Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kekerasan pada Anak di Tengah Ancaman Represi Orang Tua
12 September 2023 14:53 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Firtian Ramadhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peran orang tua di era digital saat ini tampaknya bisa tergantikan dengan kehadiran teknologi. Pada era sekarang, teknologi hampir mengakuisisi kehidupan anak-anak.
ADVERTISEMENT
Dulu, ketika ingin bermain, saya harus berjalan menuju warnet yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Karena keterbatasan akses dan kesulitan teknologi pada masa itu sehingga seringkali mengalami banyak kendala ketika hendak bermain.
Sejak awal munculnya teknologi, perannya dulu tidak signifikan seperti sekarang dan sulit untuk mempengaruhi anak-anak mencapai titik candu. Berbeda dengan sekarang, mayoritas balita berumur 3-5 tahun sudah pandai bermain gadget.
Kecanduan itu membuat kebanyakan orang tua melakukan ancaman/represi kepada anak-anak. Dengan bermain gadget, terkadang anak-anak suka mengabaikan orang tua ketika diminta untuk membantu pekerjaan dirumah.
Hal seperti itu terjadi di Kabupaten Jember beberapa bulan lalu. Kebetulan, saya mendapatkan kesempatan untuk melakukan penelitian Dosen Sosiologi Unair dengan judul "Kekerasan Anak di Lingkungan Keluarga Urban".
ADVERTISEMENT
Salah seorang anak yang dirahasiakan namanya mengutarakan bahwa dirinya sering kali mendapatkan pukulan ketika tidak mau membantu orang tuanya. Entah itu sudah menjadi stigma atau memang perlakuan anak-anak yang sudah di luar batas.
Tentu, sebagai makhluk sosial kita tidak bisa secara langsung menginterpretasikan hal itu. Tetapi harus dengan benar-benar mengerti secara riil sesuai keadaannya.
Dalam pengakuannya, beberapa anak juga sering ditampar oleh orang tua karena memang nakal. Akan tetapi, ada juga mereka yang sering dibandingkan dengan sanak saudaranya.
Mereka yang diperlakukan seperti itu merasa sedih dan bertingkah selalu salah ketika di depan orang tua. Beberapa yang lain, menuliskan dalam sebuah kertas tentang kekerasan apa yang dilakukan oleh orang tua dan sangat diingat olehnya.
ADVERTISEMENT
Ia menuliskan, kekerasan yang dilakukan kepadanya adalah memukul dengan besi sabuk. Sungguh-sungguh menyakitkan, ia penuh dengan keseriusan saat menuliskan itu. Peran anak-anak sebagai generasi masa depan/generasi penerus bangsa memang menjadi andalan untuk meneruskan perjuangan.
Selain giat belajar, anak-anak harus bisa memperoleh dukungan penuh dari elemen-elemen sekitarnya. Seperti, orang tua, saudara, kakek, nenek, paman dan bibi. Kehadiran mereka tentu akan menghiasi kehidupan untuk meraih kesuksesan di masa depan nanti.
Mengingat tentang perilaku kekerasan dan ancaman orang tua, lantas bagaimana anak-anak bangsa ini berkembang? Dengan cara apa mereka memberikan kontribusinya atau memberikan prestasinya, jika mereka justru sering mendapatkan represi?
Apalagi, anak-anak yang memperoleh perilaku tidak adil. Bahkan sekalipun mendapatkan perlakuan sedemikian itu masih harus bersemangat menjalankan kewajibannya untuk bersekolah sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Orang tua yang mempunyai hak memenuhi kebutuhan anaknya memang sebagian sudah merasa terpenuhi. Tetapi tidak sedikit pula yang merasa belum terpenuhi.
Hak-hak yang dimaksud adalah hak memberikan makanan secara cukup, hak memberikan jaminan kesehatan, pakaian yang layak, serta hak untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Lantas, dalam memenuhi hak anak serta kebebasan dalam berekspresi dan berperilaku, apa yang harus dilakukan oleh anak agar mendapatkan pengakuan dari orang tua? Sering kali, anak tidak mendapat dukungan penuh, hanya dianggap biasa saja atas pencapaian yang mereka didapat.
Berangkat dari anak-anak yang terkena kekerasan secara fisik dan psikis, seperti halnya dalam Pasal 1 angka 15 a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU No. 35/2014):
ADVERTISEMENT
Jika memang terbukti bersalah, bahkan jika anak secara terang-terangan mengatakan dirinya pernah dipukul, sampai diancam untuk dijual, orang tua yang terbukti melakukan itu bisa terkena hukum pidana tiga tahun enam bulan atau denda sebesar Rp 72 juta.
Namun, itu akan berbeda bilamana korban (anak) sampai mengalami luka berat, maka pelaku akan dijerat pidana lima tahun atau denda sebanyak Rp 100 juta.
Hanya saja dalam praktiknya, banyak anak-anak yang masih belum mendapatkan ketikdakadilan dari kekerasan. Apalagi pelaku kekerasan itu datang dari orang tua mereka sendiri.
Ketidakpahaman lembaga mengenai perlindungan anak harus terus-menerus ditingkatkan. Karena ketidakpahaman inilah yang menjadi salah satu penyebab kenapa kasus represi di kalangan anak-anak ini dapat dikatakan begitu tinggi.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan orang tua mengatakan bahwa kekerasan anak dilakukan untuk mendidik. Biasanya pola ini menurun dari pola asuh orang tuanya dahulu saat mendidik dari generasi satu ke generasi berikutnya.
Anak yang mengalami kekerasan dan dianggap sebagai pembentukan mental yang kuat justru berdampak lain. Anak-anak akan cenderung murung dan tidak berani untuk melakukan kegiatan.
"Kalau sudah dibandingkan sama saudara itu, cuman bisa diam. Paling gara-gara akunya yang emang nakal," kata seorang anak yang pernah mendapatkan kekerasan dari orang tua.
Seperti yang diketahui oleh banyak orang, bahwa kasus kekerasan anak yang melibatkan keluarga ini bersifat tabu. Maka, kasus-kasus seperti ini akan susah bila diungkap ke ruang publik, bahkan oleh peneliti sekalipun.
ADVERTISEMENT
Langkah yang mesti ditingkatkan yaitu perihal kesadaran diri masyarakat, yaitu masyarakat harus mempunyai kesadaran dan tingkat kepekaan tinggi merespons kasus kekerasan anak.
Kekerasan yang dilakukan orang tua kepada anak bilamana tidak sampai kematian, akan sulit untuk diungkap. Kasus yang sama biasanya muncul dalam media berita nasional, bahwa kasus kekerasan akan muncul ke publik bilamana korban sudah dalam keadaan wafat/meninggal dunia.
Hal ini muncul karena kurangnya kontrol sosial sehingga menyebabkan keluarga korban/kerabat dekat korban memilih untuk menutup diri dan tidak melaporkan kasus tindak kekerasan tersebut.
Dengan demikian, orang tua yang mengambil peran utama harus mampu mendidik anak dengan berbagai metode-metode lain agar anak tidak merasa berada di dalam ancaman.
ADVERTISEMENT
Selain menggunakan cara lain, pembahasan mengenai tulisan ini, berlaku pula untuk lembaga perlindungan anak, orang tua, maupun pihak-pihak lain yang memiliki peran melindungi anak agar kasus tindak kekerasan bisa diminimalisasi.
Live Update