Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Rektor dalam Pusaran Tambang
21 Agustus 2021 5:27 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Firhandika Santury tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah publik sempat dihebohkan dengan polemik rangkap jabatan Rektor UI sebagai Wakil Komisaris Utama Bank BUMN sejak 2020, beberapa waktu lalu publik, terlebih jagat akademik, kembali dihebohkan dengan tindakan Rektor UNDIP –Prof. Yos Johan Utama—yang memutuskan untuk mengambil bagian dalam sidang kasus penolakan izin tambang andesit oleh warga wadas sebagai saksi ahli pihak tergugat, yakni Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
ADVERTISEMENT
Tindakan Prof. Yos menuai berbagai polemik khalayak luas, dan sebagian besar tidak bersepakat, bahkan merasa marah dan kecewa terhadap langkah yang ditempuhnya. Hal ini tidak terlepas dari statusnya sebagai seorang akademisi, lebih-lebih seorang rektor.
Penolakan warga wadas memuncak ke publik setelah terjadinya aksi represifitas aparat kepada warga di awal tahun ini. Penolakan terus dilakukan namun tanpa sedikitpun didengar. Hal ini dibuktikan dengan tetap diterbitkannya ijin lokasi pertambangan di Desa Wadas oleh Ganjar Pranowo meski warga terus-menerus menolak.
Nampaknya, memang telah menjadi tradisi bagi manusia untuk menyatakan bahwa sekali orang meraih kekuasaan ia akan berhenti mengetahui. Kekuasaan membuat banyak orang gila dan mereka yang berkuasa buta. Pemerintah berhenti mengetahui fakta buruk yang akan diterima warga wadas dan seolah tak melihat gelombang-gelombang penolakan yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Rektor VS Rakyat Wadas
Kehadiran Prof. Yos sebagai saksi ahli pihak tergugat secara tidak langsung menunjukkan keberpihakannya kepada kekuasaan alih-alih kepada kepentingan publik, dalam hal ini masyarakat wadas. Sebagai seorang intelektual, beliau harusnya bertugas memberikan instrumen kritis untuk membedah fakta-fakta sosial.
Bahkan bila merujuk Foucault, seharusnya beliau menjadi intelektual subjektif yang bergerak bersama masyarakat melawan segala bentuk penindasan dan upaya-upaya yang bertujuan menyengsarakan masyarakat. Dan, hal ini sejatinya sempat beliau utarakan dalam momen pengukuhannya sebagai guru besar beberapa tahun silam. Dengan mengindahkan fakta-fakta buruk yang akan menimpa warga wadas bila proyek ini diteruskan, sama saja beliau sebenarnya sedang mendukung warga wadas untuk menerima segala bentuk dampak buruk dari proses penambangan andesit yang akan dilakukan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Perlu digarisbawahi pula bila pengetahuan adalah instrumen paling akurat untuk mendekati kebenaran. Seharusnya melalui kapasitas pengetahuannya, beliau mampu mengutarakan kebenaran yang berpihak kepada rakyat luas dan bukan untuk sekadar mengakomdir kepentingan kekuasaan yang notabene merugikan rakyat.
Sebetulnya, beliau bisa saja menolak untuk ambil bagian sebagai saksi ahli tergugat dan memilih diam. Hal ini selaras dengan UU Nomor 25 Pasal 14 tahun 2009 pada poin e tertulis bahwa penyelenggara memiliki hak menolak permintaan pelayanan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Bahkan, sebetulnya sikap diam dan penolakan Prof. Yos akan menjadi dukungan berarti bagi warga wadas. Sayangnya tidak begitu kenyataannya.
Sebagai seorang empu dunia pendidikan yang mengajarkan mahasiswanya untuk selalu peka terhadap kesulitan masyarakat, untuk mengabdi kepada masyarakat, dalam kasus ini dapat dikatakan jika beliau telah gagal memberikan teladan. Bukan hendak mengatakan jika beliau tidak konsekuen dengan posisinya sebagai pendidik dan kepala universitas, namun bagaimana lagi? memang begitulah adanya. Sebuah realitas yang tak bisa membohongi publik.
ADVERTISEMENT
Bahkan, dalam kasus ini, ironinya ia justru berlawanan dengan mahasiswanya sendiri. Yang masih memegang teguh ajaranya untuk peka terhadap keluh kesah masyarakat, untuk tetap mengabdi kepada masyarakat dan bukan menghamba kepada kekuasaan yang merugikan masyarakat.
Sebelumnya sempat viral salah seorang koleganya di UNDIP –Prof. Suteki—yang menjadi saksi ahli dalam kasus pembubaran organisasi Hizbut Tahrir Indonesia beberapa tahun lalu. Namun, karena alasan tidak mendapat surat tugas dari pimpinan yakni Rektor Universitas sesuai Peraturan Rektor UNDIP Nomor 17 Tahun 2019, Prof. Suteki mendapat hukuman. Ia diberhentikan sebagai Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum dan Ketua Senat Fakultas Hukum oleh Prof. Yos Johan Utama. Anehnya, Prof. Yos sendiri juga menjadi saksi ahli saat ini, namun dengan statusnya sebagai rektor, darimanakah surat tugasnya/persetujuan akan diperoleh?
ADVERTISEMENT
Lucunya, dalam persidangan ia menuturkan bila surat tugasnya diperoleh dari bawahanya sendiri: Wakil Rektor Bidang Sumber Daya. Hal ini menjadikan situasinya sama dengan Prof. Suteki beberapa waktu lalu. Sama-sama tidak mendapat surat tugas dari pimpinan. Dan beliau layak juga dihukum: kali ini menghukum dirinya sendiri, mungkin. Namun nampaknya hukuman tidak akan berlabuh kepadanya seperti yang terjadi terhadap Prof. Suteki. Kenapa? Karena mereka berdiri pada posisi yang berbeda. Prof. Suteki berhadapan dengan kekuasaan, sementara Prof. Yos berada di pihak kekuasaan.
Polemik yang terjadi dengan segala ironinya ini memberikan makna berarti bagi kita. Betapa bahayanya bila seorang intelektual/akademisi yang diharapkan mampu bertindak jujur dan ilmiah justru berdekatan dengan kekuasaan. Lebih dari itu, ini membahayakan. Tutur Foucault. Oleh sebab itu, menjadi penting kiranya sebagai seorang intelektual untuk berjarak dari kekuasaan demi menjaga kewarasan, menjaga kejujuran, dan menjaga objektifitas.
ADVERTISEMENT
Telah menjadi tradisi bagi manusia untuk menyatakan bahwa sekali orang meraih kekuasaan ia akan berhenti mengetahui. Kekuasaan membuat banyak orang gila dan mereka yang berkuasa buta. Hanya mereka yang menjaga jarak dengan kekuasaan: tak terlibat dalam tirani (rezim) atau yang duduk diam dalam poele Cartesius dan kamar meditasi yang dapat menemukan kebenaran.
Michael Foucault