Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
Konten dari Pengguna
Memahami Perspektif Seorang Bystander: Jika Memilih Diam, Aktiflah dalam Diam
15 Desember 2020 20:35 WIB
Tulisan dari Firzaputri Maulida Maharani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Manusia pada harfiahnya adalah homo socius, makhluk yang tidak dapat lepas dari bantuan sesamanya. Tolong menolong sudah menjadi hal tak terpisahkan dalam kehidupan ini, bahkan sejak lahir pun kita telah mendapat pertolongan dari orang lain. Tetapi, akankah kita melakukan sikap tolong menolong ini? Akankah kita menolong orang lain secara spontan di kala kita dihadapkan dengan situasi yang genting? Contohnya, sesimpel merespon perkataan teman di group chat yang sedang membutuhkan bantuan, hingga insiden yang lebih menegangkan lagi― melihat sebuah insiden perundungan di sekolah, pencurian, kecelakaan, bahkan pembunuhan? Alih-alih menolong, sebagian besar dari kita pasti memilih diam dan hanya mengamati kejadian. Kenyataan tersebut memang terkesan apatis nan egois, namun fenomena ini benar adanya. Kira-kira, apa dan mengapa hal tersebut dapat terjadi kepada kita, bahkan tanpa bermaksud untuk mengacuhkan korban? Fenomena seperti ini dikenal dengan istilah Bystander Effect.
ADVERTISEMENT
Bystander Effect merupakan istilah psikologi sosial yang merujuk kepada suatu kondisi dimana seseorang hanya menjadi penonton dan memilih untuk tidak ikut campur saat individu lain berada di kondisi genting (Sullivan, 2012). Istilah ini mulanya muncul karena suatu penelitian yang dilakukan oleh John M. Darley dan Bibb Latané pada tahun 1968 terhadap kasus pembunuhan Kitty Genovese di tahun 1964. Saat itu, diketahui bahwa 38 tetangga Kitty tidak ada yang berani untuk campur tangan atau sekedar untuk menelepon polisi, padahal sang pembunuh butuh waktu sekitar lebih dari satu setengah jam untuk menghabisi nyawa Kitty (Darley & Latané, 1968).
Berdasarkan pemaparan Darley & Latané pada 1970 (dalam Hortensius & Gelder, 2018) terdapat tiga faktor psikologis yang melatarbelakangi seseorang menjadi sosok bystander, yaitu: penyaluran tanggung jawab, maksudnya saat lebih banyak orang lain di tempat kejadian, seorang individu akan merasa ‘tidak terlalu’ memiliki tanggung jawab untuk membantu korban dalam suatu permasalahan atau insiden. Kemudian, pemberian evaluasi yaitu ketika kita melakukan sesuatu di depan orang lain, kita khawatir akan penilaian orang lain atau singkatnya takut dievaluasi. Terakhir, ketidakpedulian secara umum dimana saat melihat suatu insiden dan tidak ada orang lain yang menolong korban, kita akan cenderung menganggap bahwa si korban sebetulnya tidak dalam situasi yang benar-benar butuh bantuan.
ADVERTISEMENT
Ketiga faktor psikologis di atas menunjukkan bahwa memutuskan menjadi penonton dan diam saja saat menyaksikan sebuah insiden sebetulnya dipengaruhi oleh kehadiran orang lain, dan hal ini juga terjadi dalam proses berpikir otak kita. Sebuah riset neurosains yang dilakukan oleh Hortensius dan de Gelder (2014) bertujuan untuk mengetahui pengaruh besarnya jumlah kelompok terhadap aktivitas saraf saat menyaksikan keadaan darurat. Pertama-tama, sejumlah 17 partisipan diperintahkan untuk berjalan begitu saja di suatu tempat dan tiba-tiba seorang perempuan (sudah diatur sebagai bagian dari penelitian) pingsan di pinggir jalan. Jumlah pejalan kaki tersebut dibuat bervariasi, mulai dari 1, 2, sampai 4 orang. Setelah itu, partisipan juga melakukan tes penamaan warna, dimana dalam suatu potongan film disajikan 3 titik dan mereka harus menyebutkan apakah 3 titik tersebut memiliki warna berbeda. Tes penamaan warna ini bertujuan untuk mengetahui apakah peserta tetap tidak memahami tujuan penelitian dan sebagai pengendali agar tidak terjadi perbedaan perhatian peserta dalam proses berpikirnya. Hasil menunjukkan bahwa terdapat penurunan aktivitas otak yang mengatur perilaku persiapan membantu (girus frontal medial kiri, girus postcentral kiri, dan meluas hingga girus precentral) di saat seorang individu menjadi pengamat wanita pingsan tersebut bersama orang lain. Selain itu, area otak yang berfungsi dalam pemrosesan persepsi dan perhatian visual meningkat saat terjadi peningkatan jumlah individu. Berdasarkan penelitian tersebut, seseorang cenderung untuk tidak merasa harus menolong seseorang yang mengalami kesulitan saat terdapat kehadiran orang lain di tempat yang sama. Namun, adanya situasi yang ramai memang membuat individu menaruh perhatiannya saat terjadi sebuah insiden.
ADVERTISEMENT
Selain pengaruh kehadiran orang lain, proses kognitif kita dalam menjadi bystander tentu tidak dapat terlepas dari faktor internal. Menurut penelitian McNaughton & Corr pada tahun 2004 (dalam Hortensius & de Gelder, 2018) menyatakan bahwa adanya hambatan perilaku diatur dalam daerah subkortikal otak, contohnya amygdala dan daerah kortikal otak seperti daerah motorik dan prefrontal. Penelitian lain yang dilakukan oleh Stoltenberg dkk., (2013) juga menyatakan bahwa ada hubungan antara polimorfisme genetik umum dalam sistem neurotransmitter serotonin (5-HT) dengan pelaku prososial (perilaku membantu secara sukarela) yang sebagian diperantara oleh kecemasan sosial. Ini menunjukkan bahwa sikap apatis dapat dipengaruhi oleh kepribadian dan merupakan sebuah tindakan refleks (Hortensius & de Gelder, 2018).
Berdasarkan berbagai penelitian para ahli, dapat disimpulkan bahwa sebetulnya perilaku “hanya menjadi pengamat” merupakan hal yang wajar sebagaimana ini adalah respon refleks dan alami dari sistem berpikir kita. Namun, kewajaran ini tidak dapat kita jadikan sebuah alasan untuk terus-terusan menjadi seorang bystander yang apatis dan pasif. Mungkin kita bukanlah seorang ahli penyelamat orang lain sejenis pemadam kebakaran ataupun tim SAR, tetapi ingatlah bahwa sesederhana apapun yang kita lakukan dapat mengubah kehidupan seseorang. Apa yang kira-kira bisa kita lakukan?
ADVERTISEMENT
Menjadi sosok bystander aktif adalah suatu hal baik yang dapat kita lakukan. Bystander sesuai definisinya memanglah seorang pengamat tanpa melakukan sesuatu. Tetapi, kita dapat membuat perubahan dengan menjadi pengamat yang aktif. Misalkan, dari hasil pengamatan kita terhadap suatu insiden, kita dapat bergerak dengan menelepon pihak berwajib untuk dapat menindaklanjuti kejadian tersebut. Sebagaimana dilansir dari Psychology Today, perkataan semudah “Berhenti untuk melakukan itu,” atau “Bantuan akan segera datang” dapat mencegah kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Selain itu, menurut New York State (dalam RapidSOS, 2016), menarik perhatian dengan mengajak orang lain untuk menghentikan suatu situasi yang gawat juga mampu menghentikan si pelaku dalam bertindak lebih jauh — selama hal tersebut tidak membahayakan, baik untuk diri sendiri, korban, dan orang lain. Terakhir, berlatih mindfulness menurut Bergley (2020) membuat kita memiliki kemampuan kecerdasan emosional, seperti menghadapi suatu permasalahan daripada kabur menghindarinya (rather fight than flight).
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Bergley, S. (2020). The Science of the Bystander Effect. https://www.mindful.org/the-science-of-the-bystander-effect/
Darley, J. M., & Latané, B. (1968). Bystander Intervention in Emergencies: Diffusion of Responsibility. Journal of Personality and Social Psychology, 8(4 PART 1), 377–383. https://doi.org/10.1037/h0025589
Hortensius, R., & de Gelder, B. (2018). From Empathy to Apathy: The Bystander Effect Revisited. Current Directions in Psychological Science, 27(4), 249–256. https://doi.org/10.1177/0963721417749653
Hortensius, R., & De Gelder, B. (2014). The neural basis of the bystander effect - The influence of group size on neural activity when witnessing an emergency. NeuroImage, 93(P1), 53–58. https://doi.org/10.1016/j.neuroimage.2014.02.025
Looi, L. (2013). Bystander Effect. behance.net. mir-s3-cdn-cf.behance.net/project_modules/disp/3f1a1511377463.560f6bdb54e69.jpg
Psychology Today. (n.d.). Bystander Effect. Retrieved December 14, 2020, from https://www.psychologytoday.com/intl/basics/bystander-effect
ADVERTISEMENT
RapidSOS Team. (2016). How to become an active bystander. https://rapidsos.com/our-latest/how-to-become-an-active-bystander/
Stoltenberg, S. F., Christ, C. C., & Carlo, G. (2013). Afraid to help: Social anxiety partially mediates the association between 5-HTTLPR triallelic genotype and prosocial behavior. Social Neuroscience, 8(5), 400–406. https://doi.org/10.1080/17470919.2013.807874
Sullivan, L. (2012). Bystander Effect. The SAGE Glossary of the Social and Behavioral Sciences, October. https://doi.org/10.4135/9781412972024.n283