Meninjau Krisis Multidimensional Lebanon Menurut Instrumen HAM Internasional

Fisco Moedjito
Penulis merupakan Mahasiswa Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
7 Oktober 2021 10:48 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fisco Moedjito tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berawal dari Sektarian, Jalan Menuju Jurang Kehancuran?
Potret demonstrasi anti-pemerintah di pusat kota Beirut, Lebanon, pada 20 Oktober 2019. Sumber: Reuters/Mohamed Azzakir

Swiss dari Timur Tengah

ADVERTISEMENT
Julukan ini bukan tanpa alasan, karena dahulu Lebanon terkenal di kawasan Timur Tengah karena kekuatan finansialnya yang relatif stabil dan juga pernah menjadi pusat perbankan terpenting bagi banyak negara Arab, utamanya pada sekitar dekade 1950-1960-an. Ibukotanya, Beirut, juga pernah dijuluki sebagai "Paris dari Timur Tengah" lantaran banyak sekali wisatawan yang berkunjung ke sana, terutama dari orang-orang kaya Arab, untuk liburan sekaligus berbisnis. Namun, itu semua adalah cerita lama, ketika Lebanon masih aman, nyaman, dan makmur, yakni saat konstitusi negara ini dapat mewadahi distribusi demografis dari aliran-aliran keagamaan di sana, seperti Kristen (Maronit, Ortodoks, Katolik Roma, Protestan, dsb.) dan Islam (Sunni, Syiah, Alawite, Druze, dsb). Jika dihitung berdasarkan persebaran demografis, terdapat sekitar 18 (delapan belas) golongan/sekte yang diakui di negeri ini. Karena keunikan demografis inilah, Lebanon juga terkenal dengan praktik politik sektariannya yang yang awalnya dimaksudkan untuk mengakomodasi semua golongan yang ada di Lebanon. Namun, dalam beberapa dekade belakangan ini, Lebanon tengah mengalami krisis multidimensional. Mulai dari penyimpangan praktik politik sektarian sampai pecahnya perang saudara sekitar rentang waktu 1975-1990. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan maraknya korupsi di antara elite pemerintahan Lebanon dan dibungkamnya kebebasan berpendapat secara damai (peaceful speech) dengan alasan “pencemaran nama baik".
ADVERTISEMENT

Krisis Ekonomi dan Gelombang Kemiskinan

Tidak berhenti sampai di situ saja, Lebanon saat ini juga mengalami krisis ekonomi dan gelombang kemiskinan yang cukup parah sejak tiga dekade terakhir, yang di mana kondisi ini membawa jutaan rakyatnya berada dalam kemiskinan. Berdasarkan keterangan dari United Nations Resident and Humanitarian Coordinator for Lebanon (Koordinator Urusan Kemanusiaan PBB untuk Lebanon), Najat Rochdi, data PBB per Oktober 2021 memperkirakan bahwa sekitar 78% dari masyarakat Lebanon hidup di bawah garis kemiskinan -sekitar tiga juta orang- dengan 36% di antaranya berada pada tingkat kemiskinan yang ekstrem. Sekitar hampir seperempat dari populasi keseluruhan di Lebanon -sebagai catatan, populasi keseluruhan di Lebanon per sensus 2018 adalah sekitar 6,86 juta penduduk, belum termasuk pengungsi dari Palestina dan Suriah- tidak bisa lagi mengakses kebutuhan pokok sementara barang-barang seperti makanan pokok menjadi tidak terjangkau sejak akhir tahun 2020 lalu. Bahkan, prediksi dari pakar-pakar ekonomi menyebutkan bahwa krisis yang terjadi di Lebanon kurang lebihnya sama dengan Venezuela dengan beberapa aspek yang dapat dikatakan jauh lebih buruk. Kondisi perekonomian tersebut semakin diperparah dengan korupsi yang menjangkiti masyarakat di Lebanon, yang di mana parlemen, partai-partai politik, dan kepolisian dianggap sebagai "lembaga terkorup di Lebanon". Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi Edisi 2019 yang dikeluarkan Transparency International, Lebanon berada di peringkat 137 dari 180 negara, di mana peringkat 180 menjadi yang terburuk.
ADVERTISEMENT

Krisis Kesehatan

Potret apotek-apotek yang tutup di Lebanon selama pemogokan nasional untuk memprotes kekurangan obat yang parah pada 9 Juli 2021. Sumber: AFP-Middle East Eye.
Selain dari sektor perekonomian nasional, sektor kesehatan pun juga terkena dampaknya, bahkan diperparah dengan pandemi virus Covid-19. Laporan dari Direktur World Health Organization (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, yang berkunjung ke fasilitas kesehatan di Beirut pada 16 September 2021, menyatakan bahwa selama berbulan-bulan, rak-rak apotek kosong, dan hal ini semakin diperburuk dengan konsumen yang panik membeli dan menimbun pasokan obat serta distributor yang menahan pasokan obat dengan harapan dapat menjualnya lebih mahal lagi ketika pemerintah mencabut subsidi. Rumah sakit sudah berada di titik terlemah, kesulitan untuk beroperasi sementara. Selain itu, tidak ada bahan bakar untuk generator listrik dan mesin medis. Pemerintah yang tidak memiliki uang kesulitan mengimpor kebutuhan dasar. Kelangkaan obat mengancam puluhan ribu orang termasuk pasien-pasien kanker. Tenaga medis masih berusaha mencari alternatif untuk memenuhi pasokan obat yang tidak ada. Laporan juga menyebutkan puluhan ribu dokter dan perawat meninggalkan Lebanon untuk mencari kesempatan yang lebih baik. Tedros Adhanom bahkan sampai mengatakan bahwa krisis kesehatan di Lebanon sudah parah, dan enam juta populasi negara itu termasuk satu juga pengungsi Suriah dan Palestina harus secepatnya membutuhkan bantuan dan pembangunan untuk mengatasi kelangkaan bahan bakar, obat-obat dan masalah struktural lainnya seperti perpindahan tenaga medis.
ADVERTISEMENT

Ledakan di Beirut

Potret dari sebuah drone yang menunjukkan kerusakan akibat ledakan yang terjadi di dekat pelabuhan Beirut, Lebanon, pada 4 Agustus 2020. Sumber: AP Photo/Hussein Malla.
Puncaknya, peristiwa ledakan gudang penyimpanan di dekat pelabuhan Beirut pada 4 Agustus 2020 lalu juga semakin menunjukkan kekecewaan publik terhadap pemerintah. Masyarakat menuding bahwa korupsi, pengabaian, dan salah urus pemerintah menjadi penyebab ledakan tersebut. Gudang penyimpanan yang berisi 2.750 ton amonium nitrat tersebut berada di dekat pelabuhan, pemukiman, dan fasilitas publik, dan selama enam tahun gudang itu tidak terurus dengan layak. Ledakan tersebut, dilaporkan Human Rights Watch, menyebabkan tewasnya sedikitnya 218 jiwa, lebih dari 7.000 orang luka-luka, sedikitnya 300.000 orang kehilangan tempat tinggal, dan banyak fasilitas umum yang rusak, seperti pelabuhan dan rumah sakit. Dilansir dari BBC, ledakan ini dapat menyebabkan risiko kekurangan pangan yang parah karena 85% pasokan makanan utama diimpor melalui pelabuhan, dan faktanya saat ini Lebanon telah sedang mengalaminya. Sementara itu, efek ledakan menyebabkan beberapa rumah sakit rusak, mulai dari kerusakan ringan sampai parah, yang menyebabkan penyediaan layanan kesehatan publik menjadi terganggu.
ADVERTISEMENT

Apa Sebenarnya Politik Sektarian Itu?

Suasana Pemilihan Juru Bicara Parlemen pada 8 November 2020. Nabih Berri, politisi Syiah, kembali terpilih dengan 98 suara dukungan, 29 tidak setuju, dan 1 gugur, dari total 128 suara. Sumber: AP Photo/Hassan Ibrahim.
Bila ditarik dari sisi historis, Lebanon terdiri dari berbagai golongan keagamaan, dengan Kristen sebagai golongan mayoritas (terutama Kristen Maronit) dengan menyumbang 51% dari total populasi, kemudian diikuti Islam (terutama Islam Sunni) sebagai golongan terbesar kedua dengan menyumbang 42% dari total populasi. Sisanya diisi oleh beragam golongan, salah satunya Yahudi. Kondisi demografis yang beragam itulah yang kemudian mendorong sistem pemerintahan demokrasi konsosiasional yang menerapkan praktik politik sektarian, yang pada awalnya bertujuan untuk memastikan semua golongan di Lebanon mendapatkan posisinya di pemerintahan secara proporsional. Politik sektarian ini sudah disetujui dalam Pakta Nasional 1943, dengan komposisi sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Awalnya, praktik politik sektarian ini berjalan dengan baik, bahkan Lebanon sempat tidak terpengaruh dengan konflik Arab-Israel yang tengah berkecamuk. Sayangnya, situasi ini tidak bertahan lama, karena pada waktu itu, praktik politik sektarian yang diberlakukan tidak mempertimbangkan perubahan demografis di masa depan. Sistem politik ini “mengusahakan” untuk menjadikan golongan Kristen sebagai pemegang posisi pemerintahan terbanyak di Lebanon. Masalahnya, ketika populasi Islam dan golongan lainnya meningkat, mereka merasa bahwa kepentingan mereka tidak diakomodasi oleh sistem pemerintahan yang ada. Hal ini menjadi salah satu di antara banyak penyebab meletusnya perang saudara pada rentang waktu 1975-1990.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, reformasi politik sektarian diberlakukan pada tahun 1989 melalui Perjanjian Taif, perjanjian yang sekaligus mengakhiri perang saudara. Representasi dalam parlemen diubah menjadi 50:50 untuk Kristen dan Islam. Namun, dalam praktik lanjutannya, para elite yang dahulunya terlibat dalam perang saudara kemudian menjadi bagian dalam sistem pemerintahan, hanya menggunakan jabatan mereka untuk kepentingan politik dan ekonomi masing-masing. Politik ini hanya untuk menguatkan identitas masing-masing kelompok, dan sistem ini terkesan membatasi orang-orang yang berkompeten yang ingin masuk ke sektor publik hanya karena dia berasal dari golongan ‘tertentu’, apalagi berasal dari sekte minoritas, misalnya Syiah atau Druze. Politik semacam ini hanya akan melegitimasi ‘diskriminasi yang terstruktur, sistematis, dan masif’.
Penyimpangan politik sektarian ini pernah dirasakan Samir Hamdan (bukan nama sebenarnya), dilansir dari Foreign Policy pada Desember 2019, seorang arsitek yang gagal menembus seleksi arsitek untuk Angkatan Bersenjata Lebanon hanya karena dia berasal dari golongan Druze, meskipun dia adalah arsitek yang berkompeten dan berhasil mencapai seleksi tahap akhir. Menurutnya, banyak sekali calon pendaftar yang nilainya mungkin lebih rendah darinya tapi bisa diterima seleksi, sedangkan dirinya tidak. Angkatan Bersenjata memang sudah menegaskan bahwa terdapat pembatasan kuota dan hanya bisa diisi oleh golongan-golongan agama tertentu, yang di mana pembatasan kuota ini belum tentu mewakili peta demografi dari Lebanon itu sendiri. Bagi Hamdan, kuota untuk golongannya asalkan terisi dulu, kompeten atau tidaknya itu urusan nanti.
ADVERTISEMENT

Politik Sektarian dan Pembungkaman Kebebasan Berpendapat Ditinjau dari Instrumen HAM Internasional

Berdasarkan latar belakang dari politik sektarian itu sendiri, politik sektarian, menurut para elite pemerintahan Lebanon, yang dikatakan memiliki konsep yang bagus untuk mengakomodasi kepentingan politik berbagai golongan, tetapi malah dipraktikkan secara menyimpang, kemudian diperparah dengan dibungkamnya kebebasan berpendapat, menurut saya sangat bertentangan dengan beberapa instrumen hukum HAM internasional, khususnya International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) -tentang hak-hak sipil dan politik- dan International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (ICERD) -tentang pemberatasan segala jenis diskriminasi rasial-, yang ironisnya Lebanon bahkan telah meratifikasi dan memberlakukannya secara nasional masing-masing pada tahun 1972 dan 1971.
Menurut saya, politik sektarian ini termasuk dalam diskriminasi hak-hak politik berdasarkan agama dan golongan, yang pada prinsipnya juga merupakan bagian dari diskriminasi rasial, yang lebih lanjut diatur dalam ICERD. Perlu diingat bahwa ICERD telah menegaskan dalam preambulnya bahwa tidak ada justifikasi untuk diskriminasi ras, baik berupa teori maupun praktik, dimanapun dan kapanpun. Dengan kata lain, dari prinsip yang sudah ditegaskan tersebut, selain diakui sebagai hukum kebiasaan internasional, juga diakui sebagai norma ius cogens, karena norma tersebut memiliki kaitan langsung dengan kepentingan masyarakat banyak. Dengan diratifikasinya dan diberlakukannya ICERD secara nasional oleh Lebanon, hal itu juga berarti bahwa pemerintah sudah berkomitmen untuk menjamin bahwa tidak akan ada diskriminasi rasial dalam bentuk apapun. Hal senada juga disebutkan dalam Artikel 26 ICCPR yang juga mengandung prinsip non-diskriminatif, di mana semua orang sama di mata hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama, tanpa adanya diskriminasi. Dalam hal ini, hukum yang berlaku harus melarang praktik diskriminasi dan harus menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi setiap orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau perbedaan pendapat, asal-usul kebangsaan atau sosial. Tetapi, pada kenyataannya, sistem pemerintahan dan praktik di antara para elitenya lah yang juga menyimpangi ICERD dan ICCPR. Padahal, ius cogens, menurut Konvensi Wina 1969, tidak boleh dikesampingkan dan dikecualikan dalam keadaan apapun itu, dan hanya dapat dimodifikasi olehnorma dasar hukum internasional yang memiliki sifat yang kurang lebihnya sama. Dengan kata lain, sistem pemerintahan Lebanon yang mempraktikkan politik sektarian ini bertentangan dengan ius cogens.
ADVERTISEMENT
Selain penyimpangan praktik politik sektarian, permasalahan lain yang dihadapi Lebanon adalah korupsi dari para elite pemerintahannya yang menyebabkan kemerosotan ekonomi serta krisis politik yang makin menjadi-jadi. Namun, yang menjadi masalah adalah, dalam beberapa tahun terakhir, UU Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Lebanon telah digunakan terhadap jurnalis, aktivis, dan warga negara lain yang telah menulis tentang korupsi oleh pejabat publik, melaporkan pelanggaran oleh badan-badan keamanan, mengkritik situasi politik dan ekonomi saat ini, atau mengekspos pelecehan terhadap populasi yang rentan. Memberitakan hal-hal tersebut dianggap sebagai “pencemaran nama baik”. Padahal, Konstitusi Lebanon telah menjamin kebebasan berekspresi “dalam batas-batas yang ditetapkan oleh hukum,” dan Artikel 19 ICCPR yang diratifikasi Lebanon pada tahun 1972, telah menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi. Hak ini mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan gagasan dalam segala jenis, tanpa memandang batas-batas, baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk karya seni atau melalui media lain pilihannya. Dengan kata lain, masyarakat berhak pula mengetahui apa yang pemerintah lakukan melalui pemberitaan di media massa agar tercipta transparansi dan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, ICCPR sendiri mengizinkan negara-negara untuk menyimpangi kebebasan berekspresi, tetapi harus memperhatikan batasan-batasan yang ketat. Artikel 19 (3) ICCPR menegaskan bahwa pembatasan kebebasan berekspresi dapat dilakukan terhadap hal-hal berikut apabila diperlukan: (a) dengan alasan menjaga martabat, dan (b) perlindungan keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan publik atau moral. Catatan penting mengenai Artikel ini ditambahkan dalam Komentar Umum Komite HAM PBB No. 34 Tahun 2011, bahwa pembatasan kebebasan berpendapat tersebut tidak seharusnya mencederai hakikat dari hak kebebasan pendapat itu sendiri. Pembatasan-pembatasan itu haruslah memenuhi syarat-syarat berikut: (a) jelas diatur dalam hukum yang berlaku; (b) memiliki tujuan yang jelas dalam mencapai tujuan dalam Artikel 19 (3); dan (c) harus proporsional antara pembatasan dengan tujuan yang akan dicapai.
ADVERTISEMENT
Pada kenyataannya, pembatasan yang dilakukan pemerintah Lebanon sendiri semakin tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Artikel 19 (3) ICCPR. Bahkan ketika UU Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik tersebut didasari oleh niat pembuat undang-undang untuk mendorong orang menjalankan kebebasan berekspresi secara bertanggung jawab, UU tersebut tetap saja berpotensi menimbulkan risiko yang sangat signifikan untuk melanggar prinsip-prinsip legalitas, proporsionalitas, keadilan, dan kebermanfaatan.
Lagipula, dalam Komentar Umum Komite HAM PBB No. 34 Tahun 2011 kembali menegaskan bahwa “semua tokoh publik, termasuk mereka yang menjalankan otoritas politik tertinggi seperti kepala negara dan pemerintahan, secara sah dapat dikritik dan oposisi politik.” Dan dalam komentar umum tersebut ditegaskan pula bahwa pemenjaraan tidak pernah menjadi hukuman yang pantas untuk "pencemaran nama baik".
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, ketika UU Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Lebanon menciptakan “efek mengerikan” yang secara efektif membatasi baik ucapan yang sah maupun yang berbahaya, undang-undang tersebut tidak hanya melanggar hak atas kebebasan berekspresi tetapi juga dapat merusak hak asasi manusia lainnya. Misalnya, UU Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik berpotensi membahayakan hak atas kebebasan informasi dan untuk berpartisipasi dalam urusan publik. Selain itu, UU ini juga dapat mengganggu pelaksanaan hak warga negara untuk berkumpul secara damai; membentuk, bergabung, atau berpartisipasi dalam dan berkomunikasi dengan asosiasi; mengetahui, mencari, atau memperoleh informasi tentang hak asasi manusia dan kebebasan dasar; dan mempublikasikan, mendiskusikan, atau sebaliknya, memberikan informasi tersebut.. Hak-hak ini sangat penting dalam masyarakat demokratis, sebagaimana dicatat oleh Komite HAM PBB dalam Komentar Umum No. 25 Tahun 1996.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Meskipun Lebanon telah meratifikasi beberapa konvensi internasional, dan Konstitusi Lebanon telah berusaha menjamin akan menegakkan dan melindungi kebebasan berpendapat, akan tetapi pada kenyataannya, masih terdapat banyak sekali penyimpangan dalam berbagai sektor, dimulai dari penyimpangan politik sektarian, yang menyebabkan Lebanon berada dalam krisis, bahkan menurut prediksi beberapa pakar ekonomi menyebutkan bahwa Lebanon akan berakhir seperti Venezuela sebagai negara gagal (failed state). Apabila krisis multidimensional ini tidak segera diatasi, negara yang dahulu disebut Swiss dari Timur Tengah ini akan hanya tinggal kenangan.
Beberapa hal yang mungkin dapat dilakukan pemerintah Lebanon saat ini untuk menghadapi krisis adalah, dimulai dari mengubah sistem kuota sektarian menjadi lebih sistem pemerintahan yang demokratis, sehingga setiap warga negara memiliki hak politik yang sama, karena posisi pemerintahan akan diisi bukan berdasarkan asal golongan mereka, melainkan atas dasar kompetensi. Kemudian, pemerintah Lebanon harus dapat membangun kepercayaan publik dan bentuk kontrak sosial baru di mana warga negara adalah aktor yang aktif dan bertanggung jawab dalam masyarakat daripada subjek yang bergantung pada sekte pemimpin. Lalu, pemerintah Lebanon haruslah meningkatkan transparansi dan memperkuat rule of law, serta mendorong inklusi sosial, politik, dan ekonomi.
ADVERTISEMENT