Pandemi dan Perlunya Perbaikan Sistem Pendidikan Dokter Spesialis di Indonesia

Fistra Janrio Tandirerung
Dokter umum lulusan Universitas Tadulako saat ini bekerja di RS Inco Sorowako. Peraih beasiswa LPDP untuk studi S2 di University College London jurusan Cardiovascular Science
Konten dari Pengguna
7 September 2020 10:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fistra Janrio Tandirerung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dokter Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dokter Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Seperti halnya tenaga kesehatan lainnya pada saat pandemi, dokter residen rentan terhadap beban kerja yang sangat berat dan kelelahan berkepanjangan. Namun, intinya permasalahan bukan soal besarnya gelombang pasien, melainkan sistem pendidikan kedokteran di Indonesia. Dan pandemi COVID-19 telah membuatnya lebih jelas terlihat.
ADVERTISEMENT
Secara umum, program residensi (pendidikan dokter spesialis) Indonesia merupakan sebuah anomali dibandingkan dengan negara lain di dunia. Sejauh yang saya pahami, Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang menjalankan program residensi medis berbasis universitas di mana pendidikan spesialis dikelola oleh universitas. Sebaliknya, dari negara maju seperti Amerika, Inggris atau Jerman hingga negara berkembang seperti Nigeria menerapkan program residensi medis berbasis rumah sakit. Begitu pula dengan negara tetangga kita seperti Filipina, Malaysia atau Singapura. Indonesia tampaknya sendirian di jalurnya sendiri, sistem berbasis universitas.
Di Indonesia, dengan sistem berbasis universitas, dokter residen lebih dianggap sebagai mahasiswa daripada tenaga medis profesional. Oleh karena itu, karena mereka adalah mahasiswa perguruan tinggi, mereka diharuskan membayar SPP setiap semester yang biasanya mencapai puluhan juta rupiah. Oleh karenanya, hanya di Indonesia kita bisa menemukan gelar dokter spesialis yang didapat setelah lulus kuliah. Di kebanyakan negara, baik dokter umum maupun spesialis diberikan gelar yang sama, dokter (MD). Tidak ada gelar spesialis yang tersemat pada nama mereka. Spesialisasi medis lebih seperti pelatihan medis profesional daripada pencapaian akademis seperti master atau doktor.
ADVERTISEMENT
Tidaklah terlalu sulit untuk memahami bahwa sistem residensi medis di negara lain lebih masuk akal karena hampir setiap proses pembelajaran dilakukan di rumah sakit, bukan di ruang kelas atau laboratorium di universitas. Karenanya, residensi medis berbasis rumah sakit merupakan konsep yang lebih dapat diterima daripada sistem berbasis universitas seperti di Indonesia yang cenderung membingungkan namun masih terus diadopsi sampai saat ini.
Di negara lain, dokter residen merupakan sebuah profesi sehingga dokter residen berhak mendapatkan gaji atas jasanya selama menjalani pelatihan medis dari supervisor klinisnya. Situasi yang sama tidak akan terjadi di Indonesia dengan sistem yang sekarang karena mereka dianggap sebagai pelajar. Dari pada menerima gaji, mereka harus membayar universitas setiap semester selama belajar di rumah sakit dan tidak boleh bekerja sebagai tenaga medis profesional sebelum menyelesaikan studi. Oleh karena itu, setiap dokter residen harus memiliki cadangan keuangan yang cukup hingga mereka lulus dari universitas.
ADVERTISEMENT
Dengan sistem saat ini di Indonesia, hanya mereka yang memiliki kemampuan finansial yang kuat yang dapat menempuh pendidikan kedokteran spesialis. Jika tidak, mereka yang ingin menjadi dokter spesialis harus bersaing untuk mendapatkan beasiswa yang jumlahnya sangat terbatas, atau menabung selama bertahun-tahun hingga mereka dapat menutupi biaya sekolah dan biaya hidup selama masa studi mereka.
Oleh karena itu, bisa dibilang lebih mudah bagi para dokter dari keluarga yang memang sudah mapan dan memiliki kekuatan finansial yang kuat untuk mengikuti pendidikan kedokteran di Indonesia daripada mereka yang cemerlang atau berprestasi tetapi dibebani dengan kendala keuangan. Ini mungkin menjawab pertanyaan mengapa ada kelangkaan spesialis yang menonjol di Indonesia dan masalah ketimpangan distribusi dokter spesialis. Oleh karena itu, semakin banyak dokter Indonesia yang pergi ke luar negeri untuk mengikuti program residensi medis karena menunggu cukup lama hingga terkumpul cukup uang atau bekerja selama 5 tahun tanpa dibayar bukanlah pilihan.
ADVERTISEMENT
Contoh nyata kasus dokter residen dari Universitas Sam Ratulangi di Manado, Sulawesi Utara. Selama pandemi COVID-19, para dokter residen juga terpengaruh secara finansial sekaligus menjadi pejuang lini pertama di lapangan. Karenanya, membayar puluhan juta uang sekolah dan biaya hidup tanpa gaji menjadi lebih menyulitkan di masa pandemi. Mereka melakukan demonstrasi untuk mengajukan pengurangan biaya pendidikan yang berakhir dengan tidak adanya solusi yang jelas dari pihak universitas.
Hal ini mendorong mereka ke dalam ketidakpastian karena tetap bekerja tanpa dibayar dan bahkan harus terus menerus membayar biaya pendidikan yang mahal di tengah pandemi tentu saja merupakan hal yang menyulitkan. Kondisi ini bisa dihindari jika Indonesia menerapkan sistem pendidikan spesialis yang sama dengan negara lain.
ADVERTISEMENT
Untungnya, Kementerian Kesehatan Indonesia baru-baru ini meringankan beban mereka dengan memberikan insentif bulanan. Namun, jika sistem pendidikan tidak diperbaiki, tinggal masalah waktu saja sampai muncul masalah lain di kemudian hari.
Saya percaya bahwa mengubah sistem residensi kita dari program residensi berbasis universitas menjadi berbasis rumah sakit adalah perlu. Program residensi berbasis rumah sakit adalah sistem yang umum digunakan di dunia. Sistem ini tidak hanya akan memberikan pendidikan kedokteran spesialis yang lebih inklusif dan terjangkau, tetapi seleksinya juga akan lebih didasarkan pada kemampuan dan kapasitas kandidat dokter spesialis karena kondisi keuangan tidak menjadi bahan pertimbangan. Hal ini pada gilirannya akan memberikan kontribusi bagi perkembangan pelayanan kesehatan kita, terutama di masa-masa sulit seperti pandemi yang hampir tidak terkendali di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Saya memimpikan suatu saat para dokter Indonesia dapat mengambil spesialisasi medis tanpa harus khawatir apakah mereka mampu secara finansial atau tidak selama mereka memenuhi syarat untuk posisi tersebut. Pendidikan kedokteran seharusnya tidak secara eksklusif dimiliki oleh hanya mereka yang memiliki uang atau mampu secara finansial. Dengan demikian, dokter-dokter brilian Indonesia tidak perlu lagi pergi ke luar negeri untuk mengejar impian menjadi dokter terbaik di bidangnya.
Pandemi atau tidak, dokter akan selalu dibutuhkan. Pandemi juga memperingatkan kita bahwa ada yang perlu diperbaiki pada sistem pendidikan kedokteran Indonesia. Hal ini memerlukan perbaikan yang serius untuk mengembangkan sistem kesehatan kita dan untuk menciptakan program spesialisasi medis yang lebih inklusif sehingga setiap orang memiliki kesempatan yang relatif sama untuk mengakses pelatihan atau pendidikan spesialisasi medis untuk mendukung sistem kesehatan Indonesia ke depannya.
ADVERTISEMENT