Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Menakar Masalah Kesehatan dalam Gaya Hidup Konsumerisme
21 April 2025 11:51 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari firnasrudin rahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia umumnya sangat menyukai minuman manis. Baik itu dikonsumsi saat sedang santai, lelah setelah bekerja, saat pagi hari dan malam hari. Menurut data Riskesdas 2018 menunjukkan 30,22 persen orang mengonsumsi minuman manis sebanyak 1-6 kali per minggu dan hanya 8,51 persen orang mengonsumsi minuman manis kurang dari tiga kali per bulan.
ADVERTISEMENT
Namun, dibalik kecendrungan kegemaran mengkonsumsi minuman ini ternyata terafiliasi dengan masalah kesehatan. Tingginya tingkat mengkonsumsi minuman manis diasosiasikan dengan masalah kesehatan dan faktor risiko kejadian penyakit gula darah tinggi, obesitas, hingga diabetes melitus. Berdasarkan SKI (Survei Kesehatan Indonesia) 2023, dari kelompok usia menunjukkan prevalensi diabetes pada usia diatas 15 tahun pada tahun 2023 adalah 11%, ini meningkat dari tahun 2018 yaitu 10.9%. dan usia produktif 18-59 tahun yaitu 10% dan usia diatas 60 tahun yaitu 24,3% berdasrkan pengukuran kadar gula darah.
Kegemaran mengkonsumsi minuman manis justru tidak kalah dengan makanan cepat saji. Menurut Data Boks (2023) bahwa Kelompok umur 17-34 tahun lebih sering mengonsumsi fast food dalam sepekan dibandingkan kelompok umur diatasnya dan berdasarkan kelompok jenis kelamin Wanita lebih sering mengonsumsi fast food dibandingkan dengan Laki-laki. Sama halnya dengan minuman manis, makanan fast food juga terkonfirmasi berkontribusi terhadap kondisi kesehatan. Dalam penelitian Herlina dkk (2021) ditemukan bahwa sering makan fast food memiliki resiko sebesar 2,7 kali lebih besar mengalami gizi lebih dibandingkan yang jarang. Demikian halnya dalam penelitian Iis dkk (2022) dijelaskan bahwa ada hubungan konsumsi fast food dengan kejadian obesitas pada remaja. Semakin sering remaja konsumsi fast food semakin mengalami obesitas, semakin jarang konsumsi fast food tidak mengalami obesitas.
ADVERTISEMENT
Obesitas menjadi salah satu penyebab penyakit tidak menular yang menjadi permasalahan kematian secara global di dunia. Mengutip Databoks (2019) bahwa Our World in Data menyebut, secara global, angka kematian akibat obesitas sekitar 60 per 100.000 penduduk pada 2017. Angka kematian tercatat tinggi di negara-negara berpenghasilan menengah, terutama di seluruh Eropa Timur, Asia Tengah, Afrika Utara, dan Amerika Latin. Dalam penelitian Purwo (2020) menjelaskan penyakit degeneratif telah menjadi penyebab kematian terbesar di dunia. Hampir 17 juta orang meninggal lebih awal setiap tahun akibat epidemi global penyakit degeneratif. WHO mengungkapkan bahwa telah terjadi kematian akibat penyakit tidak menular sebesar 80% dari total kematian dibeberapa negara antara lain Brazil, Kanada, Cina, India, Nigeria, Pakistan, Rusia, Inggris dan Tanznia.
ADVERTISEMENT
Tidak kalah dengan Obesitas, diabetes juga berperan dengan baik. Berdasarkan Databoks (2021) bahwa International Diabetes Federation mencatat diabetes telah menyebabkan 6,7 juta kematian di dunia pada 2021. Yang mana, artinya bahwa ada 1 kematian setiap 5 detik. Indonesia berada di peringkat keenam dalam daftar ini. Dimana, jumlah kematian akibat diabetes di Indonesia mencapai 236 ribu pada 2021.
Selain itu biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan diabetes tidaklah sedikit. Menigutip dari Detik Health, menurut Dr Samuel biaya yang dikeluarkan terdiri dari: Konsultasi dokter,spesialis bisa menghabiskan Rp 250.000- Rp 400.000 ribu sekali konsultasi. Untuk biaya obat-obatan sekitar Rp 1-2 juta per bulan.
Penelitian yang dilakukan Shintya pada tahun 2021 menemukan bahwa gaya hidup berkorelasi dengan perilaku konsumsi mahasiswa di fakultas tarbiyah prodi pendidikan ekonomi di UIN Suska Riau. Study ini mengantarkan saya pada pemikiran Bourdie, ia menempatkan gaya hidup dalam sebuah rangkaian atau sebuah proses sosial panjang yang melibatkan modal, kondisi objektif, habitus, disposisi, praktik, gaya hidup, sistem tanda, dan struktur selera. Lebih jauh lagi Rama Kertamukti melihat gaya hidup sebagai cara hidup yang ditandai dengan bagaimana orang menghabiskan waktu melalui kegiatan mereka, apa yang mereka anggap penting dalam lingkungannya dan membuat mereka berpikir tentang diri mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka.
ADVERTISEMENT
Dari sini, kita dapat melihat bahwa gaya hidup dapat diamati melalui apa yang ditampilkan oleh segelintir orang seperti masyarakat kelas atas. Ada sederet praktik yang nampak seperti selera berpakaian, memilih makanan, restoran favorit, selera memilih lingkungan pergaulan, selera rumah dan lingkungan tempat tinggal, pendidikan dan lain-lain. Tentu motif dibalik praktik ini terdapat pertimbangan yaitu berupa cita rasa atau nilai.
Nilai menurut Jean Baudrillard bahwa dalam satu objek terdapat empat bentuk nilai yakni, pertama, ia menyebutnya dengan the funcional value yaitu, nilai kegunaan suatu objek. Kedua, the exchange value yaitu, nilai tukar yang ada dalam satu objek. Ketiga, the symbolic value yaitu, nilai objek yang diberikan oleh subjek dalam hubungannya dengan subjek lain. Keempat, the sign value yaitu, nilai objek dalam sistem objek atau status yang menyertai objek itu. Prinsip sign-value ditujukan untuk mengerti realitas masyarakat modern.
ADVERTISEMENT
Jean Baudrillard meyakini jika objek ketika menjadi tanda (sign) yang nilainya ditentukan oleh sebuah aturan kode. Maka, saat kita mengonsumsi objek, seketika itu kita mengonsumsi tanda. Objek konsumsi dapat berupa apa saja, seperti mobil mewah, rumah mewah, tunggangan mahal, pakaian, jam tangan, makanan dan lain-lain. Kesemuanya itu adalah serangakain pananda atas nilai kelas masyarakat tertentu.
Intensitas konsumsi terhadap objek yang berlangsung secara terus menerus pada masyarakat modern dan tanpa henti. Keengganan untuk memilih apa itu kebutuhan dan keingingan, berimplikasi pada masyarakat sulit membedakan mana kebutuhan dan bukan. Masyarakat terus didorong untuk konsumsi apa saja yang ditampilkan. Hingga menciptakan sebuah gelombang perilaku konsumsi.
Dari aktivitas konsumsi secara terus menerus hingga akhirnya menjelma ideologi konsumerisme yang diusung oleh kapitalisme melalui kerja industri budayanya. Menurut Marcues dalam Manusia Satu Dimensi (2016), bahwa adanya penerimaan atas konsumerisme sehingga membuat masyarakat berada pada kondisi “keterbelahan kebutuhan yaitu antara kebutuhan sebenarnya dan kebutuhan palsu. Kebutuhan palsu berwujud dalam bentuk kebutuhan yang dibebankan kepada individu oleh adanya kepentingan sosial khusus dalam represinya, kebutuhan-kebutuhan yang mengabadikan kerja, agresivitas, pendiritaan dan ketidakadilan. Kebutuhan palsu ini bisa dalam bentuk kebutuhan untuk bisa rileks, bersenang-senang, melalui perilaku mengkonsumsi sesuatu sesuai dengan iklan-iklan yang ada. Menurut Marcuse bahwa dengan cara yang sama juga berlaku bagaimana kapitalisme industri mengatur waktu kerja dan industri budaya mengatur waktu luang.
ADVERTISEMENT
Kecenderungan masyarakat terhadap sebuah gaya hidup konsumerisme dijelaskan oleh Adorno dan Horkheimer bahwa kecondongan budaya massa dalam bentuk homogenitas dan prdiktabilitas seperti sebuah produk budaya yang dipasarkan dan dijual dalam wujud standarisasi kepada masyarakat tidak akan ada penolakan. Masyarakat secar pasif akan menerima dan mengkonsumsi produk budaya. Pada titik ini menurut Adorno dan Horkheimer masyarakat telah dimanipulasi oleh iming-iming nilai tinggi dari sebuah produk. Dan apa yang dikonsumsi oleh individu bukan lagi nilai guna dari sebuah objek melainkan citra simbolik.
Apa yang dilihat oleh Adorno dan Horkhaimer adalah cepatnya proses produksi dari kapitalisme modern. Bahkan Baudrillard telah memprediksi sejak dahulu atas produksi kapitalisme ini, dimana masyarakat tidak akan mempertimbangkan aspek kebutuhan real lagi melainkan terpesona akan permainan citra tanda. Masyarakat hanya asik menikmati permainan citra dan simulasi.
ADVERTISEMENT
Industri budaya mampu menginduksi bahan baku yang dikonsumsi oleh masyarakat tidak hanya materi atau esensi, tetapi juga permukaan, tetapi juga individu, dan tidak pernah ingin berhenti. Oleh karena itu, produk yang dikonsumsi oleh masyarakat tidak hanya terkait dengan kebutuhan aktual. Sejatinya hanyalah permainan citra dan tanda.