Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menyibak Keindahan Tanpa Batas di Kota Baubau Pulau Buton
18 Januari 2024 18:00 WIB
Tulisan dari Fitria Sari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kota Baubau telah menjadi mitra dan dampingan LUVTRIP sejak awal 2020. Meskipun saya telah bergabung dengan project community development dan digitalisasi LUVTRIP di Jawa Barat sejak akhir 2021, namun saya belum sempat berkunjung secara langsung. Sampai pada akhirnya, saya mendapat tawaran pekerjaan selama beberapa hari di sana. Tentu saya menerima tawaran itu dengan suka cita dan tanpa berpikir panjang. Bekerja sekaligus menjelajah Baubau pada pertengahan tahun 2023, menjadi pengalaman hidup yang tak terlupakan. Bagaimana tidak? Sebelum perjalanan itu dimulai, saya mencari referensi melalui media sosial dan menemukan keindahan tanpa batas di sana. Bagi saya, selalu menyenangkan saat datang ke sebuah tempat baru-ada sensasi tersendiri.
ADVERTISEMENT
Perjalanan Panjang yang Menyenangkan
Saya memulai perjalanan dari bilangan Jakarta Pusat menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta menuju Bandara Sultan Hasanudin Makassar, pada jam 10.00. Karena terlalu bersemangat, saya tiba tiga jam lebih awal dari jadwal penerbangan. Tidak ada pilihan, menunggu penerbangan dengan semua bayangan apa saja yang akan menyambut di sana.
Penerbangan dari Jakarta ke Makassar ditempuh 2 jam 30 menit. Setelah tiba di Makassar, ada waktu transit selama dua jam. Saya memanfaatkan waktu untuk mencicipi salah satu kuliner khas Makassar. Yes! Coto Makassar di Makassar. Dua buras (sejenis lontong, bertekstur lebih padat-gurih) dan satu mangkok Coto Makassar terhidang menggugah selera. Kenyang dan puas dengan kuliner tersebut, penerbangan lanjutan dari Makassar ke Bandara Betoambari Baubau sudah menanti. Selama 1 jam 15 menit saya menaiki pesawat baling-baling dengan sesekali mengintip pulau kecil indah di bawahnya.
ADVERTISEMENT
Saat mendarat, tim LUVTRIP yang juga pemuda lokal menyambut hangat dan langsung mengantarkan untuk berkeliling. Saat itu, matahari hampir kembali ke pusara bumi. Saya pikir sudah tidak ada yang bisa dinikmati selama proses perjalanan menuju penginapan. Nyatanya, saya salah! Dari kaca mobil, saya terkejut menyaksikan sebidang tanah dengan pemandangan gelombang laut yang begitu tenang, dan semburat bulatan berwarna orange menyala dengan sedikit sapuan awan di sekitarnya. Landscape yang sempurna! ucap dalam hati.
Pantai Lakeba, Markas Daeng Lala dan tim-nya
10 menit kemudian, perjalanan berhenti sejenak. Saya melihat pantai dengan beberapa pengunjung muda-mudi yang ber-swafoto dengan tripod atau sekedar duduk bercengkrama. Asyiknya, saya hanya perlu beberapa langkah dari tempat parkir menuju pasir pantai yang halus dan tergolong putih. Di sisi ujung bibir pantai, terdapat sebuah pondok kayu panggung bertingkat, yang dikenal sebagai markas Daeng Lala (seorang youtuber dengan 1,06 juta subscribers). Saya sempat mendengar cerita bagaimana perjuangannya dan tim mengembangkan kanal youtube dan membangun tempat tersebut. Selebihnya, saya memutuskan untuk menyusuri pantai ke sisi ujung lain yang tidak terlalu jauh. Satu hal yang saya ingat, hampir tidak ada sampah plastik. Padahal saya melihat pengunjung juga membawa makanan kemasan. Menarik! Lalu saya berpikir, berapa lama penjaga dan pengunjung mencapai kesadaran di Pantai Lakeba ini?
ADVERTISEMENT
Jelajah Wilayah Batu Sori
Keesokan harinya, tidak melupakan kewajiban saya tiba di Baubau, yaitu memberikan pelatihan tentang Public Speaking dan Optimalisasi Penggunaan Media Sosial untuk Pemasaran dan Branding kepada kelompok Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Bersama dengan tim LUVTRIP , kami bersemangat selama dua hari memberikan pelatihan secara partisipatif kepada peserta. Dari sini lah cikal bakal pengembangan Sentra Industri Kecil Menengah (IKM) dikembangkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Sekaligus amanah untuk LUVTRIP , mendampingi pelaku usaha semakin melek digital dan mampu berkembang.
Selesai dengan dua hari kegiatan, saya berkesempatan mengunjungi lokasi usaha para peserta di Wisata Batu Sori Kelurahan Palabusa Kecamatan Lea-Lea, dibutuhkan sekitar 30 menit perjalanan motor/mobil dari Pusat Kota Baubau. Saat tiba, kami disambut dengan hangat oleh juru parkir seorang ibu-ibu paruh baya, yang belakangan saya ketahui bahwa tempat parkir masih dikelola setiap individu dan mereka perlu saling berebut untuk menarik wisatawan untuk singgah di lahan parkirnya.
ADVERTISEMENT
Wisata Batu Sori memiliki jembatan yang dapat diakses pejalan kaki, terbentang memanjang di atas pantai, dengan ujung batu karang raksasa yang berbentuk kapal. Gazebo kecil dan lampu hias tertata apik sepanjang jembatan. Kurang lebih 10 menit berjalan dari titik awal jembatan hingga menaiki tangga singgasana ujung karang raksasa, untuk melihat pemandangan utuh. Lagi-lagi saya beruntung karena tiba saat senja menyapa. Dari atas terlihat semerbak langit berwarna jingga, diiringi kerlip lampu yang terlihat seperti lilin.
Di sisi lain, saya juga melihat para gadis remaja sedang mengikat rumput laut hasil panen untuk dikelola esok harinya. Ya, selain wisata Batusori, Teluk Palabusa juga dikenal sebagai penghasil rumput laut dan pengrajin mutiara. Inilah yang turut menjadi tantangan untuk mengembangkan potensi di wilayah tersebut. Puas menikmati pemandangan di sana, saya dan tim memutuskan melanjutkan perjalanan santap malam khas Baubau (pengalaman kuliner Baubau akan dikisahkan secara khusus, tunggu ya!).
ADVERTISEMENT
Bermanja dengan Pantai Nirwana
Karena kewajiban pekerjaan tuntas terlaksana, maka saya memiliki satu hari penuh sebelum kembali ke Ibu Kota untuk berpetualang. Saya sengaja tidak merencanakan setiap destinasi yang akan dikunjungi. Saya hanya menikmati setiap detik perjalanan dan singgah di setiap titiknya. Perjalanan selanjutnya, saya berkesempatan untuk singgah ke dua pantai yaitu Pantai Nirwana dan Pantai Jembatan Lingkar Lapoili. Tak kalah indahnya, saya takjub melihat Pantai Nirwana dengan pasir yang putih dan laut yang berwarna biru pekat namun ombak yang tetap tenang menyapu pantai. Padahal jarak tempuhnya hanya 15 menit dari Pusat Kota Baubau.
Di Pantai kedua, saya juga disuguhi pemandangan epic!. Tidak berupa laut yang jernih, namun landscape Desa Tira dan Desa Bahari yang juga menjadi bagian dari pulau Buton, berbukit elok membentang di tengah lautan. Tempat wisata ini masih dalam proses pengembangan, karena beberapa kios masih terlihat semi permanen dan bisa dioptimalisasikan untuk menyambut pengunjung yang datang dengan suguhan kudapannya.
ADVERTISEMENT
Jalur Sejarah Kerajaan Buton
Tidak hanya menikmati wisata alam, saya juga mendapat kehormatan untuk mengunjungi Benteng Keraton yang menjadi icon kesejarahan di sana. Bangunan benteng yang terdiri dari 12 titik pintu, mengisyaratkan leluhur sebagai arsitek sekaligus pejuang. Benteng ini terbuat dari batu kapur dengan bentuk melingkar sejauh 2.740 meter di lahan seluas 23,375 hektare.
Tidak jauh dari bangunan benteng, kami disambut oleh pemandu Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis Benteng Keraton) yang juga bagian dari komunitas dampingan LUVTRIP . Di sana, saya juga didampingi berkeliling dengan mengunjungi Batu Walio, yang menjadi simbol bahwa dianggap telah sah berkunjung ke Pulau Buton, jika telah memegang batu Walio. Kepercayaan yang unik dan masih dipertahankan hingga kini.
ADVERTISEMENT
Selain Batu Wolio, ada pula makam Sultan Murhum (Sultan Pertama Kesultanan Buton) sepanjang lima meter, sangat panjang untuk ukuran makam di masa kini. Makam ini berada tepat di seberang Masjid Agung Keraton Buton yang berdiri kokoh dengan warna yang didominasi putih dan biru. Di sana, pemandu menceritakan kesejarahan Kesultanan Buton secara turun temurun dan sejenak suasana kian khidmat saat kita coba meneladani nilai kesejarahan di balik cerita yang ada di pagi itu.
Melantunkan Doa di Savana Bukit Lamando
Setelah puas mengurai keindahan pantai, destinasi selanjutnya yaitu savana di kawasan Buton Selatan. Perjalanan memang lebih panjang dari destinasi sebelumnya, tapi percayalah tidak ada yang sia-sia. Jalur menuju ke lokasi tidak terlalu ekstrim, hanya beberapa titik jalan yang berlubang. Namun, jalan ketika mendekati destinasinya masih terhitung mulus. Mobil berhenti berdecit, tanda kami sudah tiba. Dari kejauhan, saya melihat bukit yang tidak terlalu curam namun cukup tinggi. Perlu berjalan kaki untuk mencapai ujung bukitnya. Saya berjalan perlahan sambil menikmati oksigen yang teramat murni.
ADVERTISEMENT
Tidak lebih dari lima menit, saya sudah tiba di atas dan terlihat barisan rumah khas warga Buton yang berjajar rapi diselipi pohon kelapa menjulang. Meski dari atas kaki berpijak, pohon kelapa itu lebih mirip bonsai karena Savana Bukit Lamando memang tinggi. Rasa takjub semakin bertambah, ketika wajah saya mendongak sejajar, maka saya setara berhadapan dengan pendar rona senja. Suasananya kian sakral dengan bisik angin yang mengoyak savana. Pun, membuat saya melantunkan asa dan doa karena merasa sangat dekat dengan sang Maha. Awan terus berjalan, matahari juga terbenam, mengisyaratkan perjalanan saya harus berlanjut dan mengucap salam “sampai jumpa lagi, ya”.
Bukan Sebuah Perjalanan Takdir yang Berakhir
Awalnya saya sempat memiliki premis, bahwa pengalaman petualangan yang saya miliki dengan berbagai wilayah dampingan, sudah cukup. Namun, perjalanan selama kurang lebih lima hari di Kota Baubau, membuat saya berujar bahwa Indonesia dengan pariwisatanya tidak akan pernah habis. Pengalaman wisata otentik ini lah yang turut didorong oleh LUVTRIP . Supaya setiap pengunjung mampu merasakan warna kehidupan warga lokal, dengan keagungan alam dan rangkaian budaya sebagai bagian yang melekat. Kiranya, Baubau menjadi awalan perjalanan saya untuk melukiskan pengalaman otentik yang saya rasakan membuat lebih hidup, sebagai manusia dan bagian dari LUVTRIP .
ADVERTISEMENT
*Chief Operating Officer LUVTRIP