Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Kepulan Asap Vape di Antara Kita: Identitas dan Gaya Hidup Mahasiswa Masa Kini
21 Januari 2025 14:20 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Fitri Susitia Ningsih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di sudut kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), asap tebal melayang saling bertabrakan di udara satu sama lain. Kepulan asap itu mencuat dari perangkat kecil yang diisap dan diembuskan oleh para mahasiswa ilmu komunikasi yang tengah asyik habiskan waktu luang mereka di sela-sela perkuliahan. Aroma asapnya yang manis bercampur dengan udara sore di kota pelajar itu.
ADVERTISEMENT
“Awalnya cuma ikut-ikutan teman,” ujar ilham, mahasiswa 20 tahun yang tengah kuliah di sana, sambil mengembuskan asap vape dari mulutnya.
Buat Ilham, vape bukan sekadar kebiasaan, melainkan syarat mutlak dari pergaulan anak muda zaman sekarang.
Berbeda dengan Ilham, Rengga rekan sejawat dan sejurusan Ilham, mengaku menggunakan vape sebagai upaya muthakirnya untuk keluar dari kecanduannya pada tembakau rokok.
“Aku mulai karena ingin berhenti merokok,” tuturnya sambil tangannya sibuk mengisi ulang cairan vape beraroma buah.
Namun, seiring waktu, alasan kesehatan itu bergeser menjadi bagian dari gaya hidup yang sulit dilepaskan. Yup, pada akhirnya Rengga pun tetap mengisap rokok dan mengembuskan asap rasa buah vape dari mulutnya.
Di kalangan mahasiswa sekarang, vape adalah tiket masuk ke dalam komunitas sosial yang menawarkan solidaritas instan, dalih daur ulang ketika rokok belum memiliki siangan. Bagi keduanya, rokok punya kedudukan dengan piringan hitam, klasik.
ADVERTISEMENT
“Kadang suasana nongkrong terasa kurang lengkap tanpa rokok. Vape memang tren, tapi rokok itu klasik,” ujar Ilham dengan santai.
Ketergantungan ini mencerminkan realitas sosial di mana produk tidak hanya dinilai berdasarkan fungsi, tetapi juga citra yang melekat padanya. Jean Baudrillard, pakar kebudayaan asal Perancis, pernah menggambarkan dalam tulisannya bahwa orang membeli barang bukan karena nilai kegunaan, tetapi demi citra yang dibentuk oleh iklan dan mode. Fenomena yang membentuk simulacra, yakni realitas semu yang dibentuk secara artifisial. Hal ini sangat terlihat dalam dunia vape yang dilengkapi perangkat canggih dengan desain futuristik yang memikat.
Di mata Rengga, vape adalah bagian dari identitasnya.
“Bukan cuma soal nikotin, tapi soal tampil beda,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Komunitas vaper, sebutan orang yang menggunakan vape, menawarkan rasa kebersamaan dan kesempatan untuk memamerkan perangkat terbaru. Dalam dunia yang terobsesi dengan citra, memiliki vape edisi terbatas bisa meningkatkan status sosial.
Namun, tidak semua mahasiswa terpesona oleh tren ini yang digandrungi Ilham dan Rengga ini.
Setahun lebih tua dari keduanya Aditya, mahasiswa 21 tahun ini yang juga sejurusan dengan Ilham dan Rengga ini, mengaku sering terganggu oleh pengguna vape yang tidak peduli lingkungan.
“Asap dan baunya itu nyebar ke mana-mana,” keluhnya.
Bagi dia, kesadaran pengguna untuk menghormati orang lain sangat penting. Dia merasa terganggu dengan kehadiran vape di ruang publik.
“Sering kali pengguna vape tidak peduli dengan orang sekitar. Asapnya tebal dan baunya kuat,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
Tren penggunaan vape di Indonesia nyatanya terus meningkat. Berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), pengguna rokok elektrik di Indonesia sudah mencapai lebih dari 4 juta orang. Popularitas ini tak lepas dari citra ‘aman’ yang kerap dipasarkan, meskipun banyak penelitian medis menunjukkan risiko kesehatan serius.
Kondisi ini turut dipengaruhi oleh gemerlap dunia maya yang juga memainkan peran besar dalam membentuk citra vape. Media sosial dipenuhi dengan konten para pengguna vape yang menampilkan trik asap atau model-model terbaru dari perangkat tersebut.
“Influencer di Instagram membuat vape kelihatan keren, padahal efeknya nggak seindah itu,” kata Aditya sambil menggelengkan kepala.
Menurut teori gaya hidupoleh Chaney pada 1996, pola tindakan seperti ini mencerminkan ciri dunia modern yang dipengaruhi iklan dan mode. Rokok elektrik menjadi simbol status, bukan sekadar kebutuhan.
ADVERTISEMENT
Meski ada kampanye anti-vape yang gencar dilakukan, daya tarik sosialnya tetap kuat.
"Kayaknya orang nge-vape biar kelihatan trendy, bukan karena butuh,” ujar Rengga.
Hal ini mencerminkan konsep simulasi ahli asal Perancis tadi, yang mengatakan di mana realitas tergantikan oleh representasi semu yang tercipta melalui media.
Padahal dari sisi kesehatan, penggunaan vape memicu beragam potensi penyakit serius. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) menjadi ancaman nyata bagi pengguna aktif maupun pasif. Studi menunjukkan bahwa asap vape dapat memicu peradangan paru-paru, memperburuk asma, bahkan memicu kanker paru.
“Zat kimia dalam vape tidak seaman yang dipikirkan. Beberapa bahkan memiliki efek onkogenik yang bisa memicu pertumbuhan sel kanker,” terang sebuah penelitian dari Bracken-Clark dan rekan-rekannya.
ADVERTISEMENT
Publkasi oleh Besaratinia & Tommasi pada 2020 pun menunjukkan bahwa vape mengandung nikotin, propilena glikol, dan perasa aditif yang berpotensi merusak paru-paru. Penyakit paru-paru terkait vape, seperti E-cigarette or Vaping Product Use-Associated Lung Injury atau EVALI, telah menyebabkan ribuan kasus di AS. Lebih parahnya, kasus EVALI menjadi peringatan global.
Pada 2019, ribuan kasus penyakit paru-paru akut terkait vape dilaporkan di Amerika Serikat. Penyebab utamanya adalah vitamin E asetat yang terdeteksi dalam cairan vape ilegal. Zat ini menginduksi peradangan parah di paru-paru, yang bisa berujung pada gagal napas.
Sebagai tambahan, risiko penyakit kardiovaskular juga meningkat akibat kandungan nikotin dalam vape. Nikotin dapat memicu penyempitan pembuluh darah dan meningkatkan tekanan darah, memicu aterosklerosis yang berujung pada penyakit jantung dan stroke.
ADVERTISEMENT
Ilham dan Rengga mengaku sadar akan risiko kesehatan tersebut.
“Ya, semua ada risikonya. Tapi, kalau dipikir terus, kita enggak bisa menikmati hidup,” kata Rengga dengan nada bercanda.
Bagi mereka, vape adalah kompromi antara kenikmatan dan kesadaran. Fenomena ini mencerminkan budaya konsumerisme yang juga dikemukakan oleh Baudrillard.
Produk menjadi simbol yang dikonsumsi untuk membentuk identitas sosial. 'Rokok itu klasik, vape itu modern,' yang disampaikan Ilham tadi pun merangkum dilema yang dialami banyak mahasiswa.
Masyarakat dan otoritas terkait dihadapkan pada tantangan besar untuk mengendalikan tren ini. Perlu ada sinergi antara regulasi, edukasi, dan pengawasan. Di sisi lain, budaya konsumerisme yang kian melekat pada generasi muda menjadi tren yang sulit dibendung lagi sehingga menuntut pendekatan yang lebih persuasif dan inovatif dalam kampanye kesehatan.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, sejauh mana masyarakat harus membayar harga sosial dan kesehatan demi sebuah citra yang diciptakan oleh industri. Apakah tren ini akan terus berkembang, atau suatu saat kita akan menyadari bahwa kesehatan lebih berharga daripada sekadar tampilan.