Ibu Pemberdaya Peradaban

Fitria Laily Firmania
Mahasiswa Akuntansi, Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
10 Juni 2024 8:44 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fitria Laily Firmania tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seorang ibu dan anaknya (sumber: <a href="https://www.freepik.com/free-photo/cute-mothers-day-concept-with-mother-daughter_1937473.htm#fromView=search&page=1&position=17&uuid=2490a023-57d0-40c8-8c47-80afa04669bc">Image by freepik</a>)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seorang ibu dan anaknya (sumber: <a href="https://www.freepik.com/free-photo/cute-mothers-day-concept-with-mother-daughter_1937473.htm#fromView=search&page=1&position=17&uuid=2490a023-57d0-40c8-8c47-80afa04669bc">Image by freepik</a>)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dunia hingga detik ini belum sepenuhnya terlepas dari belenggu patriarki yang begitu kuat mengakar. Meski tak sekuat dahulu, namun praktik-praktiknya masih merajalela di berbagai dimensi kehidupan, baik secara sosial, ekonom
ADVERTISEMENT
i, bahkan agama sekalipun. Mungkin kita tidak menyadarinya, namun sebenarnya budaya patriarki telah ditanamkan sejak kecil oleh orang tua kita, begitu pula orang tua yang juga menerimanya dari nenek kakek kita, buyut kita, dan seterusnya. Sukar berbicara siapa yang salah, karena jika dikilas balik jauh ke belakang, pandangan patriarki hadir karena adanya perbedaan struktur biologis perempuan dan laki-laki. Perempuan yang umumnya tak berotot menjadi tolok ukur bahwa mereka lebih lemah dari laki-laki (Nurcahyo, 2016). Akhirnya, perempuan disandingkan dengan urusan domestik seperti mengolah hasil buruan, dan laki-laki yang bertugas mencari binatang buruan. Dampaknya, anggapan menomorduakan perempuan menjadi lumrah, kemudian diturunkan dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Padahal, konsep jenis kelamin dan gender merupakan dua hal yang berbeda, dimana gender lebih menekankan pada suatu konstruk sosial yang memang diciptakan oleh manusia itu sendiri (Oakley, 1972, dalam Habib, 2012).
ADVERTISEMENT
Hal ini seakan menjadi lingkaran setan, karena ibaratnya kita menjadi terdoktrin untuk mengkotak-kotakkan urusan tertentu untuk gender tertentu pula. Kita pun pasti pernah menyiratkan perilaku atau persepsi bernada patriarkis ketika menghadapi realitas sistem sosial dalam tatanan kehidupan, misalnya pekerjaan dengan alat berat lebih “afdol” dilakukan oleh laki-laki dan pekerjaan yang membutuhkan ketelatenan lebih “pantas” dikerjakan perempuan. Tidak hanya soal pekerjaan, patriarki bahkan mampu menimbulkan berbagai masalah sosial yang sangat merugikan, contohnya KDRT, pelecehan seksual, pernikahan dini, dan sebagainya (Sakina & A., 2017)
Berkaca dari kenyataan yang ada, meski rasanya sulit untuk mencabut akar yang tertanam ratusan bahkan ribuan tahun itu, bukan berarti praktik patriarki dapat terus menerus dilanggengkan. Bukan berarti yang susah dihilangkan, tidak bisa dihilangkan. Maka dari itu, sebagai perempuan yang telah memiliki pengetahuan dan kesadaran bahaya keluhuran budaya patriarki, kita dapat memutus rantainya dengan memiliki pandangan kesetaraan gender. Dengan begitu, apabila nanti kita memutuskan untuk membangun keluarga, kita dapat mengajarkan pendidikan berbasis responsif gender pada anak-anak kita kelak.
ADVERTISEMENT
Keluarga sendiri merupakan institusi pendidikan pertama bagi anak (Daradjat, 1973, p. 35). Baik ayah maupun ibu sama-sama berperan penting dalam mewujudkan generasi yang ramah gender, namun dalam hubungan kelekatan dengan anak, figur ibu lebih utama karena ibu lah yang lebih sering berinteraksi dengan anak; memenuhi kebutuhannya; dan menyalurkan rasa nyaman untuknya (Eliasa, 2011). Ditambah lagi, kelekatan dengan ibu adalah hal yang sangat vital karena kelekatan ini juga menentukan seberapa baik perkembangan dan sosialisasi terhadap anak (Liliana, 2009). Artinya, ibu memegang peranan penting untuk mendidik dan mengarahkan anak dalam membentuk karakter, kebiasaan, bahkan kepribadian yang akan dimilikinya hingga dewasa dan berkontribusi pada masyarakat. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Rose-Krasnor (1996) yang menyebutkan bahwa anak dengan kelekatan tipe aman dengan ibunya berhubungan positif dengan kemampuan sosialnya.
ADVERTISEMENT
Selain aspek kelekatan, pola asuh yang kita tentukan kelak sangat berdampak terhadap cara pandang anak terkait gender dan juga kesetaraan gender. Menurut Hurlock (dalam Widayani & Hartati, 2014), salah satu figur di sekitar anak yang menentukan bagaimana anak memahami peran gender adalah orang tua, dimana ibu lebih dominan menentukan apa peran gender anak. Anak juga akan melakukan peniruan serta berperilaku sesuai apa yang ia terima dari lingkungannya (Bandura, dalam Barida, 2016). Ditambah lagi, menurut Kholifah (2019), ibu yang menerapkan pola asuh dengan pendekatan modern lebih cenderung mengimplikasikan nilai-nilai kesetaraan gender daripada pola asuh dengan pendekatan tradisional, sehingga anak mampu memahami sistem sosial secara responsif gender. Adapun penelitian dari Sofiani dkk. (2020) yang menemukan bahwa pola asuh orang tua tipe otoritatif memiliki tingkat bias gender yang lebih tinggi (55,14%) daripada pola asuh orang tua tipe demokratis dan permisif (22,01% dan 29,61%).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pemaparan data di atas, dalam membangun generasi penerus yang memiliki kesadaran kesetaraan gender, diperlukan andil seorang ibu yang berdaya dan juga menjunjung tinggi pendidikan responsif gender. Ibu yang berdaya tentu mengetahui apa saja yang terbaik untuk diajarkan maupun tidak diajarkan pada anak. Meski tidak mudah melawan nilai-nilai patriarki yang mungkin terbawa dari proses sosialisasi yang diterima sedari kecil, hal ini akan terbayar apabila kita berhasil membangun peradaban selanjutnya yang bebas budaya patriarki. Tentu saja, dengan bantuan Ayah, Ibu dapat kembali belajar bersama-sama menumbuhkan kesadaran kesetaraan gender untuk diri sendiri dan juga untuk anak.
Adapun beberapa hal yang dapat kita ajarkan kepada anak-anak kita kelak, dalam rangka menjadi figur Ibu yang mendukung penuh kesetaraan gender. Pertama, biarkan anak mengeksplor apa yang menurutnya nyaman, contohnya melalui kegiatan bermainnya. Berikan anak apa saja variasi permainan yang tersedia, tidak perlu menggiring anak untuk “harus” memiliki preferensi permainan tertentu hanya karena dia “laki-laki” atau “perempuan”. Jika ia menyukai sepak bola, lalu ia juga menyukai bermain boneka, biarkan saja. Toh, hal tersebut bukan sesuatu yang berdosa, melanggar hukum, atau merugikan orang lain.
ADVERTISEMENT
Kedua, berikan perlakuan serta tanggung jawab yang setara untuk anak, terlepas dari ia anak perempuan ataupun laki-laki. Tanggung jawab dan pekerjaan tidak mengenal gender. Kita bisa menyuruh anak laki-laki untuk memasak, dan kita juga bisa menyuruh anak perempuan untuk mengangkat barang-barang. Begitupun sebaliknya. Selain itu, jangan ada perlakuan khusus hanya karena ia anak perempuan atau laki-laki, karena terkadang masih ada kecenderungan untuk memberikan hak istimewa untuk tidak melakukan tanggung jawab tertentu berdasarkan gender.
Ketiga, contohkan perilaku sehari-hari yang tidak menyiratkan bentuk bias gender. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, anak dengan mudah menyerap dan menerima apa saja yang ada di lingkungannya. Berbagi tugas dengan Ayah (suami) untuk mengerjakan pekerjaan rumah merupakan salah satu contoh yang dapat dilakukan untuk memutus anggapan perempuan harus menggarap seluruh urusan domestik rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Keempat—sekaligus terakhir, kita harus mampu menghargai dan mendukung apapun pilihan anak. Jika kelak ia mengambil bidang karir yang mungkin selama ini dianggap kurang “cocok” apabila dikerjakan oleh gendernya, kita harus tetap konsisten mendukungnya selama hal tersebut merupakan pekerjaan yang positif. Begitu pula dengan preferensi gaya berpakaian atau berekspresinya. Selama anak nyaman dengan hal itu, dukunglah mereka sepenuhnya.
Mewujudkan peradaban responsif gender mungkin terkesan mustahil, namun bukan berarti tidak ada harapan. Mari terus kawal usaha membebaskan diri dari benteng patriarki, untuk keadilan dan kesetaraan kita semua, perempuan, laki-laki, atau siapapun kamu.
Dunia hingga detik ini belum sepenuhnya terlepas dari belenggu patriarki yang begitu kuat mengakar. Meski tak sekuat dahulu, namun praktik-praktiknya masih merajalela di berbagai dimensi kehidupan, baik secara sosial, ekonomi, bahkan agama sekalipun. Mungkin kita tidak menyadarinya, namun sebenarnya budaya patriarki telah ditanamkan sejak kecil oleh orang tua kita, begitu pula orang tua yang juga menerimanya dari nenek kakek kita, buyut kita, dan seterusnya. Sukar berbicara siapa yang salah, karena jika dikilas balik jauh ke belakang, pandangan patriarki hadir karena adanya perbedaan struktur biologis perempuan dan laki-laki. Perempuan yang umumnya tak berotot menjadi tolok ukur bahwa mereka lebih lemah dari laki-laki (Nurcahyo, 2016). Akhirnya, perempuan disandingkan dengan urusan domestik seperti mengolah hasil buruan, dan laki-laki yang bertugas mencari binatang buruan. Dampaknya, anggapan menomorduakan perempuan menjadi lumrah, kemudian diturunkan dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Padahal, konsep jenis kelamin dan gender merupakan dua hal yang berbeda, dimana gender lebih menekankan pada suatu konstruk sosial yang memang diciptakan oleh manusia itu sendiri (Oakley, 1972, dalam Habib, 2012).
ADVERTISEMENT
Hal ini seakan menjadi lingkaran setan, karena ibaratnya kita menjadi terdoktrin untuk mengkotak-kotakkan urusan tertentu untuk gender tertentu pula. Kita pun pasti pernah menyiratkan perilaku atau persepsi bernada patriarkis ketika menghadapi realitas sistem sosial dalam tatanan kehidupan, misalnya pekerjaan dengan alat berat lebih “afdol” dilakukan oleh laki-laki dan pekerjaan yang membutuhkan ketelatenan lebih “pantas” dikerjakan perempuan. Tidak hanya soal pekerjaan, patriarki bahkan mampu menimbulkan berbagai masalah sosial yang sangat merugikan, contohnya KDRT, pelecehan seksual, pernikahan dini, dan sebagainya (Sakina & A., 2017)
Berkaca dari kenyataan yang ada, meski rasanya sulit untuk mencabut akar yang tertanam ratusan bahkan ribuan tahun itu, bukan berarti praktik patriarki dapat terus menerus dilanggengkan. Bukan berarti yang susah dihilangkan, tidak bisa dihilangkan. Maka dari itu, sebagai perempuan yang telah memiliki pengetahuan dan kesadaran bahaya keluhuran budaya patriarki, kita dapat memutus rantainya dengan memiliki pandangan kesetaraan gender. Dengan begitu, apabila nanti kita memutuskan untuk membangun keluarga, kita dapat mengajarkan pendidikan berbasis responsif gender pada anak-anak kita kelak.
ADVERTISEMENT
Keluarga sendiri merupakan institusi pendidikan pertama bagi anak (Daradjat, 1973, p. 35). Baik ayah maupun ibu sama-sama berperan penting dalam mewujudkan generasi yang ramah gender, namun dalam hubungan kelekatan dengan anak, figur ibu lebih utama karena ibu lah yang lebih sering berinteraksi dengan anak; memenuhi kebutuhannya; dan menyalurkan rasa nyaman untuknya (Eliasa, 2011). Ditambah lagi, kelekatan dengan ibu adalah hal yang sangat vital karena kelekatan ini juga menentukan seberapa baik perkembangan dan sosialisasi terhadap anak (Liliana, 2009). Artinya, ibu memegang peranan penting untuk mendidik dan mengarahkan anak dalam membentuk karakter, kebiasaan, bahkan kepribadian yang akan dimilikinya hingga dewasa dan berkontribusi pada masyarakat. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Rose-Krasnor (1996) yang menyebutkan bahwa anak dengan kelekatan tipe aman dengan ibunya berhubungan positif dengan kemampuan sosialnya.
ADVERTISEMENT
Selain aspek kelekatan, pola asuh yang kita tentukan kelak sangat berdampak terhadap cara pandang anak terkait gender dan juga kesetaraan gender. Menurut Hurlock (dalam Widayani & Hartati, 2014), salah satu figur di sekitar anak yang menentukan bagaimana anak memahami peran gender adalah orang tua, dimana ibu lebih dominan menentukan apa peran gender anak. Anak juga akan melakukan peniruan serta berperilaku sesuai apa yang ia terima dari lingkungannya (Bandura, dalam Barida, 2016). Ditambah lagi, menurut Kholifah (2019), ibu yang menerapkan pola asuh dengan pendekatan modern lebih cenderung mengimplikasikan nilai-nilai kesetaraan gender daripada pola asuh dengan pendekatan tradisional, sehingga anak mampu memahami sistem sosial secara responsif gender. Adapun penelitian dari Sofiani dkk. (2020) yang menemukan bahwa pola asuh orang tua tipe otoritatif memiliki tingkat bias gender yang lebih tinggi (55,14%) daripada pola asuh orang tua tipe demokratis dan permisif (22,01% dan 29,61%).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pemaparan data di atas, dalam membangun generasi penerus yang memiliki kesadaran kesetaraan gender, diperlukan andil seorang ibu yang berdaya dan juga menjunjung tinggi pendidikan responsif gender. Ibu yang berdaya tentu mengetahui apa saja yang terbaik untuk diajarkan maupun tidak diajarkan pada anak. Meski tidak mudah melawan nilai-nilai patriarki yang mungkin terbawa dari proses sosialisasi yang diterima sedari kecil, hal ini akan terbayar apabila kita berhasil membangun peradaban selanjutnya yang bebas budaya patriarki. Tentu saja, dengan bantuan Ayah, Ibu dapat kembali belajar bersama-sama menumbuhkan kesadaran kesetaraan gender untuk diri sendiri dan juga untuk anak.
Adapun beberapa hal yang dapat kita ajarkan kepada anak-anak kita kelak, dalam rangka menjadi figur Ibu yang mendukung penuh kesetaraan gender. Pertama, biarkan anak mengeksplor apa yang menurutnya nyaman, contohnya melalui kegiatan bermainnya. Berikan anak apa saja variasi permainan yang tersedia, tidak perlu menggiring anak untuk “harus” memiliki preferensi permainan tertentu hanya karena dia “laki-laki” atau “perempuan”. Jika ia menyukai sepak bola, lalu ia juga menyukai bermain boneka, biarkan saja. Toh, hal tersebut bukan sesuatu yang berdosa, melanggar hukum, atau merugikan orang lain.
ADVERTISEMENT
Kedua, berikan perlakuan serta tanggung jawab yang setara untuk anak, terlepas dari ia anak perempuan ataupun laki-laki. Tanggung jawab dan pekerjaan tidak mengenal gender. Kita bisa menyuruh anak laki-laki untuk memasak, dan kita juga bisa menyuruh anak perempuan untuk mengangkat barang-barang. Begitupun sebaliknya. Selain itu, jangan ada perlakuan khusus hanya karena ia anak perempuan atau laki-laki, karena terkadang masih ada kecenderungan untuk memberikan hak istimewa untuk tidak melakukan tanggung jawab tertentu berdasarkan gender.
Ketiga, contohkan perilaku sehari-hari yang tidak menyiratkan bentuk bias gender. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, anak dengan mudah menyerap dan menerima apa saja yang ada di lingkungannya. Berbagi tugas dengan Ayah (suami) untuk mengerjakan pekerjaan rumah merupakan salah satu contoh yang dapat dilakukan untuk memutus anggapan perempuan harus menggarap seluruh urusan domestik rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Keempat—sekaligus terakhir, kita harus mampu menghargai dan mendukung apapun pilihan anak. Jika kelak ia mengambil bidang karir yang mungkin selama ini dianggap kurang “cocok” apabila dikerjakan oleh gendernya, kita harus tetap konsisten mendukungnya selama hal tersebut merupakan pekerjaan yang positif. Begitu pula dengan preferensi gaya berpakaian atau berekspresinya. Selama anak nyaman dengan hal itu, dukunglah mereka sepenuhnya.
Mewujudkan peradaban responsif gender mungkin terkesan mustahil, namun bukan berarti tidak ada harapan. Mari terus kawal usaha membebaskan diri dari benteng patriarki, untuk keadilan dan kesetaraan kita semua, perempuan, laki-laki, atau siapapun kamu.