Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Melek Literasi Lewat Gawai: Mengubah Layar Ponsel Jadi Jendela Ilmu Anak
22 April 2025 10:02 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Fitri nur laila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang literat. Namun, ironisnya, kemampuan literasi membaca siswa Indonesia masih memprihatinkan. Data Programme for International Student Assessment (PISA) menempatkan kita di peringkat bawah, sebuah alarm yang tak bisa diabaikan.
ADVERTISEMENT
Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak anak mampu melafalkan huruf, namun gagal mencerna makna di baliknya. Inilah jurang literasi yang menghambat nalar kritis, modal esensial di era global yang penuh tantangan.
Sebagai guru privat yang berinteraksi langsung dengan beragam siswa, dari bangku sekolah dasar hingga dewasa, saya menyaksikan fenomena ini dari dekat. Tak bisa dipungkiri, gawai telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak. Awalnya, saya melihat ponsel sebagai distraksi utama dalam belajar. Namun, seiring waktu, saya menyadari sebuah potensi tersembunyi: teknologi, jika diarahkan dengan bijak, dapat menjelma menjadi jembatan emas menuju gerbang literasi.
Berangkat dari keprihatinan mendalam, saya mencoba pendekatan yang berbeda. Dengan restu orang tua, saya mengenalkan aplikasi iPusnas, perpustakaan digital nasional dengan ribuan koleksi buku gratis ke dalam gawai anak-anak. Awalnya, kebingungan tampak di wajah mereka, terbiasa dengan hiburan visual, bukan lembaran digital. Namun, pilihan buku anak yang beragam dan menarik perlahan menumbuhkan ketertarikan.
ADVERTISEMENT
Dalam setiap sesi belajar privat, 25 menit kami dedikasikan khusus untuk membaca. Anak-anak bebas memilih buku digital yang mereka sukai. Namun, sebelum menyelami halaman virtual, saya selalu menekankan, “Bacalah perlahan, resapi setiap kalimat. Yang utama adalah pemahaman, bukan kecepatan.” Saya ingin menanamkan bahwa membaca adalah proses mengolah informasi, bukan sekadar adu cepat menyelesaikan halaman.
Setelah waktu membaca usai, lima menit berikutnya menjadi ruang bagi mereka untuk "bercerita kembali". Di sinilah saya mengukur kedalaman pemahaman mereka. Ada yang mampu merangkai alur cerita dengan runut, namun tak sedikit pula yang terdiam, lupa, atau bahkan tidak memahami inti bacaan. Dari sinilah saya belajar bahwa membaca tanpa pemahaman bagai melihat tanpa menangkap gambar. Pendampingan dan waktu untuk mengolah informasi adalah kunci.
ADVERTISEMENT
Metode sederhana ini, sungguh ajaib, menampakkan dampaknya dalam beberapa minggu. Keengganan awal berganti antusiasme dalam memilih judul baru. Rasa ingin tahu akan kelanjutan kisah dan nasib tokoh-tokoh fiksi mulai tumbuh. Bahkan, beberapa anak mulai membawa cerita tersebut ke dalam percakapan, melontarkan pertanyaan, berdiskusi, atau menebak alur selanjutnya. Bagi saya, inilah esensi literasi sejati: ketika benih imajinasi dan nalar kritis mulai bersemi dari halaman yang dibaca.
Tentu, upaya ini tak berdiri sendiri. Peran orang tua sangat krusial. Sebelum memulai, saya selalu berkomunikasi dan menjelaskan pentingnya pemanfaatan gawai secara positif serta tujuan penggunaan iPusnas. Syukurlah, sebagian besar orang tua memberikan dukungan penuh. Mereka bahkan ikut memantau kebiasaan membaca anak di rumah, dan beberapa di antaranya terinspirasi untuk kembali membacakan buku cerita sebelum tidur.
ADVERTISEMENT
Apa yang saya lakukan mungkin terlihat kecil di tengah gurita permasalahan literasi nasional. Namun, saya percaya bahwa perubahan besar selalu berawal dari langkah-langkah kecil yang dilakukan secara konsisten. Jika pendekatan serupa diterapkan secara lebih luas oleh para pendidik, orang tua, dan komunitas, kita dapat menciptakan ekosistem literasi yang lebih hidup dan relevan dengan zaman.
Literasi digital seharusnya bukan lagi momok, melainkan peluang. Di tengah banjir informasi, anak-anak justru membutuhkan bekal keterampilan untuk memilah, memahami, dan mengkritisi setiap informasi yang mereka terima. Gawai yang dulunya sekadar menjadi pusat hiburan kini dapat bertransformasi menjadi jendela dunia—asalkan kita tahu cara mengarahkannya.
Indonesia Emas 2045 hanya akan terwujud jika generasi mudanya memiliki fondasi literasi yang kuat, yang melahirkan kemampuan berpikir kritis dan pemahaman informasi yang mendalam. Semua itu berakar pada kebiasaan membaca yang ditanamkan sejak dini. Mari kita mulai hari ini: ajak anak-anak membaca, memahami, dan mencintai buku—dengan cara yang mereka pahami, melalui perangkat yang mereka genggam. Karena masa depan bangsa ini tidak hanya bergantung pada mereka yang bisa membaca, tetapi pada mereka yang mampu memahami, merefleksikan, dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut.
ADVERTISEMENT