Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menyelisik Kehidupan Milenial ala Santriwati Gontor
16 April 2018 10:42 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
Tulisan dari Fitri Riduan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebutlah Annisa, seorang santriwati pondok modern Gontor berusia 17 tahun yang saat ini menduduki kelas 5 atau setingkat kelas 2 SMA. Bukan ipad atau ponsel pintar yang ada di genggamannya. Bukan pula ipod atau gadget yang menjadi temannya. Sore itu, temannya adalah buku pelajaran. Inilah gaya milenial ala santriwati Gontor.
ADVERTISEMENT
Kaum milenial, yang lahir pada tahun 1980-an hingga 2000, umumnya memiliki hubungan yang intens dengan teknologi, gadget, dan sejenisnya. Dalam kesehariannya, kaum milenial ini tidak lepas dari ketergantungan tinggi dengan media sosial sejak bangun tidur hingga tidur lagi.
Di Gontor, akses terhadap gadget, dan internet dibatasi hanya pada waktu libur semester. Libur semester setiap tahun dijadwalkan selama 60 hari; 50 hari pada bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, sisanya 10 hari pada Hari Raya Idul Adha. Tersedia fasilitas warung telekomunikasi yang bisa dimanfaatkan santriwati untuk berkomunikasi dengan orang tua atau sanak-saudara.
Beruntung saya berkesempatan berinteraksi langsung dengan milenial Gontor ini, melalui program pemberdayaan masyarakat diplomat muda Kementerian Luar Negeri RI yang tergabung dalam Sesdilu 60. Selain mengajar di kelas, kami juga bergabung dengan beberapa kegiatan santriwati.
Selain mengajar di kelas, diplomat muda yang tergabung dalam Sesdilu 60 juga berbagi keahlian bermusik. Sumber: dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
Lantas, bagaimana bisa belajar tanpa berselancar di dunia maya untuk mengintip akun media sosial dan mengetahui berita terbaru? Atau mungkin sekedar main game online untuk mengusir kejenuhan atau kebosanan saat belajar?
Di Gontor, hal ini bisa dilakukan. “Gontor memiliki ruh, yakni falsafah yang terdiri dari Motto, Panca Jangka, dan Panca Jiwa”, kata Annisa. Dengan ruh ini, budaya institusi tak lekang oleh zaman. Gontor telah menginjak usia 92 tahun sejak didirikan pada tahun 1926, dan saat ini memiliki sekitar 24.000 santri termasuk sekitar 10.000 santriwati.
Milenial Gontor belajar bersama di luar kelas. Sumber: dokumen pribadi
Di Gontor, para milenial diajarkan Panca Jiwa yang terdiri dari jiwa keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa berdikari, jiwa ukhuwah islamiyah, dan jiwa bebas. Ruh perjuangan ini yang ditumbuhkan, dipelihara, dan diresapi. Salah satu tulisan terpampang jelas di berbagai area pondok, sarat akan makna perjuangan “Jadilah manusia yang wajar, namun berjiwa besar: besar jasamu, besar amalanmu, besar cita-citamu, dan kuat imanmu”.
ADVERTISEMENT
Tidak ada waktu yang terbuang untuk kegiatan leisure seperti berselancar bebas di dunia maya. Seluruh aktivitas memiliki tujuan untuk membentuk karakter dengan sistem manajemen waktu. Sehari-hari, kegiatan dimulai jam 3 subuh; salat tahajud berjemaah, salat subuh berjemaah, mendengarkan kultum, menghadiri kelas hingga siang.
Kegiatan dilanjutkan dengan salat dzuhur berjemaah, makan siang, olahraga, salat asar berjemaah, belajar, kegiatan ekstrakurikuler dan salat maghrib berjemaah. Tidak sampai di situ, aktivitas berlanjut dengan kultum di masjid, membaca Alquran, makan malam, belajar hingga tiba waktu tidur mulai jam 10.30 malam.
Selain akses terhadap gadget, dan internet yang dibatasi, milenial Gontor juga didorong untuk memahami kebebasan yang bertanggung jawab. Hal ini tercermin dari Motto yang hierarkis, atau berjenjang; berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas. Santriwati tidak dapat serta-merta memiliki pikiran bebas tanpa terlebih dahulu memiliki budi tinggi, badan sehat, dan pengetahuan luas. Hal ini sangat berbeda dengan kaum milenial pada umumnya yang mempersepsikan kebebasan sebagai hak mutlak tiap individu.
ADVERTISEMENT
Dengan Motto tersebut, isu kebebasan bukanlah isu sentral. Pendidikan di Gontor berbasis karakter; yang memberikan kecakapan untuk hidup. Setiap santriwati berperan menjaga keberlangsungan pendidikan di pondok; mulai peran serta menjaga aset pondok hingga program pengabdian para alumni setelah lulus dari pondok. Motto kebebasan bertanggung jawab ini tertanam sehingga milenial Gontor di kemudian hari dapat berkarya, dan bertanggung jawab saat terjun ke masyarakat luas.
Donat coklat keju hasil karya para santriwati. Rasanya lezat. Sumber: dokumen pribadi
Penerapan Motto ini bukan tanpa tantangan. Setiap awal kalender pendidikan, selalu saja ada santriwati yang mengeluh tidak betah, bosan atau merasa terkekang. Kegiatan ekstrakurikuler yang beragam seperti olahraga, menjahit, memasak, seni musik, dan seni lukis, untungnya, membuat kegiatan pondok lebih seru. Para ustadz dan ustadzah, selain mengajar, bertindak sebagai orang tua bagi para santriwati. Budaya ukhuwah islamiyah atau sisterhood yang kuat menjadi perekat untuk maju bersama, dan pantang menyerah.
ADVERTISEMENT
Selain itu, gaya milenial Gontor yang lain dari kaumnya adalah terkait hubungan antara laki-laki dan perempuan. Tidak seperti kaum milenial umumnya yang dapat berinteraksi relatif bebas dengan lawan jenis, hubungan lawan jenis hanya dapat dilakukan dalam kerangka ta’aruf atau perkenalan untuk tujuan pernikahan.
Dengan cara ini, tidak ada istilah atau kegiatan pacaran. Hari libur, yang jatuh pada hari Jumat, juga biasanya dimanfaatkan untuk bercengkerama dengan keluarga di lingkungan pondok. Tidak ada jadwal kencan pada akhir pekan karena Sabtu dan Minggu tidak libur. Terdapat hukuman bagi siswa yang ketahuan berpacaran.
Terlepas dari keterbatasan atas akses gadget, internet, kebebasan berpikir, dan bertindak serta batasan hubungan antara laki-laki, dan perempuan, santriwati Gontor adalah manusia yang percaya diri, berjiwa pengorbanan, memiliki etos kerja tinggi, dan pantang menyerah. Karakter ini melekat kuat, dan mengakar karena pendidikan menganut sistem pembelajaran holistik, mengintegrasikan seluruh kemampuan untuk mendukung kecakapan hidup (life skills).
ADVERTISEMENT
Terdapat beberapa kegiatan ekstrakurikuler yang terdepan seperti kewirausahaan dan memasak, yang memungkinkan santriwati dapat berdikari saat kembali ke masyarakat. Ada sekitar 29 cabang usaha yang dikelola oleh Yayasan Gontor untuk mendukung pondok yang berdikari mulai dari usaha air mineral, laundry, bakery, catering, cafetaria hingga peternakan lele.
Pondok mengelola, dan membuat bahan baku hampir seluruh usaha tersebut. Mie ayam dan roti, misalnya. Santriwati membuat sendiri mie untuk menu mie ayam dan roti hingga siap disantap oleh para santriwati. Kualitas dan kelezatan roti yang dibuat oleh para santriwati ini tidak kalah dengan roti kualitas bakery di Jakarta pada umumnya.
Seperti yang dituturkan Annisa, dirinya berharap suatu hari nanti dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi sesama dengan membuka usaha bakery. Selama 5 tahun berada di Gontor, dirinya merupakan pengurus inti Klub Memasak.
ADVERTISEMENT
Annisa menambahkan, dirinya telah melewati proses yang panjang hingga pada tahap sekarang; menerima dan menikmati kegiatan di pondok, dengan menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari kaum milenial. Suatu hari saat dirinya siap mengabdi kepada masyarakat, Annisa ingin menjadikan dirinya bagian dari amazing generation, jargon semangat yang terus dibunyikan di Gontor, menjadi pemain bukan penonton, tidak malas dan cuek terhadap lingkungannya.