Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Indonesia Surplus Kesadaran Magis Menghadapi Pandemi
9 Mei 2020 21:16 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Firdza Radiany tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dasar dari argumen formal para penulis menulis adalah mereka diberi tanggung jawab untuk memberikan level yang lebih tinggi dari sekadar 26 huruf alfabet dan struktur kalimat yang tidak general.
ADVERTISEMENT
Sama seperti tanggung jawab yang diemban oleh para ilmuwan. Ilmuwan dituntut ada di layer tertinggi memberi spektrum yang benar akan sebuah fenomena sains, atau pandemi di kondisi sekarang.
Ilmuwan Indonesia di Pandemi ini sudah seperti nabi di kisah-kisah kitab suci. Mencoba mengingatkan kaum tersesat akan sebuah wabah yang akan datang. Namun tidak didengarkan. Diludahi pemikirannya. Kalah oleh statement-statement susu kuda liar ; enjoy aja di pandemi ; minum jamu herbal ; dst.
Juga para seniman, dengan dasar argumen formal yang berbeda, memiliki tanggung jawab memberikan karya dengan spektrum dimensi yang berbeda. Dulu umat manusia diberi berkah ada seorang Seniman dan Ilmuwan bernama Michaelangelo. Ada titik keseimbangan antara seni dan sains. Ia mempertemukan kedua hal tersebut dengan indah dan logis. Mahakarya.
ADVERTISEMENT
Apa salah Indonesia diberikan seorang Seniman seperti Jerinx, berlagak Ilmuwan dengan teori konspirasinya, di mana ia belajar 9 SKS di Universitas Youtube dan resmi mendapat gelas STP – Sarjana Teori Konspirasi. Pemikirannya loncat-loncat dalam menjahit informasi.
Jerinx seperti penjahit yang diminta membuat setelan jas elegan, akhirnya malah menjahit pakaian orang-orang sawah. Lucunya pakaian orang-orang sawah ini malah banyak dihinggapi gagak-gagak penyuka teori konspirasi. Padahal teori konspirasi terdekat adalah kenapa grafik/kurva virus COVID-19 di Indonesia bergerak linier?
Pun juga dengan pemimpin sebuah negara. Tugasnya mudah, memimpin negara. Dibantu segala Kementerian dan segala asset juga budget trilyunan. Memimpin memang tidak mudah, tapi menjadi rakyat di negara di mana pemimpinnya tidak bisa memimpin adalah sebuah kesengsaraan. Tentu tidak berlaku bagi fanboy.
ADVERTISEMENT
Membaca buku, membaca keadaan, membaca manusia dan membaca berbagai macam cerita dari segala sudut, dengan objektif di tengah, itulah hal yang sulit. Lalu ada hal yang paling sulit yaitu mengetahui inti atau konteks dari permasalahan.
Indonesia sepertinya tidak paham akan konteks dari pandemi ini.
--
Bicara merupakan bentuk audio dari menulis dalam media suara. Bicara yang tidak konstruktif dan tidak objektif, terburu-buru menyimpulkan sesuatu, naif dan tidak terbuka parasutnya, mengaburkan keunggulan manusia yang memiliki akal pikiran.
Masalah terbesar di dunia ini adalah masalah komunikasi.
Coba tanyakan pada Adam dan Hawa yang tidak bisa mengerti komunikasi dari Tuhan. Sehingga kita semua sekarang di sini.
Komunikasi Publik dari Pemerintah Indonesia adalah sebuah sirkus akrobat sendiri. Kita tidak perlu melihat adegan Srimulat untuk tersenyum simpul. Baca saja berita harian. Antar lembaga dan pejabat saling mengkoreksi statement dan kebijakan. Bagi orang awam akan muncul pertanyaan nakal : “Apakah mereka tidak punya WhatsApp Group?”
ADVERTISEMENT
Secara budaya, kondisi pandemi ini membuka besar bolongnya sebuah logika dalam dialektika publik. Dan dalam berbudaya.
Indonesia adalah juaranya dalam birokrasi dan administrasi. Simak telusuri betapa rumitnya birokrasi pengujian spesimen tes COVID-19 (Swab & PCR). Konsep sentralisasi tes dan pengumuman data di tengah lomba sprint melawan virus ini sungguh memperlambat ruang gerak kemajuan melawan virus.
Indonesia juara satu dalam hal administrasi.
Sayangnya, ironisnya Indonesia tidak tertib dalam administrasi ilmu pengetahuan.
Sejak SD sampai sarjana diajarkan ilmu pengetahuan, tapi tidak diajarkan bagaimana logical thinking yang benar. Dialektika publik yang tidak logis. Banyak Logical Fallacy.
Indonesia juara akan hal ini.
Indonesia sangat tidak tertib akan kesadaran logis. Susah membedakan harapan, doa, kenyataan dan fakta. Kesulitan kapan harus menggunakan ilmu agama dan kapan menggunakan ilmu sains dalam menghadapi peristiwa.
ADVERTISEMENT
Indonesia surplus banyak kesadaran magis.
–
Oke cukup mukadimah diisi dengan aneka ria satire dan sarkasmenya.
--
Bagaimana manusia zaman dulu menyikapi musibah banjir dari sisi teologi, sementara manusia modern tenang melihat dari sisi ekologi.
Dilansir New York Post pada 13 Mei 2019, dari sebuah survei yang dilakukan YouGov-Cambridge Globalism Project Indonesia berada di peringkat pertama dari 23 negara. Indonesia menjadi negara dengan masyarakat yang paling banyak tidak percaya bahwa perubahan iklim terjadi akibat ulah manusia.
Sebelum pandemi berlangsung di Indonesia, saya mencatat banyak statement ala kesadaran magis yang dilakukan para pejabat .
Misal :
1. Pada tanggal 20 November 2019, Mentri BUMN dalam sebuah kesempatan berkata ‘Direksi BUMN Harus Punya Akhlak Baik’.
ADVERTISEMENT
2. Sementara itu, pada tanggal 30 Desember 2019 presiden Indonesia memberi sambutan bahwa “Pertumbuhan Ekonomi di Atas 5 Persen, Berkat Doa Ulama.”
Lalu.
Pada tanggal 1 Januari 2019, banjir besar melanda Jabodetabek.
Yang aneh, yang diributkan oleh masyarakat adalah:
1. Ribut membandingkan kinerja Ahok versus kinerja Anies.
2. Banjir karena maksiat Tahun Baru, kurangnya berdoa dan Tuhan murka.
Apakah semua solusi bernegara, solusi ekonomi, solusi bencana alam bisa diselesaikan doa ulama dan akhlak yang baik?
Seakan tidak cukup, ternyata situasi semakin memburuk melihat statement-statement para pejabat saat Pandemi akan berlangsung di Indonesia di medio Februari-Maret 2020.
Sebuah pertunjukan karnaval Kesadaran Magis yang masif.
--
Apa itu kesadaran magis ?
ADVERTISEMENT
Kesadaran Magis
Paulo Freire menjelaskan (1921 – 1997) menjelaskan bahwa kesadaran magis merupakan kesadaran paling rendah yang dimiliki oleh manusia.
Kesadaran Magis merupakan jenis kesadaran paling determinis.
Seorang manusia tidak mampu memahami realitas sekaligus dirinya sendiri. Bahkan dalam menghadapi kehidupan sehari-harinya ia lebih percaya pada kekuatan magis yang telah menentukan.
Manusia dengan kesadaran ini melihat kehidupan mereka sebagai sesuatu yang tidak terelakkan, natural dan sulit diubah. Mereka cenderung mengaitkan kehidupannya dengan takdir, mitos dan kekuatan superior yang tidak terbukti secara empiris maupun ilmiah. Sehingga manusia dengan kesadaran ini, menganggap bencana, kemiskinan dan penindasan sebagai takdir yang tidak terelakkan.
Masyarakat Indonesia pada umumnya berada pada tingkat kesadaran magis ini yang lebih sering kita jumpai pada mereka yang lemah, miskin dan tertindas oleh kekuasaan. Mereka yang tak punya. Mereka terbelenggu oleh permasalahan yang begitu kompleks yang membuat mereka pada akhirnya pasrah dan menerima apa adanya dalam hidup ini.
ADVERTISEMENT
Masalahnya besarnya adalah jika kaum berpendidikan dan pemegang posisi penting di Negara masih terjebak di kesadaran magis. Lalu mengucapkan keyakinan dan solusinya ke media, didengar oleh semua orang dan dipercayai bersama sebagai sumber masalah negara. Menjadi sebuah kebenaran.
Balik sekilas lagi, saat banjir melanda Jakarta di awal tahun 2020.
Diskusi masalah banjir tidak benar pernah menyentuh akarnya.
Padahal masalah utamanya:
Lalu loncat logika ada konklusi bahwa: “Kita sekarang semua percaya bahwa solusi agar Jakarta tidak banjir adalah pindah Ibu Kota.”
ADVERTISEMENT
Padahal itu seperti lagi sakit perut, tapi dikasih obat pusing kepala.
Seperti sedang ingin makan indomie kuah saat hujan, tapi malah dibelikan es krim.
Di kondisi saat ini, saat kondisi pandemi juga ada beberapa statement pejabat ala kesadaran magis :
1. Wakil Presiden, Ma’ruf Amin mengatakan virus COVID-19 dapat dilawan dengan doa Qunut.
2. Menkes Terawan soal Indonesia berutang pada Tuhan karena corona tak masuk Indonesia.
Kesadaran magis di kondisi pandemi ini, pada titik terendah di kehidupan masyarakat adalah:
"Lebih percaya bahwa bukan vaksin dan social distancing yang akan menghentikan virus."
Namun lebih percaya:
ADVERTISEMENT
Padahal simple, sebagai warga kita cuma perlu sabar menunggu vaksin tercipta dan lakukan social distancing secara masif.
Sisanya kita serahkan urusan lainnya yaitu menghentikan virus dan fasilitas kesehatan untuk penyembuhan kepada pemerintah. Percayakan tugasnya ya. Bukan mengimani segala keputusan pemerintah. Bedakan percaya dan iman.
Rakyat Indonesia menambahkan satu unsur rukun iman selain iman kepada Tuhan.
Yaitu iman kepada pemerintah.
--
Selain kesadaran magis, ada kesadaran apalagi ?
Kesadaran Naif
Paulo Freire menyebut bahwa manusia pada tingkat kesadaran ini telah bisa menjadi subjek yang mampu berdialog dengan yang lain, tapi belum sampai pada tahap memahami realitas dalam true act of knowing. Mereka mampu memahami masalah yang mereka alami, namun mereka cenderung untuk menyepelekan dan tidak mengujinya secara cermat.
ADVERTISEMENT
Sehingga mereka sangat rentan dimanipulasi oleh elite politik lewat propaganda, slogan atau mitos.
Bisa kita lihat pada permasalahan lainnya di Indonesia saat ini. Masalah semakin banyaknya kebakaran hutan atau pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Kita, pemerintah dan mereka tahu kalau itu kurang baik namun karena banyaknya pemahaman (propaganda) yang mempengaruhi kita, membuat kita susah untuk menentukan tindakan seperti apa yang seharusnya dilakukan.
Di pandemi ini, kita tahu kapal yang kita tumpangi sudah bocor, alih-alih menambal kebocoran, kita tetap semangat berlayar karena kita yakin bisa sampai.
Naif.
Kesadaran Kritis
Yaitu kesadaran yang paling tinggi dalam arkeologi kesadaran manusia menurut Paulo Freire adalah kesadaran kritis.
Manusia dalam kesadaran ini mampu berpikir dan bertindak sebagai subjek serta mampu memahami realitas keberadaannya secara menyeluruh, mampu memahami pemahaman yang baik dalam teks dan realitas.
ADVERTISEMENT
Kesadaran kritis adalah jenis paling ideal di antara jenis kesadaran sebelumnya.
Kesadaran kritis bersifat analitis sekaligus praksis.
Seseorang itu mampu memahami persoalan sosial mulai dari pemetaan masalah, identifikasi serta mampu menentukan unsur-unsur yang mempengaruhinya.
Di samping itu ia mampu menawarkan solusi-solusi alternatif dari suatu problem sosial. sebuah kesadaran yang melihat adanya keterkaitan antara ideologi dan struktur sosial sebagai akar masalah.
Masyarakat dengan tingkat kesadaran kritis masih sedikit ditemui saat ini. mungkin karena masyarakat sudah terbiasa di-nina bobo-kan, disuapi propaganda dan sudah masuk ke zona nyaman. Sehingga susah untuk berpikir kritis.
Buat apa banyak membaca, jika (parasut) pikiran manusia tidak terbuka.
Bung Hatta berkata “Membaca tanpa mencerna seperti makan tanpa mengunyah”. Iya kenyang. Tapi kenyang bego.
ADVERTISEMENT
Indonesia masih belum bisa beranjak dari level ini.
Level kenyang bego dan kesadaran magis.
--
Manusia mengarti-ulangkan apa-apa yang ada di alam semesta ke dalam batasan-batasan yang biasa disebut satuan atau ukuran. Manusia mendefinisikan alam semesta kita bernama Bima Sakti, bintang kita bernama Matahari, planet kita bernama Bumi dan satelit Bumi bernama Bulan.
Lalu manusia menciptakan atau tepatnya menyamakan persepsi terhadap kejadian alam ke hukum-hukum fisika, deretan-deretan angka, seperti deretan Fibonacci, bilangan Geometri dan bilangan Aritmatika.
Membuat semua penduduk Indonesia memiliki kesadaran kritis semua adalah hal yang besar nan sulit. Butuh sebuah effort besar berupa master plan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat arah baru dalam kurikulum dan energi budaya sehingga tercipta suasana kehidupan Indonesia yang kritis juga akal sehat.
ADVERTISEMENT
Tapi setidaknya, para pemangku jabatan penting harus memiliki kesadaran kritis tersebut, untuk memecahkan berbagai masalah bencana alam, masalah ekonomi dan masalah sosial.
Apalagi masalah pandemi ini. Krusial karena banyak nyawa dipertaruhkan.
Atau kita benar-benar bermimpi bahwa suatu saat nanti suasana Indonesia Maju adalah sebuah suasana di mana kita bisa memesan di Gojek sebuah Burung Elang Indosiar untuk pergi ke pasar membeli es krim rasa herbal yang mampu menangkal virus?
Mungkin kita adalah bangsa yang surplus kesadaran magis.
Melihat tidak maksimalnya peran pemerintah mengatasi pandemi ini, memang benar kata Wakil Presiden Ma’ruf Amin, kita hanya bisa berd0a saja pada Tuhan.
"Tuhan, tolong selamatkan kami bangsa Indonesia dari Pandemi"
Pandemi itu adalah pandemi kebodohan.
ADVERTISEMENT