Konten dari Pengguna

PLTS Atap dan Bangunan Hijau, Kombinasi Epic Menuju Net Zero Emission

Firdya Nadia Silmi
Currently a last year Engineering Physics student at Gadjah Mada University. Interested in the renewable energy field.
20 Februari 2022 12:21 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdya Nadia Silmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penggunaan PLTS Atap untuk wujudkan konsep green building pada bangunan gedung. (Sumber : https://ebtke.esdm.go.id/)
zoom-in-whitePerbesar
Penggunaan PLTS Atap untuk wujudkan konsep green building pada bangunan gedung. (Sumber : https://ebtke.esdm.go.id/)
ADVERTISEMENT
Sebesar 40% penggunaan energi di dunia diserap oleh sektor bangunan. Mengutip buku "Panduan Penghematan Energi di Gedung Pemerintah" karya Berchmans, di Indonesia sendiri sektor bangunan menyumbang sebesar 50% dari total pengeluaran energi dan lebih dari 70% konsumsi listrik secara keseluruhan. Dari besarnya angka penggunaan energi, sektor bangunan berkontribusi terhadap 30% emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Indonesia. Untuk menindaklanjuti hal tersebut, pemerintah Indonesia berupaya mendukung usaha konservasi energi bangunan, salah satunya diwujudkan melalui penerapan konsep bangunan hijau (green building).
ADVERTISEMENT
Enviromental Protection Agency (EPA) mendefinisikan green building sebagai konstruksi hijau atau bangunan berkelanjutan yang responsible terhadap lingkungan. Artinya, bangunan dapat menggunakan proses yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sumber daya yang efisien di seluruh aspek. Soehartono and M. Abduh dalam tulisan "Bangunan Hemat Energi" menjelaskan bahwa green building pada prinsipnya dirancang untuk mengurangi dampak akibat pembangunan melalui penggunaan energi, air, dan sumber daya lainnya secara efisien, perlindungan kesehatan dan peningkatan produktivitas penghuni serta meminimalilasir timbunan limbah, polusi, dan degradasi lingkungan. Salah satu titik berat dalam implementasi green building sendiri adalah upaya konservasi dan efisiensi energi. Konsep green building bahkan dikembangkan agar suatu bangunan dapat memenuhi kebutuhan energinya sendiri atau dikenal dengan istilah Net Zero Energy Building (NZEB).
ADVERTISEMENT
Konsep Net Zero Energy Building dimaksudkan sebagai bangunan tanpa energi. Maksudnya, suatu bangunan yang menerapkan konsep tersebut harus dapat menyeimbangkan sumber daya yang digunakan dengan sumber daya yang dihasilkan melalui energi baru terbarukan. Penerapan konsep bangunan hijau yang didukung dengan NZEB diharapkan mampu menyelaraskan perkembangan di bidang rancang bangun dengan keseimbangan energi di lingkungan, mengingat sektor bangunan dinilai sebagai salah satu pengguna energi terbesar di Indonesia. Tercapainya keselarasan dua hal tersebut secara langsung juga akan berdampak pada pengurangan emisi gas rumah kaca.
Lantas, bagaimana mewujudkan kemandirian bangunan dalam memenuhi kebutuhan energinya? Energi surya kuncinya. Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki iklim tropis, di mana paparan sinar matahari sangat besar sepanjang tahunnya. Dikutip dari Bauran Energi Nasional 2020, potensi rata-rata energi matahari Indonesia dapat mencapai 4,8 kWh/m2/hari. Dalam sebuah diskusi kelas Program Kampus Merdeka “Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya” (Kamis, 17/02/2022), Ariana Soemanto selaku Koordinator Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memaparkan potensi energi baru terbarukan energi surya berdasarkan update tahun 2022 mencapai 400 Giga Watt. Bahkan, potensi energi surya menjadi yang terbesar dibanding sumber energi lain. Dari potensi tersebut, energi surya diharapkan dapat menjadi salah satu penunjang kebutuhan energi di Indonesia. Selain itu, dengan mengembangkan potensi energi baru dan terbarukan, diharapkan emisi gas rumah kaca (terutama CO2) juga dapat berkurang.
ADVERTISEMENT
Energi surya tidak serta merta dapat digunakan secara langsung, mengingat perannya sebagai energi primer, sehingga harus ditransformasikan agar dapat digunakan sehari-hari. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berbasis fotovoltaik, adalah pembangkit listrik yang digunakan untuk mengubah energi surya menjadi energi listrik menggunakan modul fotovoltaik. Panel surya yang beredar di pasaran memiliki umur yang cukup panjang, yakni sekitar 25-30 tahun pemakaian. Dalam lingkup bangunan, solar rooftop atau rooftop photovoltaic diterapkan sebagai sistem yang terdiri dari satu atau lebih panel fotovoltaik, umum digunakan pada atap bangunan perumahan maupun komersial.
Potensi energi surya di Indonesia memang cukup besar. Namun siapa sangka, realisasi pemasangan pembangkit listrik EBT khususnya tenaga surya belum sebesar itu. Ariana Soemanto selaku Koordinator Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian ESDM, menjelaskan hanya sekitar 195,4 Mega Watt dari target 308,1 Mega Watt PLTS yang terpasang pada tahun 2021. Hal tersebut menunjukkan, target pemasangan PLTS di tahun 2021 bahkan belum menyentuh angka 65%. Menurut N. Edwin Widjonarko sebagai peneliti dan praktisi solar cell, pemasangan PLTS Atap dapat menghemat listrik sampai 30%. “Selain berfungsi sebagai atap, panel itu bisa menghasilkan listrik sekaligus bisa membentuk image green building” tuturnya dalam sebuah diskusi Ruang Ide Mantap Beratap Energi Baru di Surabaya.
ADVERTISEMENT
Selain berperan dalam upaya hemat energi, PLTS juga dinilai mampu mengambil peran dalam penurunan angka emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Mengutip penelitian "Tinjauan Kebijakan dan Regulasi Pengembangan PLTS di Indonesia" karya Bayu Handoko dan Jaka Windarta, pada prinsipnya, setiap pembangkit listrik akan menghasilkan emisi gas CO2 atau dikenal sebagai jejak karbon (carbon footprint), baik selama instalasi maupun operasinya. Namun, jika dibandingkan dengan pembangkit berbahan bakar batu bara maupun gas, PLTS terbukti menghasilkan jejak karbon lebih sedikit, sehingga kemudian dinilai mampu menekan angka emisi GRK dan terbukti ramah lingkungan. Di tahun 2022, pemerintah melalui target kinerja Sub-sektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) mematok angka penurunan emisi GRK sebesar 91 juta Ton CO2e.
ADVERTISEMENT
Menengok lingkup Asia Tenggara, Singapura merupakan negara yang menerapkan konsep Zero Energy Building pertama kali di tahun 2009. Penerapan konsep tersebut diwujudkan melalui pemasangan panel surya seluas 1.540 m2 pada atap-atap gedung dan tempat strategis lainnya. Konsep ZEB juga dikolaborasikan dengan upaya hemat energi. Hal ini dilakukan dengan memaksimalkan natural lighting atau pencahayaan alami di siang hari, sehingga dapat menekan pengeluaran biaya pemakaian energi di gedung tersebut hingga 588 juta rupiah per tahun.
Agregasi faktor-faktor di atas menunjukkan bahwa sudah saatnya memasifkan penggunaan solar rooftop atau PLTS Atap pada bangunan baik perumahan, maupun komersial. PLTS Atap terbukti memberikan keuntungan bukan hanya dari aspek lingkungan, namun juga dari aspek finansial jangka panjang. Penggunaan PLTS Atap juga merupakan salah satu langkah mendukung Indonesia dalam transisi energi ke Energi Baru Terbarukan (EBT) sebagai upaya mencapai Net Zero Emission tahun 2060.
ADVERTISEMENT
Referensi H. Berchmans, S. Suaib, I. Agustina, R. Panjaitan, and Winne, Panduan Penghematan Energi di Gedung Pemerintah. Jakarta, 2014.
B. Soehartono and M. Abduh, ‘Bangunan Hemat Energi’, Semin. Nas. Teknol. Dan Rekayasa SENTRA, pp. 151–121, 2020.
Dewan Energi Nasional, Bauran Energi Nasional 2020. 2020.
H. Bayu and J. Windarta, ‘Tinjauan Kebijakan dan Regulasi Pengembangan PLTS di Indonesia’, J. Energi Baru Dan Terbarukan, vol. 2, no. 3, pp. 123–132, Oct. 2021, doi: 10.14710/jebt.2021.10043.