Indonesia Gagap Pada Pelecehan Seksual

Fitriah Zahwa Nissa
Mahasiswa Jurnalistik, Politeknik Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
16 Juli 2022 18:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fitriah Zahwa Nissa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penumpang KRL, Stasiun Manggarai. Sumber foto : dokumen pribadi
Pelecehan seksual merupakan perilaku merendahkan martabat seseorang dan tidak hanya wanita, tetapi pria juga dapat menjadi korban pelecehan. Kasus pelecehan seksual semakin marak terjadi beberapa waktu saat ini. Berbagai tempat yang dirasa aman, namun ternyata tidak.
ADVERTISEMENT
Seperti halnya kasus pelecehan di sekolah, perguruan tinggi sampai pesantren. Pelakunya pun dari orang terdekatnya, bahkan tak tanggung-tanggung salah satunya orang penting dalam tempat itu, sedangkan korbannya beragam mulai dari anak kecil, siswa, santri, mahasiswa, pegawai, sampai difabel.
Indonesia masih gagap dalam menangani kasus pelecehan seksual, padahal negara ini sedang darurat dalam kasus tersebut. Di mana setiap tahunnya angka kasus pelecehan seksual selalu naik secara terus menerus.
Data kasus pelecehan selama beberapa tahun belakangan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melaporkan, ada 797 anak yang menjadi korban kekerasan seksual sepanjang Januari 2022. Jumlah tersebut setara dengan 9,13 persen dari total anak korban kekerasan seksual pada tahun 2021 lalu yang mencapai 8.730 anak.
ADVERTISEMENT
Sama seperti halnya kasus pelecehan yang menimpa 13 santri di Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru, Bandung. Santri yang menjadi korban masih dibawah umur yang berusia 13-16 tahun sejak tahun 2016 hingga 2021, beberapa diantaranya telah melahirkan dan salah satunya sudah melahirkan 2 anak.
Serta pelaku utamanya merupakan orang penting dalam pesantren tersebut, yaitu Herry Wirawan pemilik Madani Boarding School di Bandung dan pengelola Yayasan Manarul Huda Antapani. Tentunya dengan posisi tersebut membuat Herry bebas melakukan aksinya selama bertahun-tahun dan memberikan ancaman pada santrinya.
Herry selalu memberikan iming-iming kepada korban untuk mendapat fasilitas yang lebih baik, sehingga korban menerima diperlakukan sesuka hati Herry. Bahkan istrinya pun telah dicuci otaknya untuk menerima perbuatan bejat yang dilakukan suaminya setiap malam. Hal ini merupakan kasus pelecehan yang memiliki dampak besar bagi korban hingga masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun pelaku hanya divonis hukuman penjara seumur hidup oleh pengadilan, tentunya membuat keluarga korban kecewa atas keputusan tersebut, karena keputusan tersebut tidak membuat jera dan nantinya timbul kasus pelecehan kembali. Selain itu biaya restitusi atau ganti rugi terhadap korban sebesar 331 juta rupiah akan dibebankan kepada Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPPA) karena Herry telah dijatuhkan vonis seumur hidup.

Dampak kasus pelecehan.

Berdasarkan data kasus tersebut menimbulkan dampak yang dialami korban pelecehan seksual, karena akan memiliki rasa trauma yang mendalam. Rasa trauma akan menghambat pertumbuhan korban dalam lingkungan sosialnya hingga batas umur yang tidak bisa ditentukan. Selain itu korban juga mendapatkan dampak fisik, faktor utama penularan Penyakit Menular Seksual (PMS) dan korban dapat berpotensi mengalami pendarahan pada kasus yang parah.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu saja, korban mengalami dampak sosial karena korban pelecehan seksual akan sering dikucilkan pada lingkungan sekitar. Hal ini yang membuat mereka down, karena seharusnya mereka yang menjadi korban pelecehan seksual harus diberikan motivasi pada orang-orang di lingkungan sekitar agar mereka bisa kembali hidup normal.
(Fitriah Zahwa Nissa/Politeknik Negeri Jakarta)