Konten dari Pengguna

Bahaya Penyikapan Reaktif Terhadap Kebijakan Tarif AS

Fitria Nurma Sari
Dosen Perbankan Syariah Universitas Ahmad Dahlan
28 April 2025 19:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fitria Nurma Sari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Liberalisasi tak terkendali, source: AI
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Liberalisasi tak terkendali, source: AI
ADVERTISEMENT
Penerapan tarif resiprokal menjadi tantangan berat bagi perekonomian Indonesia yang sebelumnya sudah mengalami tanda-tanda pelemahan. Produk industri seperti baja, alumunium dan tekstil menjadi sektor industri yang secara langsung. Pemerintah Indonesia kemudian merespon dengan langkah yang terkesan reaktif dengan wacana mencabut kebijakan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) yang dianggap menjadi salah satu alasan Presiden Amerika Serikat mengenakan tarif sebesar 32 persen untuk Indonesia. Kontan saja wacana ini menjadi kekhawatiran bagi pelaku industri karena sifatnya terlalu terburu-buru, jika kebijakan ini benar-benar direalisasikan berpotensi mengancam ekonomi nasional.
ADVERTISEMENT
Tindakan penghapusan TKDN bisa dilihat sebagai tindakan reaktif karena bertujuan untuk meredam tekanan eksternal dalam hal ini Amerika Serikat. Pemerintah berasumsi jika kebijakan TKDN dilonggarkan, maka pemerintah Amerika Serikat bersedia untuk duduk bersama untuk bernegosiasi dengan tujuan meminimalisir dampak kebijakan tarif impor yang sudah dikeluarkan oleh Donald Trump. Namun langkah ini jika ditelisik lebih jauh, mengabaikan substansi dari penguatan industri dalam negeri yang selama ini sudah terbangun melalui kebijakan penggunaan komponen dalam negeri.
Indonesia pada dasarnya memerlukan momentum untuk membangun industri dalam negeri sebelum benar-benar siap untuk membuka diri dari tantangan persaingan global. Apabila keran impor dibuka tanpa kesiapan industri dalam negeri yang baik, yang terjadi malah fenomena deindustrialisasi secara dini. Industri lokal akan gagap dan terlindas karena kalah bersaing dengan produk-produk impor murah.
ADVERTISEMENT
Pemerintah sebelumnya menginisiasi penguatan manufaktur lokal melalui TKDN agar dapat meningkatkan produktivitas industri dalam negeri. Dengan meningkatnya produktivitas manufaktur dalam negeri maka akan tercipta lapangan kerja sekaligus menghemat devisa negara. Hilangnya TKDN menjadikan permintaan akan produk impor akan semakin meningkat karena produk impor seperti dari China memiliki harga yang lebih kompetitif daripada produk lokal.
Hal ini tentunya akan memukul para pengusaha lokal yang selama ini menjadikan TKDN sebagai perlindungan dari gempuran barang impor yang sangat masif. Tanpa perlindungan yang berarti, mereka tentunya akan sulit bersaing dengan barang impor yang lebih murah padahal sektor ini menyerap jutaan tenaga kerja Indonesia. Jika terjadi terus menerus bukan hal mustahil produk lokal akan kalah bersaing di pasar domestik. Penurunan permintaan akan produk lokal berdampak pada efisiensi termasuk Pemutusan Hubungan Kerja di berbagai sektor industri.
ADVERTISEMENT
Seolah tidak cukup, pemerintah juga mewacanakan untuk menghapus kuota impor. Walaupun pemerintah sendiri belum mendetailkan kebijakan menghapus kuota impor apakah membuka keran impor sebesar-besarnya atau seperti apa. Namun wacana tersebut juga menambah keruh dan menimbulkan kebingungan arah kebijakan pemerintah. Jika keran impor dibuka besar-besaran, Indonesia pada tahun 1990an pernah memberlakukan liberalisasi ekonomi sehingga barang impor masuk dengan lebih mudah. Akibatnya kondisi itu memperparah krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998. Deregulasi perdagangan diberlakukan tanpa mempertimbangkan kesiapan industri dalam negeri. Manakala terjadi guncangan global akibat krisis moneter ekonomi nasional kolaps dan menjalar kerusuhan nasional.
Pemerintah perlu memahami bahwa kebijakan bukan hanya tentang siapa jual siapa beli namun dampak jangka panjang juga harus diperhatikan. Ada nasib jutaan pekerja yang bergantung pada industri nasional. Pengabaian akan hal tersebut berarti juga abai terhadap kesejahteraan sosial demi solusi yang hanya bersifat jangka pendek.
ADVERTISEMENT
Daripada mengambil langkah ekstrem dengan mencabut TKDN dan membuka impor pemerintah seharusnya lebih fokus pada percepatan diversifikasi pasar impor. Indonesia sudah menjadi anggota BRICS dan bisa memanfaatkan keanggotaan Indonesia dalam organisasi multilateral tersebut. Pasar seperti Timur Tengah, Afrika dan Amerika Selatan bisa menjadi peluang yang baik jika digarap dengan serius. Apalagi sebenarnya jumlah ekspor ke Amerika Serikat hanya sebesar 9,9 persen dari total ekspor nasional.
Menghadapi tekanan eksternal seperti tarif impor Amerika Serikat memang perlu perhatian namun bukan berarti harus reaktif. Langkah-langkah seperti mencabut TKDN dan membuka impor tanpa batas justru berdampak pada stabilitas ekonomi nasional dalam jangka panjang. Pemerintah perlu tenang dalam menyiapkan langkah strategis untuk merespon tekanan ini. Kebijakan jangka panjang perlu disusun untuk menjaga pertumbuhan industri nasional dan juga kesejahteraan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Liberalisasi adalah hal yang tidak dapat dihindari namun harus dilakukan secara selektif dan bertahap.Pemerintah harus mampu terlebih dahulu melindungi sektor strategis. Pemerintah adalah pihak yang paling paham akan pengalaman masa lalu sehingga harusnya belajar dari pengalaman tersebut bukan malah mengulanginya.