KKN Pandemi: Merasa Bersalah Tak Beri Dampak Nyata?

Firhandika Santury
Mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan Unversitas Diponegoro
Konten dari Pengguna
10 Agustus 2021 14:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firhandika Santury tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi KKN. sumber: https://m.atmajaya.ac.id/
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi KKN. sumber: https://m.atmajaya.ac.id/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Menjelang pertengahan Agustus, program KKN (Kuliah Kerja Nyata) bagi sebagian besar mahasiswa akan segera berakhir. Semoga lancar dan tetap sehat hingga akhir.
ADVERTISEMENT
Mulanya, kebijakan KKN di tengah pandemi sempat menuai polemik bagi kalangan mahasiswa. Hal ini tidak tak terlepas dari metode yang harus digunakan: daring. Sebagian mengeluh, pengabdian macam apa yang dapat dilakukan melalui aktivitas online? Sebagian lainnya bahkan meminta KKN pandemi yang memusingkan ini dihapuskan saja.
Begitulah yang saya tangkap dari keluhan-keluhan mahasiswa yang saya ikuti. Mungkin, untuk menghapus program KKN akan menjadi hal yang sulit: Mengingat KKN adalah saluran formil, mungkin satu-satunya, yang dimiliki kampus untuk menjalankan amanah pengabdian sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi untuk mahasiswanya. Bukan berarti itu adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Hanya saja, dalam hemat saya, itu membutuhkan pertimbangan matang dan waktu cukup lama. Tidak bisa sekonyong-konyong dilakukan.
ADVERTISEMENT
Meski harus dilaksanakan melalui metode daring, sebagian yang saya tahu juga tetap nekat melakukan KKN secara luring. Tentu hal ini mempertimbangkan situasi tempat di mana mereka ditempatkan. Bila tidak memungkinkan, saya rasa pihak pemerintah setempat akan melarang pelaksanaan secara luring. Yang jadi persoalan adalah bagi mereka yang harus KKN daring karena situasi sedang tidak memungkinkan: entah zona merah atau bahkan zona hitam. Persoalannya, mereka merasa tidak bisa memberikan dampak positif bagi masyarakat ketika harus menjalankan KKN secara daring.
Saya sangat menghargai dan mengagumi jiwa kuat pengabdian mereka. Sungguh. Saya salut, tabik. Tidak perlu menyesal dan merasa bersalah. Tak perlu sedu sedan itu, kata Chairil. Patut disadari bersama, bila KKN sebenarnya hanyalah bentuk kewajiban universitas memberikan pengalaman kepada mahasiswa untuk terjun ke masyarakat. Minimal, jadi mahasiswa pernahlah merasakan pengabdian meskipun sekali. Begitulah kira-kira.
ADVERTISEMENT
Memang kesempatan itu harus digunakan dengan sebaik-baiknya. Saya sepakat. Namun, harus diakui di tengah pandemi seperti ini semua terasa lebih sulit dan berat memang. Sehingga, lebih baik menjalankan KKN sebagaimana aturan yang ada saja. Bila memang situasi memungkinkan dan mendapat perizinan, silakan saja untuk melaksanakan dengan luring. Namun bila situasi yang terjadi sebaliknya, tetap patuhi saja aturan-aturanya untuk dilakukan secara daring. Itu lebih bijaksana. Lebih aman untuk masyarakat, dan bukankah itu juga sebuah kontribusi positif?
Sekali lagi, tak perlu harus merasa bersalah bila merasa tak memberikan dampak nyata bagi masyarakat. Seperti yang sudah saya katakan, KKN ini hanya kewajiban yang diberikan universitas supaya mahasiswanya memiliki pengalaman, minimal sekalilah untuk terjun ke masyarakat. Jadi cukup ikuti saja. Lagi pula, bila memang benar-benar ingin mengabdi, kan tidak harus bergantung pada KKN saja? Masih banyak cara lain untuk mengabdi kapanpun dan di mana pun. KKN bukan satu-satunya jalur untuk mengabdi. Jadi jangan terlalu merasa bersalah.
ADVERTISEMENT
Tak usahlah terlalu njlimet dan spaneng menyarankan hal yang sulit dan merasa terus-menerus bersalah. Lebih baik, nikmati saja. Jalani saja. Yang penting nilai aman, kan? soal pengabdian, lakukan dikesempatan lain. Sekali lagi, kapan pun dan di mana pun: KKN bukan akhir dari segala pengabdian.