Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pilpres 2019: Season Finale dari Reality Show Terbaik Indonesia
15 April 2019 5:51 WIB
Tulisan dari Firdza Radiany tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Demokrasi memang berasal dari Yunani. Plato pernah bercerita bahwa gurunya, Socrates --Bapak Filsuf Yunani-- ragu dan tidak yakin oleh sistem demokrasi.
ADVERTISEMENT
Dikisahkan Socrates bertanya pada Adeimantus.
Socrates : ‘Jika anda berlayar, siapa yang berhak memimpin menjadi Kapten sebuah kapal? Apakah semua orang berhak memilih siapa Kapten Kapal atau hanya orang-orang berpendidikan yang mengerti kerumitan tentang dunia navigasi yang boleh memilih?’
Adeimantus : ‘Tentu saja orang-orang berpendidikan!’
Socrates : ‘Lalu mengapa semua orang menjadi berhak memilih siapa menjadi pemimpin negara?’
Mbak Mia dari Tegal: ‘Karena harga listrik naik, Om!’
Mas Dedi – Desa Digital : ‘Karena saya suka Mobile Legend!’
--
Pertunjukan 'sirkus' Pilpres 2019 akan segera berakhir beberapa hari lagi. Kelak manusia-manusia Indonesia akan mengenang rivalitas terbesar di Indonesia. Rivalitas yang bisa memecah belah Indonesia menjadi dua. Dua kubu yang sama-sama yakin membela “kebenaran” masing-masing.
ADVERTISEMENT
Jika Jokowi kalah. Kita masih akan mendapat “aksi sinetron” selama 5 tahun ke depan. Karena niscaya Jokowi masih punya energi untuk maju lagi di Pilpres 2024, dengan basis pendukung loyal yang masih banyak.
Jika Prabowo kalah, maka “hiburan” ini akan selesai. Sangat sulit melihat Prabowo maju lagi di Pilpres 2024 lagi dengan musuh-musuh yang lebih segar seperti Ridwan Kamil, AHY, Anies Baswedan atau Ganjar Pranowo.
Ah kenapa nama calon Presiden-nya masih hanya itu-itu saja di Pilpres 2024?
Semuanya hanya meributkan Pemilihan Presiden (Pilpres 2019), tak ada yang peduli dengan Pemilihan Legislatif 2019 (Pileg 2019).
Dan tidak ada yang peduli mengenai aturan “Presidential Threshold 2019”. Karena ada yang lebih penting menurut rakyat Indonesia yaitu “CAPRES GUE KUDU JUARA”.
ADVERTISEMENT
Medio Juni 2019, 12 orang (Deny Indrayana Faisal Basri, Angga Dwi Sasongko, Rocky Gerung, dll) orang menggugat kembali aturan ambang batas Presidential Thresehold ke pemerintah.
Hanya ada 12 orang.
Dua orang dikali enam. Sama dengan satu tim sepakbola dengan 1 pemain cadangan.
Bukan sempat tidak sempat harus dibalas ya.
Bandingkan dengan ramai dan meriahnya konser Paslon 02 tanggal 7 April 2019 dan konser Paslon 01 tanggal 13 April 2019 lalu di GBK.
Pasal yang dipersoalkan adalah “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
ADVERTISEMENT
Kenapa aturan ini merugikan rakyat dalam berdemokrasi ?
Karena pilihan Capres hanya boleh diajukan oleh Partai-partai besar yang menguasai legislatif di Pemilu sebelumnya.
Bayangkan jika partai baru seperti PSI (Partai Solidaritas Indonesia) yang berniat mengubah tatanan negara ini tidak akan atau susah mengusungkan calonnya untuk menjadi Presiden.
Untuk memenangkan Pilpres aturannya masih sama yaitu pemenang harus mengantongi suara sebesar 50+1 %. Tapi syarat pencalonan diperumit. Diperumit untuk kepentingan.
Siapa yang diuntungkan? Partai besar seperti PDIP dan Gerindra.
Susah melihat orang-orang baru yang bersih dan fresh menjadi Presiden 2024.
Para politikus lama seperti membeli “tiket terusan” untuk tetap berkuasa di pemerintahan, baik dari sisi pemerintah dan legislatif. Shame. Shame.
“Geng Parpol” ini seperti bersekongkol untuk meminimalisir agar tidak ada pemain baru yang muncul. Jika ada tokoh baru dan muda muncul, para Parpol lama ini segera “mengakuisisi” tokoh-tokoh tersebut, alih-alih membenarkan sistem kaderisasi setiap partai.
ADVERTISEMENT
Jokowi, Sandiaga Uno, Anies Baswedan dan Ridwan Kamil adalah produk yang muncul dari ketiadaan, bukan dari regenerasi dan kaderisasi Parpol.
Kalau mau mengubah negara memang banyak caranya, salah satunya dengan memilih Presiden. Untuk perubahan yang masif, seharusnya energi rakyat Indonesia harus diletakkan untuk merubah sistem Parpol dalam mengendalikan negara ini.
Bukannya malah energi tersebut dihabiskan di ajang Indonesian Idol berjudul “Jokowi versus Prabowo” saja.
--
Tanggal 13 April 2019 telah dilaksanakan Debat Edisi V Capres 2019. Kita akan sangat merindukan acara ini nanti. Selanjutnya akan coba saya bahas performa dan beberapa sudut pandang menarik (agar mereka tampak lebih seperti manusia) untuk masing-masing calon Capres dan Cawapres pada acara debat tersebut.
ADVERTISEMENT
1. Jokowi
Jokowi tampak kelelahan pada debat terakhir ini. Namun justru performanya adalah yang paling sempurna dari keseluruhan acara debat. Kelak jika Bapak Jokowi terpilih kembali sebaiknya Bapak sering-sering tampil di media bercerita tentang ekonomi makro ya.
Berbicara mengenai Jokowi, ada sebuah kalimat klise selalu terngiang.
‘Kalau mau mengubah negara Indonesia jangan cuma menggerutu, ayo masuk ke dalam sistem dan ubah sistemnya.’
Kemunculan Jokowi satu dasawarsa lalu seperti menjawab tuntas pertanyaan tersebut karena sosoknya menjadi harapan atas pertanyaan itu.
Apakah semudah itu?
Jokowi -- The Choosen One -- adalah produk keberhasilan dari budaya digital dan sosial media yang berkembang di Indonesia sejak kemunculan Facebook, Twitter, Youtube dan Whatsapp.
ADVERTISEMENT
Datang dari desa, Jokowi seperti hadir bagai ‘Mesiah’ atau ‘ Dewa Penyelamat’ dengan persepsi kepolosan dan kejujuran Jokowi. Padahal di saat yang sama Jokowi sudah berkenalan dengan Lord Luhut berkolaborasi membuat perusahaan bersama.
Singkat cerita dengan euphoria Jokowi sebagai “New Hope" untuk Indonesia. Pendukung Jokowi melihat ada harapan sangat terang, lalu sukarela “mengangkat citra” melalui sosial media dan dukungan PDIP sehingga Jokowi berhasil menjadi Presiden Indonesia tahun 2014-2019.
Masa depan Indonesia terlihat sangat silau pada masa itu bagi pendukung Jokowi. Tugas berat menanti Jokowi, yaitu memperbaiki Indonesia dan paralel juga membuat Indonesia semakin baik di semua aspek.
Sayang dan kasihan bagi Jokowi.
Ternyata pendukung Jokowi tidak bisa menemani Jokowi menghadapi “Naga-Naga” dan “Serigala-Serigala” di Istana maupun di Senayan. Naga dan Serigala tersebut adalah yang selalu menemani, mengelilingi dan membisiki Jokowi.
ADVERTISEMENT
Jokowi mungkin seperti kita, tidak hidup dan tumbuh dengan lingkungan politik cara-cara lama seperti Megawati, SBY, Luhut, Wiranto, JK dan Prabowo.
Jokowi memang pintar dalam bekerja. Tidak terlalu pintar dalam berpolitik.
Oleh karena itu berbeda seperti SBY, yang selama 10 tahun berkuasa seperti mampu “berpolitik” dengan menenangkan pihak oposisi. Jokowi yang baik hati dan lugu ini seperti tidak bisa “merangkul’ pihak-pihak berseberangan. Sehingga di akar rumput di warteg dan warkop, kondisi perpecahan muncul.
Jokowi mungkin agak kaget dengan habitat dan ekosistem barunya yang “keras”.
Jokowi bingung mekanisme pertahanan yang harus dipilihnya.
Apakah dengan berkamuflase?
Apakah dengan bermimikri?
Jokowi tetap pakai kacamata kuda. Yang dia bisa hanya dua yaitu kerja membangun negara dan melakukan kampanye marketing atas hasil kerjanya.
ADVERTISEMENT
Urusan lainnya seperti laut, hukum, HAM, BUMN, dan lain-lain, diserahkan kepada Perdana Menteri Indonesia bernama Lord Luhut Panjaitan -- Sang Menteri Segala Urusan, Hand of The King, The Advisor and The Whisper --.
Lalu belum juga Jokowi berurusan dengan pemilik strategi dan mesin politik PDIP, yaitu Megawati -- The Real Queen, The President Commisioner, Mother of the Dragons & Daughter of the Firstmen --. PDIP memiliki kepentingan besar di Pileg 2019 juga, karena citra Jokowi adalah PDIP sudah sangat melekat.
Pusing ya jadi Jokowi?
Jokowi memang sudah agak mengubah peta perpolitikan Indonesia. Tapi belum menggoyahkan status quo negara ini.
Hal-hal di atas lah yang membuat banyak muncul Golongan Putih akhir-akhir ini. Golongan Putih ini berasal dari pendukung loyal lama Jokowi yang kecewa dengan Jokowi karena beberapa hal seperti masalah HAM Novel Baswedan, tidak mau menemui Aksi Kamisan dan karena memilih Pak Kyai sebagai Cawapres daripada Mahfud MD – lalu apa bedanya Jokowi dengan Anies Baswedan yang menggunakan agama sebagai motor politik.
ADVERTISEMENT
Mereka ini kecewa dengan Jokowi tapi juga tak mungkin milih Prabowo.
Ibarat kecewa sama besar Beng-Beng yang semakin kecil, tapi makan TOP juga gak mau soalnya tak enak.
Diperparah ada fatwa MUI bahwa Golput itu haram dan celotehan Megawati bahwa Golput adalah pengecut.
Yha ~ tambah banyak lah Golputers…
2. Ma’ruf Amin
Lihat Pak Ma’ruf ini berasa kalau lagi ikut Jumatan. Tenang dan adem. Saking tenangnya sejam debat dimulai Pak Kyai masih diam saja.
Pada sadar gak sih kalau Ma’ruf Amin baru bicara setelah satu jam lebih acara debat.
Maaf Pak, microphone-nya mati atau gimana ya kok Pak Kyai jadi diam saja?
Sekalinya ngomong malah bicara tentang Dewi (Desa Wisata) dan Dedi (Desa Digital). Mereka ini adalah adiknya Mas Dudi (Dunia Industri). Ibu mereka bernama Dado (Dapur Gado-Gado) dan Bapak mereka bernama Dudung Roxy.
ADVERTISEMENT
Usia dan kehadiran Pak Kyai ini membuat chemistry antara Paslon 01 gak terlihat cair. Jokowi bingung, mau diajak ketawa-ketawa takut ditegur Pak Kyai kalau dunia hanya senda gurau belaka. Udah gak cair, tapi kayak menyublim.
Mau diajak manggil Bro, takut dikira sok asik dan ditegur karena lebih cocok jadi sosok Papa-nya Jokowi.
Ciee Papa Ma’ruf..
--
3. Prabowo
Yha ~ Prabowo masih seperti biasa, membicarakan mengenai uang yang dibawa keluar negeri.
Ada insight menarik dari Prabowo bahwa anak-anak Indonesia suka pada tidak sarapan.
Prabowo juga sempat membuat orang bingung, awalnya nyalahin Jokowi lha kok malah nyalahin semua Presiden sebelumnya. Piye Pak?
Jangan sampai Pak SBY sedih terus ngeluarin Album lagi lho Pak..
ADVERTISEMENT
Btw, Kalau jadi Prabowo pusing juga gak?
Prabowo ini serba salah di ajang Pilpres 2019 ini.
Kalau gak maju, apa kata dunia.
Kalau mau maju, tapi gimana gak punya dana kampanye.
Kalau mau maju, nanti kalah lagi gimana.
Kalau gak maju, tidak ada kader Gerindra dengan tingkat kepopularitasnya bisa menyaingi Jokowi.
Kalau gak maju gimana dengan elektabilitas partai Gerindra di Pileg 2019. Apalagi setelah 4,5 tahun Jokowi menjadi Presiden, elektabilitas Jokowi dan PDIP semakin meninggi.
Akhirnya yang maju adalah perutnya Prabowo.
Bukan pilihan yang mudah untuk Prabowo maju lagi, apalagi di dua ajang sebelumnya Prabowo gagal. Dan persepsi buruknya dalam hal HAM, sifat kerasnya sebagai tentara dan dia sendiri adalah bagian elite dari 1% orang kaya di Indonesia. Persepsi buruk lainnya adalah keluarga Cendana ada di barisan pendukungnya.
ADVERTISEMENT
Kepalang tanggung. Sudah terlanjur dan basah, Prabowo pun maju lagi menggaet Sandi untuk menutupi kelemahan utamanya dibanding Jokowi, yaitu tidak punya back-up modal besar untuk kampanye dan untuk menggaet kaum millennials dan kaum emak-emak.
Menurut Prabowo, biaya untuk nyapres di Indonesia itu minimal butuh modal Rp 6 Trilyun. (Darimana ya Jokowi & Prabowo dapat modal minimal sebesar itu?)
Karena sudah basah, apalagi Pak Prabowo suka membuka baju saat kampanye), tak tanggung-tanggung cara berkampanye Prabowo seperti antithesis yang dilakukan Jokowi. Jika Jokowi menebar optimisme, maka Prabowo menebar rasa ketakutan. Menebar rasa kehati-hatian atas apa saja yang sudah dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi. Dalam hal ini Prabowo juga tidak punya banyak pilihan strategi politik. Tidak mungkin kan Prabowo memakai strategi dan persona yang sama seperti Jokowi.
ADVERTISEMENT
Agak aneh gak sih, sebagai oposisi jika Prabowo berkampanye memuji-muji hasil pemerintahan Jokowi dan berkata ‘Saya setuju dengan Pak Jokowi, ayo pilih saya agar meneruskan kinerja bagus Pak Jokowi?’
Yo opo rek.
Sebenarnya susah dibayangkan juga kenapa pada akhirnya beberapa ustaz yang memiliki massa banyak dan kaum muslim sayap kiri malah memilih Prabowo, alih-alih ke Jokowi.
Terlepas dari itu semua, memang hampir sebagian masyarakat suka dengan leadership sederhana ala Pak Jokowi dan leadership keras ala Pak Prabowo. Itulah sebabnya ada berbagai macam level pedas di Ayam Geprek dan di Maicih. Itulah sebabnya juga di toko es krim menyediakan rasa vanilla dan rasa cokelat.
Jika Pak Prabowo tidak berhasil memenangkan Pilpres 2019, mungkin ada baiknya Bapak melamar kerja di Soto Gebrak cabang Tebet. Lumayan seger sotonya dan selalu ngagetin soalnya tiap menu disajikan, ada yang gebrak-gebrak meja.
ADVERTISEMENT
4. Sandiaga Uno
Ibu Nurjanah.
Ibu Mia.
Bapak Surahman.
SOPO MANEH KUWI PAK.
Bapak Sandiaga sudah lupa memangnya dengan Mbak Lies dari Sragen dan Ananda Salsabila yang tempo hari dibicarakan?
Dari keempat kontestan, sebenarnya yang paling cair dan menikmati adalah Sandiaga. Udah kayak passion ya mungkin. Selain hobinya menghafalkan nama-nama orang yang ditemuinya di 1.500 titik kampanyenya.
Sampai akhirnya kalimat penutupnya yang mengganggu pikiran karena disebut berulang-ulang.
Mau makan? TUSUK Prabowo Sandi.
Mau minum? TUSUK Prabowo Sandi
Mau kebelakang? TUSUK Prabowo Sandi
Mau cantik secara instan? Pakai SUSUK.
--
Pesta demokrasi ini akan selesai sebentar lagi. Pesta yang mengaburkan identitas para paslon. Disebut pengaburan, karena keduanya sama saja, sama ide dan visi, sama-sama mengambil hati millennials, sama-sama mengambil hati umat beragama dan sama-sama mengambil hati emak-emak.
ADVERTISEMENT
Sebagai agency, sebenarnya Timses dan Tim Kreatif masing-masing Paslon ini gak gitu-gitu amat kreatifnya. Identitas ide dan produknya sama sebenarnya, tapi dikemas seolah-olah menjadi lawan kata.
Seperti :
Jokowo Anti Islam vs Prabowo Cinta Kyai
Jokowi Pro Asing vs Prabowo Pro Rakyat
Jokowi Pro Rakyat vs Prabowo Pro Elite
Jokowi Pro KFC vs Prabowo Pro McD
Yha ~ menjadi dibuat-buat kan ? Padahal sebenarnya kalau dilihat lebih dalam konteksnya itu mereka sama saja.
Cuma, dalam hal marketing campaign memang perlu pembeda jelas diferensiasi-nya. Yang sayangnya benar-benar di buy-in oleh masing-masing pendukung fanatik Jokowi maupun Prabowo.
Politik kita ini kalau mau ditelaah lagi, ya sebenarnya politik daur ulang saja dan politik copy paste edit.
ADVERTISEMENT
Yang baru adalah euphoria-nya.
Kita semua jadi merasa lebih sayang, lebih peduli dan merasa lebih memiliki negara ini. Dengan caranya masing-masing ya.
Pertanyaan terakhir, apa persamaan dari pelaksanaan acara 212 Monas, acara konser 02 di GBK dan acara konser 01 di GBK?
Para peserta dan pendukung masing-masing acara tersebut sama-sama believe & faith bahwa jalan yang mereka tempuh jalani adalah BENAR dan karena merasa BENAR, yang lain jadi SALAH sehingga di-bully atau dibilang tidak baik, tidak memiliki akal sehat dan bodoh.
Wah, malah jadi melebihi AGAMA ya?
Kasus #JusticeforAudrey juga sempat membuat heboh masyarakat kenapa masih ada perilaku bully di sekolah?
Lha ya jangan pura-pura kaget lalu tiba-tiba membela Audrey, HAM dan kemanusiaan, wong beda pilihan politik saja di-bully dan dipersekusi ~
ADVERTISEMENT
Wahai Netizen Yang Maha Benar..~
--
Seperti kisah Game of Thrones dan Avengers : End Game yang akan memasuki Season Finale pada bulan April 2019 ini, pun demikian dengan Pilpres 2019, sebuah tayangan reality show terbaik dan menarik dari KPU selaku penyelenggara.
Selamat berpesta demokrasi.
Ini cuma masalah selera saja kok. Seperti KFC vs Mcdonalds. Dan jangan judge orang yang memilih memakan Burger Kings.
Semoga Indonesia damai selalu rakyatnya dan maju negaranya.
Kalau mau ada perubahan di Indonesia, cobalah tidak ada salahnya coba tusuk PSI (Partai Solidaritas Indonesia) untuk Pileg 2019. Bantu mereka menembus batas ambang elektabilitas partai sebesar 4%. Lihat apakah PSI dengan jiwa anak muda bisa mengubah bangsa ini.
ADVERTISEMENT
Coba saja. Tidak ada salahnya.
Dari kami semua. Dudi, Dewi, Dedi, Surahman, Mia, Lies Sragen, Dudung Roxy, Mas John, Ronald McDonalds, Bryan McFadden dan Nick Carter.
--
Oleh @firdzaradiany