Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Jangan Asal Protes! Beli Makanan di Restoran Tidak Dikenai PPN
5 Februari 2025 15:15 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Fista Aulia Rahmawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Makanan sebagai salah satu objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (Sumber: Penulis)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkaj6003mevnwjp4rn5q5kmw.jpg)
ADVERTISEMENT
Akhir tahun yang lalu, masyarakat dihebohkan dengan adanya kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Hal ini juga memancing beberapa warganet dengan mengunggah keresahannya mengenai kenaikan PPN terhadap pembelian makanan di restoran, salah satunya adalah unggahan pada akun X @ErsaTriWahyuni pada 16 November 2024 yang lalu. “Setuju banget ini. Hidup hemat dan bersahaja. Males banget bayar PPN sampai 12% tahun depan yaaa… asli deh males makan di resto dan cafe krn ada PPN dan service”, tulisnya. Apakah ada yang salah dari tulisan tersebut?
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, atas pembelian makanan dan/atau minuman yang dibeli dari restoran maupun kafe tidak dikenakan PPN. Sehingga, cuitan di atas tidak lah benar karena telah terjadi miskonsepsi antara PPN dengan pajak yang dikenakan atas makanan di restoran tersebut. Sang pemilik akun juga telah dikoreksi oleh warganet lain dan mengunggah ulang koreksi tersebut.
Apakah miskonsepsi hanya sampai sini saja? Tentu tidak.
Pada media sosial yang lain, Tiktok, terdapat unggahan serupa yang dilakukan oleh akun @jajanapaajalah pada 4 Januari 2025 lalu. Unggahan tersebut hanya sebuah struk pembelian siomay namun terdapat hal yang cukup unik. Terdapat tulisan PPN 12% yang dikenakan atas pembelian siomay tersebut. Unggahan tersebut cukup viral sampai dilihat oleh 187 ribu pasang mata. Padahal, untuk jenis pajak yang seharusnya dikenakan tarif maksimalnya hanya sampai 10%.
ADVERTISEMENT
Adanya dua unggahan di atas merupakan tanda bahwa masih terdapat masyarakat yang belum atau salah mengerti mengenai perbedaan kedua jenis pajak di atas. Seperti yang sudah sempat disinggung di atas, bahwa apabila kita dikenakan pajak pada saat membeli makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh restoran, pungutan tersebut bukan merupakan PPN, namun disebut dengan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).
Menggali Perbedaan PPN dan PBJT
Sebelum membahas lebih lanjut, perlu diketahui bahwa pembagian pajak di Indonesia terbagi menjadi dua, pajak pusat dan pajak daerah. Seperti namanya, pajak pusat merupakan pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat, atau yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sedangkan pajak daerah, merupakan pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah, baik Kabupaten/Kota atau Provinsi. Dalam hal ini, PPN termasuk dalam pajak pusat, sedangkan PBJT termasuk pajak daerah, yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota.
ADVERTISEMENT
Adanya perbedaan jenis pajak ini juga diatur oleh undang-undang yang berbeda. Dalam pengenaannya, pajak pusat diatur pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Di sisi lain, pajak daerah diatur pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
PBJT merupakan pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu. Transaksi yang dikenakan PBJT meliputi penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi: makanan dan/atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, dan jasa kesenian dan hiburan. Sehingga, diatur jelas bahwa makanan dan/atau minuman secara khusus menjadi objek pajak PBJT. Berbeda dengan pengertian PPN yang hanya secara umum dikenakan atas semua penyerahan barang dan/atau jasa. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemungutan PPN akan dilakukan pada setiap transaksi dalam rantai produksi dan distribusi. Meskipun begitu, pada akhirnya yang menanggung PPN adalah konsumen akhir, sama seperti pengenaan PBJT.
ADVERTISEMENT
Apakah suatu makanan bisa dikenakan pajak atas PPN dan PBJT sekaligus?
Tentu saja tidak. Dalam UU HPP, tertulis bahwa makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, termasuk yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah tidak dikenai PPN. Kriteria ini sangat sesuai dengan kriteria pengenaan PBJT pada makanan dan/atau minuman yang ada pada UU HKPD. Di mana menurut UU HKPD, terdapat kriteria tertentu di mana PBJT dapat dikenakan atas penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman. Yaitu, yang disediakan oleh:
a. restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian makanan dan/atau minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
ADVERTISEMENT
b. penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
1) proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
2) penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
3) penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
Adanya ketentuan di atas menjamin agar tidak terjadi pengenaan pajak lebih dari satu kali atas objek pajak yang sama. Dalam konteks ini, yaitu apabila suatu transaksi penjualan makanan dan/atau minuman sudah dikenakan PBJT, maka tidak mungkin dikenakan PPN. Namun, perlu diketahui bahwa terdapat beberapa pengecualian, salah satunya adalah penyerahan makanan dan/atau minuman yang dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak hanya menjual makanan dan/atau minuman. Misalnya, kita membeli roti yang terdapat pada supermarket atau minimarket. Sudah dapat dipastikan bahwa transaksi tersebut tidak seharusnya dikenakan PBJT.
ADVERTISEMENT
Selain perbedaan-perbedaan yang telah diuraikan di atas, masih ada perbedaan di antara PPN dan PBJT. Kedua pajak ini dikenakan dengan tarif yang berbeda. Tarif PBJT hanya dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 10% yang ditetapkan oleh masing-masing Peraturan Daerah (Perda). Sehingga, masing-masing daerah Kabupaten/Kota dapat menentukan sendiri tarif pengenaan PBJT selama masih berada di bawah 10%. Berbeda dengan PPN yang memiliki tarif yang sama pengenaannya, yaitu sebesar 12% mulai 1 Januari 2025 ini. Namun, ada yang unik juga pada pengenaan tarif ini. Terdapat dua penggolongan barang yang dikenakan, yaitu barang yang tergolong mewah dan tidak. Bagi barang yang tergolong mewah, tarif 12% merupakan tarif efektif pengenaan PPN. Namun, jika barang yang dikenakan PPN bukan tergolong barang mewah, perhitungannya dengan mengenakan tarif 12% kemudian dikalikan dengan 11/12. Sehingga didapatkan tarif efektif untuk barang yang tidak tergolong barang mewah sebesar 11%.
ADVERTISEMENT
Rekomendasi untuk Menghindari Salah Persepsi
Adanya salah persepsi seperti yang terjadi pada unggahan di atas harus mendapatkan perhatian yang lebih oleh pemerintah. Selama ini, pemerintah pusat maupun daerah seperti dua organisasi yang terpisah dan hanya berfokus untuk menyelesaikan tugas masing-masing. Padahal, pemerintah pusat dan daerah seperti hubungan kakak adik yang meskipun berbeda, tetap memiliki pemikiran dan tujuan yang sama, yaitu untuk menghimpun penerimaan.
Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah untuk dapat memberikan edukasi perpajakan kepada masyarakat, terutama mengenai PPN dan PBJT. Agar di kemudian hari, tidak terjadi lagi miskonsepsi antara dua jenis pajak tersebut, baik dari sisi pembeli maupun penjual. Salah satu contohnya adalah dengan adanya sosialisasi yang diselenggarakan bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Selain penyelenggaraan sosialisasi, edukasi juga dapat dilakukan melalui surat kabar. Surat kabar seperti koran kini dapat diakses secara daring maupun luring sehingga juga dapat menjangkau lebih banyak pembaca, baik dari usia muda sampai tua. Pilihan lain yang dapat digunakan adalah melalui media sosial. Pada media ini, pemerintah dapat lebih fokus untuk memberikan konten yang berfokus kepada gen Z dan Alpha. Hal ini dikarenakan generasi tersebut menghabiskan lebih banyak waktu pada media sosial, seperti Tiktok, Instagram, atau pun Twitter. Sehingga, konten yang dibuat harus menarik perhatian mereka. Dengan begitu, kegiatan edukasi dapat dilakukan bersama-sama dan dapat menembus ke seluruh lapisan masyarakat di berbagai umur.
ADVERTISEMENT