Konten dari Pengguna

Saat Grammar yang Tak Sempurna menjadi Halangan Belajar Bahasa

Firizqi Aditya Mulya
Mahasiswa S1 Program Studi Informatika di Universitas Sebelas Maret, selain menulis kode pemrograman, juga menulis hal-hal fiksi maupun non-fiksi.
12 November 2024 9:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firizqi Aditya Mulya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi belajar bahasa (pixabay.com/libellule789)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi belajar bahasa (pixabay.com/libellule789)
ADVERTISEMENT
“Language is just a tool of communication, bahasa itu hanyalah sebuah alat untuk berkomunikasi, kamu ngga perlu terdengar seperti native speaker untuk bisa menggunakan suatu bahasa. Selama lawan bicaramu mengerti apa yang kamu katakan, ya sudah, berarti kamu telah menggunakan bahasa tersebut dengan baik.”
ADVERTISEMENT
Begitu kira-kira yang diucapkan oleh orang yang mewawancarai saya pada saat seleksi Bahasa Inggris untuk mengikuti program pertukaran pelajar tiga tahun yang lalu. Jadi ceritanya, setelah sesi wawancara selesai, beliau menanyai saya dalam Bahasa Inggris, “apakah ada sesuatu yang ingin disampaikan atau ditanyakan sebelum ini ditutup?” Kemudian saya menjawabnya dengan, “I’m sorry if my English is bad, I’m trying to –”, belum selesai saya menjawab, beliau langsung memotong dan mengatakan hal yang saya tulis di paragraf pertama. Mendengar hal tersebut, saya yang sebelumnya merasa minder karena sadar bahwa banyak dari jawaban saya masih berantakan menjadi lebih percaya diri. Saya juga kemudian tersadar bahwa hanya dengan gerakan tangan yang tidak ada tata bahasanya sekali pun manusia tetap bisa berkomunikasi, maka mengapa saya musti khawatir dengan kesalahan-kesalahan yang wajar terjadi saat masih dalam tahap belajar?
ADVERTISEMENT
Sayangnya, tidak semua orang punya pikiran seperti itu. Pernah saya menemukan komentar pada sebuah postingan di X (sebelumnya Twitter) yang di dalamnya terdapat kesalahan grammar Bahasa Inggris, komentar itu berbunyi, “Kalo ngga bisa Bahasa Inggris mending pakai Indonesia aja dulu biar ngga malu-maluin.” Di waktu yang lain, saya juga menemukan postingan yang di dalamnya terdapat kalimat, “That’s not my vault,” yang kemudian saat saya lihat komentarnya isinya penuh dengan tertawaan, “Fault kali, vault emang mau gymnastic? HAHAHAH.” Sungguh miris bukan? Di saat kesalahan bisa dikoreksi dengan cara yang lebih baik, tidak sedikit yang malah memilih untuk merendahkan dan bahkan mencerca.

Dampak Cibiran terhadap Proses Belajar

ilustrasi belajar bahasa (pexels.com/Craig Adderley)
Dalam proses belajar bahasa, kesalahan adalah hal yang tak terhindarkan, terutama ketika seseorang sedang berusaha menguasai bahasa yang bukan bahasa ibu mereka. Namun, di era yang serba media sosial seperti sekarang, sering kali kesalahan, khususnya dalam grammar, menjadi bahan cibiran atau cercaan. Padahal, menurut penelitian yang dilakukan oleh Albert Bandura mengenai self-efficacy, orang yang sering diejek bisa mengalami penurunan motivasi, menghindari tantangan, dan berfokus pada kekurangan. Cibiran dan cercaan ini tentu dapat menjadi penghalang bagi merea yang ingin mencoba, tapi takut menghadapi ejekan. Alhasil, korban dari cercaan kesalahan grammar tadi pun terlanjur merasa rendah diri dan enggan untuk mencoba lagi. Mereka memilih diam, yang pada akhirnya membuat apa yang telah dipelajari menjadi hilang tenggelam.
ADVERTISEMENT
Ketika seseorang dihadapkan pada cercaan atau kritik yang merendahkan, dampaknya bisa cukup mendalam. Rasa takut membuat kesalahan bisa mengakar, dan orang-orang menjadi enggan untuk berlatih berbicara atau menulis dalam bahasa asing. Hal ini bisa menghambat perkembangan bahasa mereka, padahal dalam proses belajar, kesalahan adalah bagian penting yang harus diterima.
Selain itu, ada fenomena yang dikenal dengan nama imposter syndrome, di mana seseorang merasa bahwa dirinya tidak layak atau tidak kompeten, meskipun sebenarnya mereka telah memiliki kemampuan yang cukup. Bagi banyak pembelajar bahasa, terutama mereka yang berinteraksi di ruang publik seperti media sosial, imposter syndrome ini sering diperparah oleh cercaan yang mereka terima. Mereka merasa bahwa mereka tidak "cukup baik" dalam menggunakan bahasa asing, padahal kemampuan bahasa adalah sesuatu yang berkembang seiring waktu dan latihan.
ADVERTISEMENT

Atasi dengan Empati, Growth Mindset, dan Memahami Esensi Bahasa

ilustrasi belajar bahasa (pexels.com/George Dolgikh)
Untuk mengatasi hal ini, penting bagi kita sebagai individu maupun sebagai bagian dari komunitas sosial untuk menerapkan empati dalam memberikan kritik. Mengoreksi seseorang bisa dilakukan dengan cara yang lebih halus dan konstruktif. Alih-alih merendahkan, kita bisa menawarkan saran atau masukan yang membangun. Misalnya, ketika seseorang salah menggunakan grammar, kita bisa mengatakan, "Sebenarnya lebih tepat kalau menggunakan 'fault' di situ, tapi bagus kamu udah berani mengekspresikan perasaanmu pakai Bahasa Inggris!"
Bagi mereka yang sedang belajar, penting juga untuk mengembangkan growth mindset. Konsep ini menekankan bahwa kemampuan bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan dapat dikembangkan melalui usaha dan latihan. Dengan mindset ini, seseorang akan lebih siap menerima kesalahan sebagai bagian dari proses belajar dan terus mencoba tanpa takut gagal.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, hal yang bisa menghentikan itu semua adalah pemahaman bahwa bahasa tidak lebih dan tidak kurang hanyalah satu dari banyaknya alat untuk berkomunikasi. Sehingga, untuk orang yang mempunyai kemampuan berbahasa yang lebih baik, dirinya tidak akan mengejek apa lagi mencerca, melainkan menggunakan pendekatan yang lebih halus dalam mengoreksi kesalahan, tanpa ada unsur merendahkan. Bagi mereka yang masih belajar, penting untuk tetap berani mencoba, meskipun dihadapkan dengan kritik atau cercaan. Selama apa yang dikatakan bisa dipahami, itulah yang utama.
Namun, tentu saja, kesalahan juga perlu diminimalisir. Belajar bahasa memang membutuhkan waktu dan upaya, sehingga disarankan untuk terus berlatih dan mencari umpan balik yang positif serta membangun. Dengan dukungan dari lingkungan yang kondusif dan motivasi untuk terus belajar, siapa pun dapat menjadi lebih baik dalam berbahasa, tanpa takut dicerca karena grammar yang tak sempurna.
ADVERTISEMENT