Perbudakan Modern Menjadi Masalah Sehari-hari yang Tersembunyi

Firliana Hafiza
Saat ini berprofesi sebagai mahasiswi semester 6 konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran.
Konten dari Pengguna
23 Desember 2021 14:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Firliana Hafiza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perbudakan modern di kalangan pekerja. Gambar: dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Perbudakan modern di kalangan pekerja. Gambar: dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
Di akhir bulan November sampai pertengahan Desember para pegiat HAM, perempuan, dan kemanusiaan berbondong-bondong menyuarakan hak-hak para korban. Salah satunya adalah Hari Internasional untuk Penghapusan Perbudakan yang dicetuskan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memberantas perdagangan dan eksploitasi pelacuran pada manusia.
ADVERTISEMENT
Fokus dari peringatan ini adalah memberantas bentuk-bentuk dari perbudakan kontemporer, seperti perdagangan manusia, eksploitasi seksual, bentuk-bentuk pekerja paksa pada anak, kawin paksa, dan perekrutan anak-anak secara paksa yang digunakan dalam konflik bersenjata.
Organisasi Buruh Internasional (ILO), Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) bersama Walk Free Foundation mengembangkan riset yang memperkirakan perbudakan modern secara global. Ditemukan pada tahun 2016, sebanyak 40,3 juta orang di seluruh dunia menjadi korban perbudakan modern.
Jumlah tertinggi berasal dari India, Cina, Pakistan, Bangladesh, Uzbekistan, Korea Utara, Rusia, Nigeria, Republik Demokratik Kongo, Indonesia, Mesir, dan Myanmar. Pada laporan yang sama, perbudakan modern didefinisikan sebagai istilah yang mencakup praktik seperti kerja paksa, terjerat utang, kawin paksa, dan perdagangan manusia.
ADVERTISEMENT
(Fuchs, 2018) juga menambahkan, perbudakan modern merujuk pada situasi eksploitasi yang para korban tidak mampu menolak atau meninggalkannya karena adanya ancaman, kekerasan, pemaksaan, penipuan, dan/atau penyalahgunaan kekuasaan.

Perempuan menjadi korban dominan

Di kurun waktu lima tahun ke belakang, sebanyak 89 juta orang mengalami berbagai bentuk perbudakan modern. Bentuk perbudakan seperti terjerat utang di kapal penangkap ikan, pembantu rumah tangga, terjebak di dalam pernikahan yang tidak pernah mereka setujui dan berbagai jenis perbudakan lainnya.
Mirisnya, perempuan dan anak menjadi kaum yang paling terwakili di dalam perbudakan modern ini. Sebesar 71% korban adalah perempuan dan anak yang tersebar di berbagai jenis perbudakan modern.
Meskipun sebagian besar negara telah menyatakan bahwa perbudakan modern adalah tindakan ilegal, keberadaan perbudakan modern di negara-negara tertentu masih menduduki skala yang cukup mengejutkan. Namun, negara-negara dengan PDB tinggi masih mengabaikan isu krisis hak asasi manusia ini.
ADVERTISEMENT
Jika ditinjau berdasarkan Global Slavery Index 2018, terdapat beberapa faktor yang berkontribusi memunculkan perbudakan modern, seperti migrasi, konflik rezim, represif, bisnis yang tidak etis, perusakan lingkungan, dan diskriminasi.
Pengimporan produk-produk oleh pemerintah dan para pebisnis, seperti laptop, komputer, ponsel, pakaian jadi, aksesoris, ikan, biji coklat, dan kayu berpotensi menimbulkan perbudakan modern dalam skala yang signifikan.
Negara-negara G20 secara kolektif mengimpor produk-produk yang berisiko menimbulkan perbudakan modern senilai US$354 dalam setahun.
Hal yang mengecewakan adalah, hanya tujuh negara G20 yang secara resmi memberlakukan undang-undang, kebijakan, atau praktik yang mendorong penghentian bisnis barang atau jasa yang dihasilkan dari kerja paksa.

Bagaimana kondisi perbudakan modern di Indonesia?

Indonesia sendiri berada di posisi ke-17 dalam tingkat perbudakan modern. Perkiraan prevalensi per 1000 populasi sebesar 4,7%, kemudian perkiraan korban absolut sebesar 1,220,000 dari jumlah populasi sebesar 258,162,000.
ADVERTISEMENT
Mengetahui posisi tersebut seharusnya dapat menyadarkan kita bahwa negeri sendiri memang belum terbebas dari perbudakan modern. Kasus demi kasus dapat kita temui setiap tahunnya, terutama yang dialami oleh pekerja migran yang berasal dari Indonesia.
Dua bulan lalu, terdapat kasus perbudakan modern yang terkuak kembali, kasus ini dialami oleh Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Malaysia. Ini juga menjadi contoh kasus perbudakan modern di lingkup pembantu rumah tangga.
Di kasus baru-baru ini, korban mengaku mengalami penganiayaan dan dipaksa bekerja tanpa gaji selama tiga tahun di Perak, Malaysia. Selain itu, korban juga diyakini menjadi objek pelecehan. Kisah ini mengulang kejadian tahun lalu yang menimpa seorang migran Indonesia asal Cirebon yang dilarang untuk berkomunikasi dan seringkali dipaksa tidur di teras rumah majikan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia secara umum telah berkomitmen dalam perlindungan terkait pekerja migran Indonesia. Sebagaimana dengan ditetapkannya UU No 18 tahun 2017. Namun sangat diperlukan dukungan dan komitmen kuat dari sektor bisnis yang masih abai dengan isu HAM ini. Desakan para pebisnis untuk mematuhi Prinsip-prinsip Panduan Bisnis dan HAM yang dikeluarkan oleh PBB menjadi relevan.
Selain menyediakan alat bagi negara-negara untuk mengatasi perbudakan di dalam perbatasan mereka, penting bagi semua negara untuk mempertimbangkan masalah ini dari perspektif global, dan berkolaborasi dalam mencari solusi.
Isu HAM ini telah menjadi persoalan global, maka diperlukan pula komitmen yang kuat antar politik negara. Penting bagi seluruh negara mempertimbangkan masalah ini dari perspektif global dan berkolaborasi mencari solusi.
ADVERTISEMENT
Masing-masing negara juga perlu memeriksa kembali bagaimana kebijakan mereka terkait menanggapi isu perbudakan modern. Sehingga ke depannya isu ini tidak berkembang di dalam maupun luar negeri.
Rekomendasi lain adalah penting bagi pemerintah untuk memprioritaskan hak asasi manusia ketika terlibat dengan rezim represif, pemerintah pun harus mampu memprediksi dan menanggapi perbudakan dalam situasi konflik, mengatasi perbudakan modern yang terjadi di rumah, dan mengadvokasi hak-hak perempuan dan anak secara nasional maupun global.