Nafas Segar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia

Firhandika Santury
Mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan Unversitas Diponegoro
Konten dari Pengguna
14 November 2021 6:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firhandika Santury tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
pixabay
zoom-in-whitePerbesar
pixabay
ADVERTISEMENT
Dunia keilmuan modern harus berterima kasih kepada sumbangsih Karl Marx dalam menyediakan instrumen kritis untuk membedah setiap fenomena sosial yang terjadi. Hampir bisa dipastikan, diskursus keilmuan hingga hari ini tidak bisa dipisahkan dari buah pikir Marx. Gus Roy dalam tulisannya, “Marx dan Tauladan Bagi Remaja” telah memberikan banyak alasan mengapa Marx dapat dikategorikan sebagai sosok yang patut diteladani dalam belajar setelah Al Ghazali dan Imam Syafii, pemikir besar islam kenamaan.
ADVERTISEMENT
Saya tidak akan memberikan semacam justifikasi mengenai muatan pikiran-pikiran yang ditelurkan oleh Marx. Yang kemudian harus kita cermati bersama adalah ikhtiarnya dalam belajar yang luar biasa. Dalam hal ini, saya banyak mengutip kisah yang dikarang oleh Nyoto dalam Marxime dan Amalnya. Sebagai seorang pemikir, Marx terkenal dengan sisi keilmiahan dan kecermatannya dalam belajar. Marx tak akan membicarakan sesuatu yang belum dipelajarinya dengan sungguh-sungguh. Ia tak pernah menerbitkan satu pun karya sebelum meninjaunya kembali berulang-ulang hingga menemukan bentuk yang paling tepat (Kapital dibuat selama 40 tahun). Bahkan, Marx tak pernah muncul di depan publik sebelum ia memiliki persiapan yang cukup.
Tidak kehilangan ciri khas sebagai seorang pemikir di era itu, Marx adalah seorang poliglot. Ia mempelajari banyak bahasa untuk melahab karya-karya penulis dunia kenamaan. Dia bisa mengarang dalam bahasa Jerman, Inggris dan Prancis dengan sangat bagusnya. Dia juga membaca Dante dalam bahasa Italia dan membaca Demokritos dalam bahasa Yunani, dia mengerti bahasa Belanda dan bahasa Hongaria, bahasa Denmark dan bahasa Spanyol. Dan ketika berusia 50 tahun, dia merasa masih cukup muda untuk mulai mempelajari bahasa Rusia, dan enam bulan kemudian dia sudah pandai menikmati syair-syair Puskin dan novel-novel Gogol dalam bahasa aslinya.
ADVERTISEMENT
Kutipan Tan Malaka nampaknya tepat untuk menggambarkan tentang dirinya: kurangi gaya dan perbanyak isi. Betapapun dia sangat sederhana, bahkan terkadang kekurangan ikhwal makannya, namun ia tidak pernah kekurangan bacaan. Bisa dipastikan, setiap melakukan perjalanan ke kota-kota di Eropa, yang ia cari adalah perpustakaan dan toko buku. Bukan cafe terbaik ataupun kekasih baru.
Saya tidak hendak menyingkirkan ilmuan-ilmuan besar Islam kenamaan lain sebagaimana yang sudah saya sebut di muka. Hanya saja, saya ingin memasukan Marx dalam daftar yang dikatakan layak untuk diteladani dalam belajar. Tidak juga bermaksud untuk mengkultuskannya bak Nabi, sisi ilmiahnya yang kemudian penting untuk kita teladani, terlebih bagi kaum-kaum yang gembar belajar dan haus akan ilmu. Baik Al-Ghazali, Imam Syafi'i maupun Marx, mendapatkan ilmu dengan ikhtiar yang teguh, bukan karena bisikan wahyu atau suntikan-suntikan ghaib.
ADVERTISEMENT
Poin penting lainnya yang patut dicermati adalah proporsionalitas Marx dalam belajar. Tidak heran bila kemudian sifat-sifat keilmuan Marxis adalah praksis. Sebagaimana ditulis oleh Paulo Freire, Marx bukanlah seoarang verbalisme yang hanya gemar berbicara dan berteori. Juga tidak hanya gemar koar-koar revolusi: aktivisme. Marx memiliki sisi keduannya: praksis. Bertindak berdasarkan teori atau basis keilmuan yang dimilikinya.
“ Revolusi tidak akan pernah terjadi tanpa adanya teori revolusi” – Lenin
Menarik Relevansi
Apa yang kemudian dilakukan oleh Marx kiranya mampu dijadikan sebagai preseden untuk menyegarkan nafas pergerakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Sebagai salah satu organ pergerakan yang memiliki latar belakang yang cukup mentereng dalam khasanah sejarah politik di Indonesia, yang memperhatikan kualitas tiap-tiap kadernya, dan tidak hanya berkutat soal perebutan jabatan ataupun kekuasaan yang menghalangi ketercapaian tujuan utamanya: kemaslahatan bersama. Dalam hemat saya, penting kiranya untuk menimbulkan sisi praksis dalam nafas gerakan melalui kombinasi yang kuat antara verbalisme dan aktivisme sebagaimana yang dimiliki oleh Marx.
ADVERTISEMENT
Kekuatan intelektualitas dalam proses kaderisasi menjadi hal yang sangat penting. Dan hal itu dapat ditumbuhkan melalui intensitas membaca. Memang tidak semua orang memiliki daya untuk menyelesaikan sebuah bacaan. Namun, setidaknya kita harus memiliki daftar bacaan-bacaan yang kiranya mampu mengkonstruksi pola pikir kita untuk memperkaya instrumen analisis. Dengan demikian, jalur-jalur untuk memhami pemikiran yang tertuang dalam buku tidak hanya bisa dilakukan melalui membaca, melainkan dengan instrumen lain yang memungkinkan. Melalui skema audio visual misalnya. Tidak ada yang berat dalam membangun tekad belajar. Marx yang manusia biasa saja bisa.
Instrumen analisis inilah yang kemudian menjadi penting bagi kita untuk membedah fenomena-fenomena sosial. Lebih tepatnya, dapat digunakan sebagai media untuk menumbuh kembangkan atau syukur-syukur mempertajam, pisau analisis untuk membongkar kesadaran palsu yang sedang berkecamuk. Tahu mana yang lazim dan tidak; yang normal dan yang tidak; dan mana yang harus dibela serta mana yang harus dilawan.
ADVERTISEMENT
Banyak buku yang dapat kita pelajari berkenaan dengan hal itu. Saya akan menyebutkan beberapa yang sekiranya dapat dijadikan sebagai sebuah bacaan wajib seperti karya-karya Mohammad Arkoun: Rethinking Islam Today, Mapping Islamic Studies, Genealogy, and Change, The Untought in Contemporary Islamic Thought. Arkoun lebih tepat dijadikan sebagai salah satu rujukan untuk memperkuat jati diri dalam cara beragama dan berpolitik. Selain itu ada karya-karya Ali Syariati seperti: Membangun Masa Depan Islam, Sosialisme Islam, dan masih banyak lagi. Selain berkecamuk dalam sosio-politik, sastra juga menjadi hal pokok yang harus dibaca. Dalam hal ini, karya sastrawan pendiri PMII tidak boleh luput: Mahbub Djunaidi dengan novelnya “ Dari Hari Ke Hari.” Lain lagi ada karya kepunyaan Ahmad Tohari misalnya.
ADVERTISEMENT
Perlu digaris bawahi, ikhtiar intelektual (membaca) tidak kemudian menjadikan kita berjarak dengan masyarakat. Merasa pandai dan seolah menjadi dewa penolong. Lebih dari itu, sebagaimana Marx, kemampuan kita seharusnya membuat tingkat kepekaan semakin terasah. Membuat kita lebih dekat dengan masyarakat dan siap menerima keluh kesah, juga siap bergerak bersama. Dalam artian, setelah kita memahami dan mengerti maka setelahnya adalah bergerak. Mereka yang sibuk memaknai dunia tanpa ada daya dan upaya mengubahnya untuk kebaikan adalah miskin dalam berpikir, begitu tutur Marx.
Pada dasarnya ingin saya katakan, belajar adalah hal yang sangat penting. Terlebih sebagai kader-kader PMII yang dikenal dengan semangat revolusionernya dalam bergerak menegakkan kebenaran (berat betul). Sebab itu, penting untuk terus menerus menempa kapasitas diri. PMII tidak sekadar yasinan, tahlilan, ataupun pengajian mingguan. Lebih dari itu, PMII adalah kerja-kerja sosial dalam upaya mewujudkan kemaslahatan bersama (praksis). Masih ingat cerpen menukik A.A Navis Robohnya Surau Kami? Saya harap kita tidak bernasib sama dengan mewakili semangat dalam cerita itu.
ADVERTISEMENT
Kita harus betul-betul meresapi apa yang selalu dipekik-pekikan: dzikir; fikir; dan amal sholeh. Menyertakan Tuhan dalam setiap praksis yang dilandasi pola pikir ilmiah dan kritis. Dan, memaknai amal soleh tidak sekadar aktivitas egois diri sendiri pada Tuhan. Lebih dari itu, aktivitas kita dalam bersosial, dalam bermasyarakat.