Konten dari Pengguna

Teror Surabaya dan Penanggulangan Terorisme di Indonesia

Fitri Riduan
pembelajar
19 Mei 2018 7:27 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fitri Riduan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aksi teror di beberapa gereja di Surabaya kembali mencoreng wajah Indonesia. Apa yang seharusnya diperbaiki dari cara kita memandang isu ini dan cara kita menanggulangi permasalahan terorisme ini. Setidaknya, ada tiga catatan penting terkait terorisme di Indonesia mengacu pada kejadian teror di Surabaya.
Mako Brimob dijaga ketat usai kerusuhan. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Pertama, pelaku adalah perempuan. Hal ini mengingatkan kembali mengenai peran perempuan yang cukup sentral dalam aksi terorisme. Di balik sosok keibuan, perempuan berperan kuat sebanding dengan laki-laki untuk menjadi pelaku pengeboman bunuh diri. Pelaku yang melibatkan anak-anak merefleksikan bahwa aksi terorisme telah semakin melampaui batas kemanusiaan dan logika manusia.
ADVERTISEMENT
Dunia internasional telah mendeteksi peran sentral perempuan dalam aksi terorisme global. Di ISIS sendiri, peran perempuan dalam aksi terorisme semakin meningkat dari segi kualitas dan kuantitas. Diperkirakan 1 dari 5 pejuang ISIS adalah perempuan. Perempuan berperan sebagai ‘jihadi bride’ dan dianggap sebagai bentuk ‘emansipasi’ mewujudkan perjuangan khilafah.
Ilustrasi perempuan di sarang teror. (Foto: AFP/Aamir QURESHI)
Menurut Mia Bloom, peneliti dari Geogia State University, ISIS menggunakan perempuan sebagai ‘win-win solution’, menciptakan jarak kepada pihak berwajib agar segan melakukan pemeriksaan kepada perempuan. Dan dalam kasus lainnya, teroris menggunakan argumen bahwa perempuan telah mengalami ‘kedzoliman atau tindakan sewenang-wenang’ atas kegiatan pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat.
Di beberapa negara Eropa misalnya, perempuan memperoleh hukuman yang lebih ringan karena dianggap telah menjadi korban cuci otak, bukan pelaku utama. Kondisi ini menciptakan bonus bagi gerakan ISIS karena semakin dapat meluaskan jaringannya kepada masyarakat secara lebih luas.
Tersangka terorisme Aman Abdurrahman kelompok JAD. (Foto: Garin Gustavian Irawan/kumparan)
Kedua, intensifikasi jaringan terorisme internasional ke jaringan nasional. Jaringan Daulah Islamiyah yang menjadi afiliasi pelaku, diduga meyakini kebenaran ISIS walaupun tidak melakukan baiat ke ISIS. Di satu sisi, hal ini mengharuskan Pemerintah dan pihak terkait untuk membendung penyebaran ideologi radikal di dunia maya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, pemerintah juga harus ‘mengamankan’ simpatisan ISIS yang kembali dari Suriah. Sejak ISIS berdiri tahun 2014, tercatat lebih dari 1000 orang Indonesia bergabung dengan ISIS dan berperang di Suriah. Terdapat lebih dari 500-an orang telah kembali dari Suriah dan berkeliaran di Indonesia.
Sudah saatnya berbagai pihak terutama Pemerintah, DPR, LSM, dan masyarakat menggapai momentum penanganan terpadu masalah terorisme. Diperlukan pendekatan dari hulu ke hilir penanganan terorisme, yang meliputi pencegahan, deteksi dini hingga respons atau penindakan.
Ketiga, perlu benah diri, bukan penyangkalan, mengenai tumbuhnya benih-benih radikalisme di sekitar kita. Dita Supriyanto, pelaku bom Surabaya, sejak muda telah dikenal oleh teman-temannya sebagai seorang radikalis. Dirinya bahkan tidak ikut upacara bendera di sekolah karena merasa bahwa penghormatan hanya pantas diberikan kepada khilafah.
ADVERTISEMENT
Di berbagai kesempatan, sering terdengar bahwa terorisme bukan merupakan bagian dari agama Islam. Hal ini cukup aneh mengingat pelaku sendiri kebanyakan beragama Islam.
Secara psikologis, umat Islam harus mengakui bahwa diperlukan benah diri, untuk memperbaiki kondisi umat, bukan dengan menyalahkan pihak lain atau menyangkal mengenai adanya ekstremisme dalam agama. Terdapat ekstremisme dalam banyak agama dan pemuka agama harus terus membina umat agar tidak terjebak dalam ekstremisme sempit.
Ilustrasi penggerebekan kepada pelaku teror. Sumber: dokumen pribadi
Upaya Penanganan Terorisme
Tidak ada solusi one size fits all untuk menangani terorisme. Penyebab tindakan terorisme beragam mulai dari alasan ekonomi, ideologi, sosial hingga psikologis. Penelitian terhadap para teroris juga masih terbatas. United Nations Office of Counter-Terrorism yang merupakan salah satu organ PBB yang bertugas dalam penanggulangan terorisme, mengakui pihaknya kesulitan melakukan penelitian terhadap para pejuang ISIS di Suriah.
ADVERTISEMENT
Hal ini karena keterbatasan akses dan isu keselamatan para peneliti. Namun demikian, langkah-langkah yang sinergis dan berdasar pada penilitian-penelitian parsial tersebut dapat meningkatkan kekuatan nasional memberantas terorisme.
1. Legalitas Penanganan Terorisme
Inilah saat yang tepat untuk bersatu mewujudkan revisi UU Anti Terorisme karena momentum yang pas. Diperlukan dukungan DPR dan masyarakat untuk bersama-sama membenahi perangkat hukum terorisme, agar lembaga negara bergerak sesuai dengan koridor hukum.
Sebagaimana diketahui, UU Anti Terorisme Nomor 15/2003 sudah tidak memadai lagi sebagai payung hukum penanggulangan terorisme nasional, karena aparat hukum tidak bisa menindak mereka yang merencanakan aksi teror, termasuk kegiatan pendoktrinan para calon pelaku teror.
Hal ini memprihatinkan mengingat tindakan terorisme bukan aksi sesaat yang datang tiba-tiba. Seseorang yang melakukan aksi teror telah mengalami berbagai fase mulai dari fase radikalisasi (pemikiran) hingga terorisme (aksi). Periode waktu dari tahap radikal ke aksi teror tidak instan, namun berjalan cukup lama. Artinya, sudah seharusnya negara dapat mendeteksi akar-akar terorisme yang berasal dari radikalisme.
Ilustrasi terorisme. (Foto: ThinkStock)
2. Penangkalan Ideologi Radikal di Dunia Nyata dan Dunia Maya
ADVERTISEMENT
Tren media yang digunakan pun telah bergeser dari pertemuan langsung ke media internet dan media sosial. Pemimpin ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi, menghimbau kepada jaringan di berbagai negara, agar bergerak pada level nasional dan lokal; untuk melawan pemerintah masing-masing. Tidak heran, sasaran aksi teroris bergeser dari simbol Barat ke simbol pemerintah. Pemerintah perlu memperkuat aspek pencegahan dengan menggandeng pihak swasta termasuk LSM, bahkan Google untuk membendung penyebaran ideologi radikalisme di dunia maya.
Diperlukan peningkatan kapasitas komunitas intelijen dari tingkat kota hingga ke pelosok untuk mendeteksi pergerakan jaringan teroris baik di dunia nyata atau dunia maya. Dengan kapasitas komunitas intelijen hingga ke pelosok tanah air, pengawasan dan deteksi dini seharusnya dapat dilakukan. Dengan diskresi dan kegiatan klandestine yang cenderung tidak terdeteksi publik, tidak seharusnya komunitas intelijen menjadi lebih ‘rileks’ dibanding kementerian atau lembaga lainnya, yang aktivitas dan pertanggung jawaban dananya dilakukan secara transparan kepada publik.
ADVERTISEMENT
3. Pendekatan Penanggulangan Terorisme Berbasis Gender
Menurut Katharina Kneip dari Uppsala University, adalah salah apabila kita memandang rendah peran perempuan dalam isu terorisme. Peran perempuan krusial sebagai penggerak anak-anak dan pendukung utama suami untuk melancarkan aksi. Umumnya, perempuan bergabung dengan ISIS dikarenakan alasan kemiskinan dan ketidakberdayaan. Perempuan tersebut ingin turut serta mewujudkan negeri idaman khilafah yang akan ‘memuliakan’ kaum perempuan.
Pemerintah dapat menerapkan pendekatan berbasis gender untuk penanggulangan terorisme. Peran perempuan yang dapat ditingkatkan misalnya pada strategi penindakan, rehabilitasi dan reintegrasi bagi pelaku dan simpatisan teroris. Pemerintah juga dapat mendukung munculnya tokoh agama dan masyarakat dari kalangan perempuan untuk mencegah penyebaran paham radikal.
4. Peran Sentral Tokoh Agama dan Masyarakat
ADVERTISEMENT
Sebagai pemimpin umat, tokoh agama berperan penting untuk mengarahkan umat. Islam mengenal pilar negara yang terdiri dari umara (pemimpin) dan ulama (pemuka agama). Peran keduanya dibutuhkan untuk menegakkan sebuah negara, terlebih kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk. Umara yang korup akan membuat negara mundur dan semakin bangkrut. Sementara itu, ulama yang sibuk dengan kepentingan duniawi sesaat atau menyebarkan kebencian, dapat menjerumuskan umat ke jurang kebodohan.
Masyarakat menantikan peran Kementerian Agama untuk memimpin inisiatif penanggulangan permasalahan ekstremisme ini. Hal ini wajar mengingat Kementerian Agama tercatat sebagai salah satu kementerian yang memperoleh anggaran terbesar yakni sebesar Rp 62 triliun (2018). Anggaran tersebut terbesar ke-empat setelah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pertahanan dan Polri.
ADVERTISEMENT
Daftar Mubalig rujukan yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama harus disambut dengan positif walaupun perlu dilakukan upaya lanjutan. Daftar seperti ini umum dikeluarkan oleh pemerintah di negara-negara Eropa seperti Jerman, Perancis, Belgia dan Austria. Penceramah diharuskan berceramah dalam bahasa setempat dan memiliki semacam akreditasi yang diperoleh melalui serangkaian prosedur. Hal ini dinilai membantu mengarahkan pengajaran dan pemahaman Islam di negara-negara tersebut.
Konpers di Mapolda Jawa Timur (Foto: Jafrianto/kumparan)
Perlu digarisbawahi pula bahwa pengaruh luar Indonesia sangat intens terhadap tumbuhnya radikalisme di dalam negeri. Karenanya, diperlukan langkah ‘tidak biasa’ seperti peninjauan berkala untuk mendeteksi negara maupun institusi yang berperan menjadikan warga Indonesia menjadi lebih radikal.
Institusi radikal umumnya tidak memperbolehkan ada perbedaan pendapat dalam diskursus akademisnya. Tidak seharusnya ada trade-off dalam usaha pencegahan terorisme, baik dengan dalih bantuan beasiswa atau insentif lainnya dari negara atau institusi asing tersebut.
ADVERTISEMENT
5. Penguatan Gugus Tugas Penanggulangan Terorisme
Pemerintah perlu memperkuat Gugus Tugas penanggulangan terorisme yang telah dibentuk oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Gugus Tugas perlu dimaksimalkan untuk mengintervensi perjalanan WNI ke Suriah. Hal ini diperlukan mengingat sifat jaringan teroris yang illegal, unregulated, dan unreported. Perlu kerja bersama komunitas intelijen, termasuk imigrasi yang menjadi poin terakhir keluar-masuk WNI. Pemerintah juga dapat meminta informasi dari maskapai terkait rute perjalanan WNI ke negara transit untuk menuju Suriah.
Pendekatan soft dan hard untuk menanggulangi terorisme harus terus diperkuat. Program deradikalisasi (menurunkan tingkat radikal seseorang) seharusnya dilakukan secara menyeluruh. Selama ini, terdapat kesan eks-teroris yang kembali ke masyarakat ‘dibiarkan’ tanpa ada pengawasan secara berkelanjutan. Setelah dilepas oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme ke panti-panti sosial yang dikelola oleh Kementerian Sosial, tetap diperlukan pengawasan oleh komunitas intelijen. Terdapat estafet penanganan dan pengawasan terhadap para eks-teroris ini.
Neighborhood Watch Sign (Foto: Wikimedia Commons)
Pelibatan masyarakat juga sangat diperlukan mengingat masyarakat adalah pengamat langsung di lapangan. Dengan kondisi demografis Indonesia yang begitu luas, pengawasan masyarakat mutlak diperlukan untuk menghambat aksi terorisme. Masyarakat tidak seharusnya permisif atau membiarkan pihak yang mencurigakan tanpa melaporkan kepada instansi berwenang.
ADVERTISEMENT