabelan, sistem anchoring dan mooring.
PLTS Terapung diimplementasikan dengan meletakkan panel surya di atas floater yang terbuat dari Fiber Reinforced Plastic (RFP), Medium Density Polyethylene (MDPE), High Density Polyethylene (HDPE). Instalasi dilakukan dengan meletakkan panel surya dan DC System di atas floater setelah struktur floating diberi pemberat serta dikaitkan dengan ground. Namun, instalasi ini cukup berbeda dari ground-mounted, karena sistem dilengkapi dengan anchoring dan mooring. Anchor (jangkar) dan mooring (tali jangkar) digunakan untuk menahan pergerakan PLTS Terapung agar tidak berpindah di perairan. Jangkar umumnya terbuat dari beton, sedangkan tali jangkar terbuat dari besi.
ADVERTISEMENT
Tantangan lain dalam menginstalasi PLTS Terapung adalah besar kemungkinan terkena dampak aktivitas perairan seperti gelombang tinggi, tsunami, badai dan topan. Untuk itu, sistem yang didesain harus lebih fleksibel untuk beradaptasi dengan perubahan tinggi muka air, arus, hingga pertumbuhan organisme air lainnya. Selain itu, karena berada di permukaan air, komponen PLTS Terapung juga tinggi kemungkinan untuk lebih cepat mengalami korosi pada struktur logam yang dapat mengurangi masa operasi sistem PLTS Terapung.
Di sisi lain, World Bank Group dalam penelitiannya di tahun 2019 menjelaskan adanya dampak panjang terhadap ekosistem perairan yang menjadi tempat PLTS Terapung diinstalasi. Potensi tersebut berhubungan dengan permasalahan kualitas air, seperti perubahan stratifikasi suhu air dengan kadar oksigen dalam air, karena dalam instalasinya, modul PV menutupi permukaan air. Selain itu, tutupan permukaan air akibat modul surya dapat mempengaruhi biota perairan yang ada dikarenakan kurangnya sinar matahari yang dapat masuk sampai ke dasar perairan.
ADVERTISEMENT
Sepanjang jalan pengembangan PLTS Terapung, berbagai teknologi panel surya dikembangkan. Salah satunya adalah teknologi bifacial yang pertama kali diciptakan di Indonesia tahun 2017 oleh Eko Adhi Setiawan dari Universitas Indonesia. Teknologi panel bifacial ini membuat kedua sisi panel surya mampu menyerap sinar matahari, dimana sisi pertama menyerap sinar secara langsung, sedangkan sisi satunya menyerap sinar yang dipantulkan dari air. Dengan sistem tersebut, solar panel akan tembus sinar matahari Sinar yang termbus itu dipantulkan air dan diserap kembali oleh panel.
Saat ini, pemerintah telah menunjukkan keseriusan untuk lebih mengembangkan PLTS terapung sebagai salah satu bentuk pemanfaatan energi terbarukan. Pada Oktober 2021 lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral baru saja mendiseminasikan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN Persero (RUPTL) 2021-2030, mengenai penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan dengan porsi lebih besar (51,6% atau 20,9 GW). Terkhusus untuk PLTS Terapung, setidaknya terdapat enam potensi proyek yang telah masuk dalam RUPTL 2021-2030 sebesar 604 MW. Proyek tersebut antara lain Waduk Wonogiri (100 MW), Waduk Mrica (60 MW), Waduk Sutami (122 MW), Waduk Wonorejo (122 MW), Waduk Jatiluhur (100 MW), dan Waduk Kedungombo (100 MW).
ADVERTISEMENT
Sumber :
Panduan Perencanaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya PLTS Terapung (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2021)
PLTS Terapung sebagai Kunci Akselerasi Pengembangan Tenaga Surya Skala Besar di Indonesia (IESR, 2021)