Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Otoritas Mutlak Negara Terkait Visa dan Konvensi Wina Tahun 1963
1 April 2018 12:07 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Fitri Riduan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah AS kembali menerapkan prosedur yang lebih serius untuk menyeleksi setiap permohonan visa. Setelah memberlakukan kebijakan ketat pada tahun 2017 terkait visa bagi para pengungsi terutama dari negara Muslim (travel ban), pada tanggal 30 Maret 2018, Presiden Trump kembali membuat heboh dengan kebijakan visa terbarunya.
ADVERTISEMENT
Kali ini, pemohon visa diminta untuk memberikan detail terkait akun media sosialnya yang digunakan dalam lima tahun terakhir. Kebijakan ini diterapkan kepada pemohon visa untuk tujuan menetap atau berkunjung ke AS dan berasal dari negara yang dicurigai terkait dengan terorisme atau terkait isu keamanan lainnya.
Terlepas bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari implementasi slogan Trump “Making America Great Again” untuk mengambil hati rakyat AS, kebijakan apapun terkait visa dan prosedurnya yang diterapkan oleh suatu negara, merupakan otoritas mutlak negara tersebut yang dijamin oleh Hukum Internasional yakni Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler.
Ilustasi Kebijakan Visa AS; a. biru muda untuk negara bebas visa; b. hijau muda untuk negara pengecualian dari kebijakan visa, dan; c. abu-abu untuk negara yang memerlukan visa. Sumber: Wikipedia.
ADVERTISEMENT
Pasal 5 Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler menyatakan bahwa fungsi Konsuler Perwakilan asing salah satunya berwenang menerbitkan visa dan memagari kepentingan negara pengirim. Dokumen yang diterbitkan oleh fungsi Konsuler tersebut bersifat mutlak, tidak dapat diganggu-gugat (inviolable) kapanpun dan dimanapun (Pasal 33). Bahkan, Perwakilan Asing berhak untuk tidak memberikan alasan atau penjelasan terkait penolakan visa baik kepada negara dimana Perwakilan asing tersebut berada atau kepada pemohon sekalipun.
Dengan demikian, negara memiliki otoritas atau kedaulatan terkait kebijakan dan prosedur visa yang tidak dapat dituntut. Dalam pelaksanaan kedaulatan terkait visa ini, Perwakilan asing dalam hal ini (Kedutaan Besar, Konsulat Jenderal atau Konsulat), dapat menolak permohonan visa, apabila pemohon tidak melengkapi persyaratan yang diperlukan, dipandang mencurigakan, tidak kooperatif atau membahayakan staf dan Perwakilan asing dimaksud.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, alasan penolakan visa dapat saja bersifat sepele. Beberapa dari kita mungkin masih ingat mengenai penolakan visa oleh Kedubes AS di Jakarta beberapa tahun lalu karena nama pemohon visa berbau Arab atau mirip dengan pelaku terorisme.
Padahal, pemohon telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Sekali lagi, hal tersebut dapat dibenarkan dan pemohon dengan cara apapun tidak dapat menuntut Perwakilan asing dimaksud terkait kebijakan ini, termasuk meminta ganti rugi terhadap seluruh biaya yang telah dikeluarkan.
Jadi, apa yang harus dilakukan untuk memperoleh visa AS?
Tiada kata lain, patuhi prosedur yang telah ditetapkan. AS merupakan negara terdepan yang memiliki kumpulan data terkait aplikasi visa AS dari seluruh dunia. Tidak ada negara yang lebih baik dari AS dalam hal ini. Pemerintah AS, melalui Kementerian Dalam Negeri (Department of Homeland Security) menghimpun data yang terdiri dari semua aplikasi visa, pengeluaran dan penolakan visa, rekaman wawancara dan catatan pewawancara, yang tersedia setiap saat setiap hari.
Ilustrasi visa AS. Sumber: Wikipedia
ADVERTISEMENT
Adakah nasehat terbaik lainnya?
Ya, ketika memohon visa ke Perwakilan asing, penting sekali untuk menunjukkan sikap yang baik, ramah dan berbusana yang rapi, mengingat kita sedang berada di ‘wilayah’ atau premis Perwakilan asing yang dilindungi Hukum Internasional, Konvensi Wina tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik.
Selain itu, pemohon juga disarankan untuk menjawab seluruh pertanyaan dengan jujur mengingat Kedubes AS memiliki seluruh rekam jejak para pemohon visa.
Ketika pemohon dinyatakan ’clear’ dan dapat diberikan visa, petugas visa bisa saja meminta surat keterangan tambahan lainnya yang diperlukan. Petugas juga bisa menahan visa tersebut hingga dokumen yang diminta, dipenuhi terlebih dahulu.
Saya masih ingat beberapa waktu lalu ketika seorang anak mantan diplomat RI yang lahir di New York, meminta surat keterangan Kementerian Luar Negeri RI yang menyatakan bahwa sang ayah pernah bekerja pada Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di New York pada tahun 1980-an.
ADVERTISEMENT
Kebijakan terbaru Trump ini diperkirakan akan mempengaruhi sekitar 14,7 juta pelamar visa AS per tahun dan membuat permohonan visa semakin sulit. Dilansir dari koran New York Times, Direktur the American Civil Liberties Union, Hina Shamsi, menyatakan bahwa langkah ini memiliki efek yang ‘mengerikan’ bagi kebebasan berpendapat dan berkumpul. Pihaknya juga menyayangkan mengenai definisi ‘aktivitas teroris’ yang sangat luas dan politis dan dapat digunakan untuk mendiskriminasikan imigran yang tidak bersalah.