Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mural dan Ancaman terhadap Kebebasan Berekspresi
14 Agustus 2021 15:43 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Firhandika Santury tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini jagat maya sedang ramai menanggapi berita upaya penangkapan muralis oleh aparat kepolisian akibat lukisan mural yang dianggap melecehkan presiden. Muralis tersebut melukiskan wajah jokowi yang disertai tulisan "404: Not Found" yang menutupi mata pada sebuah dinding kosong di Batuceper, Kota Tangerang, Banten.
ADVERTISEMENT
Pihak aparat berdalih, penangkapan dilakukan didasarkan atas penghinaan lambang negara dan penghinaan atas panglima tertinggi TNI-POLRI. Oleh sebab itu, kasus ini harus segera diusut dan ditindaklanjuti hingga tuntas, tutur mereka. Selagi perburuan terhadap muralis yang diduga telah melecehkan presiden tersebut terus dilakukan, pihak aparat juga telah menghapus mural tersebut dengan menimpalinya dengan cat hitam.
Banyak pihak bersikap kontra dengan tindakan aparat kepolisian dalam menanggapi lukisan mural tersebut. Namun, tidak sedikit juga yang bersepakat. Penangkapan yang demikian itu, sejatinya bukanlah yang pertama terjadi. Cukup banyak preseden mengenai penangkapan-penangkapan warga sipil akibat menuangkan ekspresinya, entah melalui mural ataupun poster yang dianggap menghina pemerintah.
Praktik-praktik penangkapan yang terjadi dapat dilihat sebagai upaya pemberangusan hak berekspresi masyarakat. Secara definitif saja kita dapat memahami: mural adalah lukisan pada dinding kosong yang memiliki muatan ekspresi kritik sosial. Sederhananya, dalam hal ini mural berperan sebagai instrumen komunikasi politik masyarakat kepada pemerintah. Apa iya mengkritik itu dilarang dalam demokrasi? Kan tidak.
ADVERTISEMENT
Melihat substansi mural yang dilukiskan, tentu secara singkat kita dapat memaknai bahwa sedang terjadi keabsenan presiden bagi masyarakat di tengah-tengah pandemi yang terjadi, setidak-tidaknya bagi muralis itu sendiri. Dan, itu sah-sah saja, memang ia merasa demikian, kok.
Di manakah letak penghinaan yang ditujukan? Tidak ada unsur hoaks, hate speech, ataupun SARA. Justru ini adalah suntikan positif, semacam penanda bahwasanya di luaran sana masih ada rakyat yang tak diperhatikan. Maka solusinya adalah memperhatikannya, memastikan kelangsungan hidupnya sebagaimana yang diamanahkan konstitusi, dan bukan justru malah memburu dan menghukumnya.
Lebih lanjut, merujuk Michael Foucault, kita juga dapat melihat upaya penangkapan sebagai konsekuensi kebebasan berekspresi yang dilakukan adalah wujud intervensi kekuasaan yang terlalu jauh untuk menggerus hak asasi masyarakat. Ini adalah ciri khas kekuasaan monarkistik beroperasi, tutur Foucault.
ADVERTISEMENT
Gemuruh publik yang kontra akan fenomena ini adalah bentuk resistensi akibat campur tangan negara yang terlalu jauh ini: risiko kekuasaan yang sedang dijalankan. Besar kemungkinan pasca insiden penangkapan terjadi, ke depan, justru akan semakin banyak kasus-kasus serupa dan bahkan semakin banyak pula kritik-kritik tajam yang tanpa tedeng aling-aling akan disampaikan melalui berbagai instrumen.
Terlepas dari itu semua, setidaknya apresiasi atas langkah sigap dan cekatan aparat patut diberikan meski dilakukan dalam kasus yang menurut saya masih kurang tepat. Sama halnya dengan rasa cinta akan kehormatan negara yang begitu besar namun sedikit terasa janggal.
Bila aparat begitu sigap dan cekatan menindak dan mengusut tindakan penghinaan terhadap presiden selaku negara (setidaknya menurut mereka), mengapa semangat yang sama tidak tertuang dalam kasus-kasus lain yang sangat merugikan rakyat seperti korupsi besar-besaran, misalnya.
ADVERTISEMENT
Terlebih dalam demokrasi, bukankah penderitaan rakyat adalah wujud penghinaan atas kedaulatan negara? Bukankah menciptakan derita masyarakat adalah kejahatan tak terampuni?
" Di negara liberal, kita bebas berekspresi tapi makan cari sendiri. Di negara komunis, kita tidak bebas berekspresi tapi diberi makan. Di Indonesia, kita tidak bebas berekspresi juga makan harus cari sendiri."
Cak Nun