Makna Tuhan dan Kehidupan di Budaya Jawa

Konten dari Pengguna
7 Desember 2019 18:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firdza Radiany tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Alam semesta. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Alam semesta. (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Puteri saya sudah berusia 7 tahun, sudah bisa membaca dan bisa berpendapat juga bertanya menarik, seperti :
ADVERTISEMENT
“Ayah, Tuhan itu dimana? Diatas ya?”
“Ayah, kenapa Tuhan marah sama Adam & temen ceweknya? Katanya Tuhan Maha Pengasih?”
“Ayah, kasihan ya Adam sama temen ceweknya cuma berdua dulu, pasti kesepian.”
“Ayah, tahu buah Quldi gak?”
“Ayah, kenapa kita harus sholat (beribadah)?”
Saya selalu tersenyum dan bingung menjelaskan dengan bahasa mudah ke puteri saya. Puteri saya tidak tahu bahwa sedekade ini Ayahnya juga mencari jawaban dari pertanyaan diatas.
---
Masyarakat Indonesia sangat posesif terhadap Tuhannya. Ada rasa sayang yang luar biasa dalam membela sang Tuhan, dari hinaan orang lain. Ada yang bilang sudah diluar akal sehat. Menurut saya pribadi, hal tersebut adalah tanda dalamnya “iman” seseorang dan tanda suksesnya pemuka agama menyebarkan keyakinan.
ADVERTISEMENT
Dalam pencarian siapa diri saya dan siapakah Tuhan yang saya cari. Saya cukup banyak bertarung dengan pikiran saya sendiri, memisahkan logika dan iman akan keberadaan Tuhan di alam semesta ini.
Apakah Tuhan ada?
Bagi saya personal, pada akhirnya hal tersebut terjawab dengan logika seperti ini :
“Semua di alam semesta ini pasti ada Penciptanya.
Terlalu iseng dan kebetulan jika Big Bang tercipta tanpa ada Pencipta.
Sang Pencipta pastilah sangat hebat.
Saking hebatnya tentunya Dia tidak bisa dijabarkan secara logis.
Karena kalau bisa dijelaskan secara logis (akal sehat manusia), pasti Dia bukan Tuhan.
Saya berlogika, Dia yang saya puja pasti hebat dan tidak logis untuk dijelaskan / dijangkau.
Jadi karena Dia adalah Pencipta Yang Maha Hebat, maka logis jika saya menggangap ada Tuhan yang harus saya puja dan menjadi tempat bersandar saat banyak hal-hal tidak logis terjadi di dunia ini.”
ADVERTISEMENT
Premis-premis diatas membuat saya menyimpulkan bahwa Tuhan memang ada.
Walau ada filsuf / sufi yang iseng melontarkan penyataan seperti ini : “Bisakah Tuhanmu menciptakan batu terkuat yang tidak bisa diangkat oleh siapapun di alam semesta termasuk oleh Dia?"
Hehe. Wis ojo mumet.
Lalu dimana saya harus menemukan Tuhan ?
Ternyata kita menemukan Tuhan di saat-saat ekstrem momen hidup kita.
Ada dua momen. Pertama yaitu saat kita sangat bahagia yang entah kenapa otomatis merasa bersyukur terhadap “sesuatu kekuatan yang membuat/mengizinkan hal itu terjadi”. Yang kedua adalah saat kita sangat depresi/putus asa, momen dimana seperti kita merasa sendirian di tengah lautan yang luas nan kelam, sehingga hati kita tanpa sadar berbisik memohon pertolongan pada “sesuatu kekuatan yang bisa membantu kita keluar dari momen tsb”.
ADVERTISEMENT
Lalu Tuhan mana yang akan saya puja dan jadikan teman curhat terbaik setiap malam? Karena Tuhan dan agama adalah hal unlogis, pada tahap ini akan menjadi pengalaman yang sangat privat dan hak asasi bagi manusia. Bahkan saya akan sangat menghargai pilihan-pilihan beragama atau tidak.
Hal-hal diatas sebenarnya baru prolog menuju pembahasan inti yang akan saya sampaikan. Dari perjalanan mencari Tuhan, saya mempelajari banyak sudut pandang manusia terhadap Tuhan. Dari sudut pandang masing-masing kitab suci dan masing-masing budaya (di Indonesia). Khususnya budaya Jawa.
--
Orang Jawa. (Foto: Kumparan)
Bagaimana budaya Jawa memaknai Tuhan dan kehidupan?
Ternyata jauh sebelum agama Hindu dan agama-agama Ibrahim masuk ke tanah Jawa, budaya Jawa sudah mempunyai fondasi hidup dan ber-Tuhan yang kuat, untuk pegangan hidup mengarungi dunia.
ADVERTISEMENT
Menurut budaya Jawa, terdapat tiga konsep dari siklus kehidupan. Konsep ini disebut juga sebagai "tigaan".
Pertama, disebut purwa yang berarti permulaan ketika manusia dilahirkan.
Kedua, disebut madya yang artinya tengah, yakni langkah seorang manusia yang menjalani kehidupan hingga tua.
Ketiga, disebut wasana yang artinya akhir, yaitu manusia yang tua hingga menjalani kematian.
Saking hormatnya masyarakat Jawa terhadap Tuhan, mereka memanggil Tuhan dengan panggilan hormat “Gusti Pangeran”, yang menandakan memang Tuhan “duduk” di singgasana-Nya sebagai Raja Semesta. Menurut masyarakat tradisional, Pangeran berasal dari kata “Pangegeran” yang artinya “tempat bernaung dan berlindung”
Ada sebutan menarik juga masyarakat Jawa ke Tuhan yaitu “Tan Kena Kinaya Ngapa” yang artinya “tidak dapat disepertikan” atau “tidak bisa digambarkan”, yang tiada dua, yang tidak bisa ditiru, yang esa. Dengan logika kita, kita tidak bisa menyepertikan Dia dengan hal-hal di dunia.
ADVERTISEMENT
Karena “tidak bisa digambarkan”, maka hakekat Tuhan adalah “kekosongan” atau “suwung” dalam Bahasa Jawa. Kekosongan adalah sesuatu yang ada tetapi tidak bisa dilihat atau dijelaskan dan digambarkan. Hakekat Tuhan adalah “kekosongan abadi yang padat energi”, seperti “sesuatu hal besar” yang menyelimuti jagad raya, yang meliputi segalanya, baik ruang-waktu, baik immanen-transenden. Tak bisa dibayangkan namun memiliki energi luar biasa. Sehingga seluruh benda di alam semesta bergerak sesuai kodratnya.
Dalam kaitannya dengan jarak, hubungan manusia dengan Tuhan disebutkan seperti “adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan”, bahwa jarak Tuhan dengan ciptaan-Nya adalah jauh tanpa batas sekaligus dekat namun tak bersentuhan. Maksudnya adalah hubungan manusia dengan Tuhan serasa luas jauh tanpa batas, pun juga sangat dekat karena kita dan semesta adalah bagian dari Tuhan. Tuhan bebas bergerak di dalam hati setiap orang. Bebas memanggilmu. Energinya ada disekitarmu.
ADVERTISEMENT
Dalam menjalani kehidupannya, masyarakat Jawa begitu sangat memahami bahwasanya Gusti Pangeran dalam menjalankan sistem alam semesta butuh sebuah keseimbangan. Keseimbangan hitam dan putih. Keseimbangan kebaikan dan keburukan. Keseimbangan kosmos bahwa ada takdir baik dan takdir buruk.
Untuk menerima keseimbangan takdir tersebut masyarakat Jawa menggunakan filosofi “nrimo ing pandum”. Jika diartikan per kata, nrimo artinya menerima, ing artinya dalam, dan pandum artinya pemberian. Menerima dengan ikhlas segala yang telah diberikan dan ditentukan oleh-Nya. Bahwa ini semua bagian dari rencana dan aturan keseimbangan kosmos.
Pada beberapa abad terakhir, para penganut Islam/Nasrani Jawa memanggil sang Tuhan dengan sebutan “Gusti Allah”.
Selain “Nrimo ing pangdum”, ada kalimat “Gusti Allah Mboten Sare” (Tuhan tidak pernah tidur) digunakan sebagai pegangan masyarakat Jawa untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan juga, bahwa semua sudah dicatat dan diperhitungkan oleh Tuhan. Bahwa Tuhan tidak pernah tidur, karena setiap saat bekerja untuk menjalankan alam semesta. Pada konsep ruang-waktu yang lebih dalam, Tuhan tidak mungkin tidur karena semua momen yang kita alami bagi Tuhan berlaku sekejap, sesaat, sudah dimulai dan pun sudah berakhir. Bagi Tuhan, masa lalu – masa sekarang – masa depan berlangsung bersamaan.
ADVERTISEMENT
Dalam menghadapi kematian, budaya Jawa menganggap Tuhan sebagai asal mula dan tempat kembali dari semua kejadian. Sehingga kematian bukan sekedar berpisahnya roh tapi proses kembali ke asal mula, atau yang disebut dengan “mulih mulo mulanira”.
Kehidupan itu hanya sementara, "Urip neng donyo iki mung mampir ngombe”, bahwa hidup di dunia ini hanya "mampir" sebentar untuk kemudian meneruskan perjalanan sesungguhnya setelah meninggal.
Masyarakat Jawa mengatakan bahwa kematian justru awal dari kehidupan yang abadi dan sebenar-benarnya, dan akhir dari perjalanan dunia yang fana.
--
Gunung Merbabu. (Foto: Thinkstock)
Pada akhirnya, dunia barat benar bahwa sebaiknya Tuhan menjadi urusan privat, bukan urusan publik. Lalu apa urusan manusia di publik ? Yaitu berbuat baik ke sesama. Titik.
ADVERTISEMENT
Karena setiap ajaran keyakinan / agama pasti membawa pesan damai dan kebaikan. Jebakan mempelajari keyakinan / agama terlalu dalam adalah dengan larangan-larangan di kitab suci, kita jadi memandang rendah orang lain.
Atau mungkin ini karena sejak kecil kurikulum pendidikan agama dan khotbah para pemuka agama bersandar pada “fear” (neraka), bukan pada "hope“ (surga). Sehingga manusia sibuk saling melarang, alih-alih lebih menebar kasih dan kebaikan ke sesama juga ke alam.
Atau mungkin sebenarnya manusia tidak butuh agama, karena manusia jadi butuh justifikasi dari langit dulu untuk berbuat kebaikan. Padahal sejatinya berbuat baik tidak perlu alasan apapun. Ya tinggal berbuat baik saja tanpa alasan / tujuan surgawi. Humanisme.
--
Oleh :
ADVERTISEMENT
@firdzaradiany