Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Pandemi dan Hoaks yang Tak Kunjung Usai
13 Agustus 2021 21:56 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Lamria F Manalu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mati satu tumbuh seribu. Peribahasa ini sekiranya tepat untuk menggambarkan fenomena lonjakan hoaks selama pandemi berlangsung di Tanah Air. Upaya take down yang dilakukan Kominfo terhadap hoaks pandemi yang bertebaran di dunia maya seakan tak ada akhirnya. Ketika satu dibasmi, hoaks lain sudah antre, siap menggiring opini masyarakat terhadap situasi pandemi. Hal ini sungguh sebuah ironi mengingat dalam situasi saat ini seyogyanya seluruh pihak berjuang bahu-membahu untuk menanggulanginya.
ADVERTISEMENT
Penanganan hoaks memang sulit karena penyebarannya yang masif. Kejenuhan masyarakat terhadap situasi pandemi yang berlarut-larut turut memperburuk hal ini. Bayangkan saja, hingga hari ini masih ada masyarakat kita yang belum memercayai adanya pandemi. Kita dengan mudah menemukan komentar-komentar yang menunjukkan hal tersebut di media sosial. Kondisi ini turut memengaruhi kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan. Seperti jamur di musim hujan, hoaks tumbuh subur dalam grup-grup percakapan yang tak terbilang jumlahnya di aplikasi pesan. Fatalnya, hoaks sering diterima masyarakat begitu saja tanpa dicermati dahulu kebenaran atau sumbernya.
Apakah masyarakat tidak memiliki akses untuk membedakan mana yang hoaks dan mana yang fakta? Nyatanya, tidak demikian. Misalnya saja, situs covid19.go.id menyediakan menu hoax buster. Jika ingin memastikan kebenaran informasi seputar pandemi, masyarakat dapat mengeceknya di hoaks.infovaksin.id. Salah satu hoaks yang telah diklarifikasi di situs ini (10/08/2021) adalah postingan gambar yang disertai narasi bahwa virus Corona ganas dan mematikan, namun korban tewas akibat COVID-19 selalu di rumah sakit, tidak ada yang meninggal di jalan, rumah, pasar, atau pun sawah. Postingan akun Yon Carlos ini telah beredar di grup SUAYAN GROUP (Facebook).
ADVERTISEMENT
Narasi tersebut terbukti tidak benar. Faktanya, Koordinator Analis Twitter LaporCovid-19, Yerikho Setya Adi, mengatakan bahwa berdasarkan data diketahui sedikitnya 265 pasien Covid meninggal dunia saat melakukan isolasi mandiri di rumah. Data itu dihimpun berdasarkan hasil penelusuran tim LaporCovid19 di sosial media seperti Twitter, berita online, dan laporan langsung warga ke LaporCovid-19. Sejumlah media juga telah memberitakan bahwa telah ditemukan sejumlah korban yang meninggal dunia akibat COVID-19 di luar rumah sakit.
Situs lain yang tak kalah penting untuk mengecek kebenaran suatu informasi adalah kominfo.go.id, khususnya pada menu publikasi (laporan isu hoaks). Sebagaimana dilansir dari situs ini (12/08/2021), telah beredar di media sosial sebuah video yang menyatakan bahwa solusi mengendalikan pandemi adalah herd immunity alami, bukan vaksin. Video tersebut menjelaskan Amerika saat ini sudah mendekati herd immunity dan mayoritas kekebalannya didapat dari alami atau natural herd immunity. Faktanya, berdasarkan klarifikasi dari Kementerian Kesehatan RI, hal itu keliru. Herd immunity atau kekebalan kelompok adalah adanya perlindungan dari penyakit infeksi secara tidak langsung saat mayoritas populasi memiliki kekebalan yang bisa didapat baik dari infeksi alami atau vaksin.
ADVERTISEMENT
Selain dua situs tersebut, masih ada beberapa media yang menyediakan kanal khusus untuk membuktikan hoaks. Artinya, telah tersedia sejumlah opsi bagi masyarakat untuk memastikan kebenaran sebuah informasi. Masyarakat cukup mengecek agar tidak keliru memercayai apalagi sampai menyebarluaskan informasi yang belum terbukti kebenarannya. Jika demikian, mengapa masyarakat masih percaya pada hoaks pandemi yang seolah tak kunjung usai?
Mungkin sebagian masyarakat belum mengetahui informasi tentang situs-situs tersebut. Bisa saja informasi tersebut memang tidak sampai karena kurang disosialisasikan atau malah terlewatkan akibat banjir informasi di dunia maya. Perlu diketahui, menurut laporan perusahaan media asal Inggris (We are Social) yang bekerja sama dengan Hootsuite, rata-rata orang Indonesia menghabiskan 3 jam 14 menit sehari untuk mengakses media sosial. Bayangkan saja berapa banyak informasi yang diserap masyarakat pengguna internet selama durasi waktu tersebut.
ADVERTISEMENT
Harus diakui, penggunaan internet juga berpotensi memperburuk penyebaran hoaks terkait pandemi. Selama pandemi, masyarakat memang dianjurkan untuk berada di rumah saja. Kebijakan Work from Home (WFH) dan pemberlakuan PPKM Mikro, PPKM Darurat, hingga PPKM level 1-4, akan meningkatkan frekuensi penggunaan internet. Alasannya karena mayoritas kegiatan mulai dari pekerjaan, pendidikan, hingga urusan belanja pun dilakukan secara daring. Artinya, peluang untuk terpapar bahkan menyebarluaskan hoaks pun semakin tinggi.
Gilster (1997) mendefinisikan literasi digital sebagai suatu kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dari berbagai informasi digital. Artinya, dalam situasi pandemi dan banjir hoaks di dunia maya yang mengiringinya saat ini, masyarakat harus bersikap kritis dalam menyerap dan mengevaluasi berbagai informasi yang mereka peroleh melalui media digital. Bila dihubungkan dengan empat kompetensi inti yang harus dimiliki seseorang agar dapat dikatakan memiliki literasi digital menurut Gilster, hal ini berkaitan erat dengan kompetensi evaluasi konten informasi (content evaluation) dan penyusunan pengetahuan (knowledge assembly).
ADVERTISEMENT
Selain kompetensi literasi digital, penegakan hukum menjadi hal yang krusial dalam permasalahan ini. Padahal, SKB 3 Lembaga tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam UU ITE telah menyebutkan bahwa berita bohong yang dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE adalah dalam konteks transaksi elektronik. Karena merupakan delik materiil, maka kerugian sebagai akibat berita bohong harus dihitung dan ditentukan nilainya.
Namun, Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mengatur tentang berita bohong dapat memberikan efek jera kepada pelaku. Dalam pasal ini, berita bohong yang dimaksud “dengan sengaja” atau “dapat” menerbitkan keonaran di kalangan rakyat. Ancaman hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun dan setinggi-tingginya tiga tahun menanti.
ADVERTISEMENT
(Lamria F. Manalu, Penyuluh Hukum Kemenkumham)
Live Update
Pada 5 November 2024, jutaan warga Amerika Serikat memberikan suara mereka untuk memilih presiden selanjutnya. Tahun ini, capres dari partai Demokrat, Kamala Harris bersaing dengan capres partai Republik Donald Trump untuk memenangkan Gedung Putih.
Updated 5 November 2024, 21:56 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini