Relevansi Konflik Palestina-Israel terhadap Konsep Orientalisme

Flariska Erfaryndra
Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
4 April 2024 23:05 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Flariska Erfaryndra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejarah Nakba 1948: Perjalanan Menuju Konflik Palestina dan Kaum Zionis Israel
ADVERTISEMENT
Nakba merupakan istilah yang digagas oleh Constantine Zurayk dalam bukunya yang berjudul “The Meaning of Catastrophe” dimana Nakba memiliki arti "malapetaka". Sebutan Nakba ditujukan kepada kegagalan Arab dalam melindungi Palestina dan bencana yang terjadi akibat kaum Zionis. Pada awalnya Palestina merupakan salah satu wilayah yang berada dibawah kekuasaan kesultanan Ottoman, di Arab. pada abad ke-19, muncul beberapa kelompok nasionalis yang ingin membebaskan diri dan menurunkan kekuasan Ottoman, yang mana hal tersebut sejalan pula dengan meletusnya perang dunia pertama. Perang dunia pertama berhasil meruntuhkan kekuasaan Ottoman, dan membuat Palestina berada di bawah mandat bangsa Britania Raya.
Disaat yang bersamaan, muncul gerakan dari kelompok Zionis, yakni kelompok yang beranggotakan masyarakat Yahudi di Eropa. Kelompok tersebut memiliki tujuan untuk menjadikan Palestina menjadi tanah air masyarakat Yahudi. Hal tersebut dikarenakan wilayah yang diduduki Palestina dianggap memiliki sejarah dan merupakan daerah suci yang berhubungan dengan Yahudi. Oleh karena itu, terjadi migrasi masyarakat Yahudi di Eropa ke wilayah Palestina. Hal tersebut juga semakin didorong dengan adanya Deklarasi Balfour yang dikeluarkan oleh Britania Raya pada bulan November tahun 1917, yang mana berisikan dukungan Britania Raya atas dibentuknya tanah air bagi masyarakat Yahudi di wilayah Palestina. Pada awal migrasi, masyarakat Palestina masing menyambut dengan baik perpindahan tersebut. Selain itu, masih adanya kepercayaan diri terhadap keberlangsungan wilayah Palestina dikarenakan mayoritas masyarakat adalah masyarakat Arab Palestina dan wilayah atau tanah yang dimiliki masih 90%. Akan tetapi, setelah munculnya deklarasi Balfour, masyarakat Palestina secara khusus mencoba untuk melakukan negosiasi dengan Britania Raya agar menarik kembali dukungannya terhadap Zionis. Sayangnya, negosiasi tersebut gagal, yang mana memunculkan demonstrasi dan kekerasan dari masyarakat Palestina.
ADVERTISEMENT
Ditahun sekitar masa Perang Dunia II, yakni sekitar 1941, terjadi pembantaian besar-besaran yang dilakukan kelompok Nazi terhadap kaum Yahudi, bahkan pembantaian tersebut dapat dikatakan sebagai genosida yang mana difungsikan untuk penghapusan kaum Yahudi. Peristiwa holocaust menjadi salah satu peristiwa paling kelam yang dunia pernah alami, alhasil hal tersebut mendorong peran internasional untuk membantu kaum Yahudi mencari rasa aman dan tempat tinggal yang sejahtera. Dengan adanya konsep zionisme, alhasil wilayah Palestina menjadi tempat yang paling cocok untuk disinggahi kaum Yahudi.
Pada 1947, dukungan internasional terhadap pendirian negara Israel di wilayah Palestina semakin banyak, yang mana bahkan didukung pula oleh PBB. Kemudian, pada 1948, Israel memproklamasikan kemerdekaannya di tanah Palestina. Hal tersebut juga diikuti dengan beberapa peristiwa dan bencana yang dialami masyarakat Palestina berupa pengusiran, penghancuran tempat tinggal, penyerangan, dan masyarakat Palestina menjadi pengungsi di wilayah mereka sendiri. Bahkan setelah kejadian ini, konflik kedua belah pihak semakin terus memanas, bahkan isu ini sudah sampai ke kancah internasional dan tentu menimbulkan banyak protes dari dunia mengenai bagaimana isu ini tidak ada hentinya.
ADVERTISEMENT
Peristiwa 7 Oktober 2023: Penyerangan di Wilayah Israel
Konflik terus memanas, bahkan sampai detik ini masih belum ada titik cerah penyelesaian dari konflik. Pada tanggal 7 Oktober 2023, terjadi penyerangan yang dilakukan oleh Hamas (Harakah al-Muqawamah al-Islamiyah) yakni sebuah kelompok gerakan perlawanan Islam di Palestina yang melakukan penyerangan terhadap wilayah Israel. Penyerangan yang dilakukan yakni sebagai respon atas apa yang terjadi di Palestina selama ini dan sebagai bentuk seruan dan ajakan kepada seluruh masyarakat Palestina untuk turut ikut melakukan perlawanan. Kronologi nya adalah, penyerangan dilakukan di hari dimana berlangsungnya festival keagamaan Yahudi, Simchat Torah, tepatnya pada hari Sabtu pagi. Pada saat itu, Hamas mengeluarkan sekitar 2.500 roket untuk menyerang dan menghancurkan pagar pembatas yang membatasi wilayah Gaza dan Israel.
ADVERTISEMENT
Serangan itu diberitakan memakan korban jiwa dari pihak Israel yakni sebanyak 1.139 orang, yang terdiri dari yang terdiri dari 39 anak, 71 warga asing (non-Israel), dan 373 pasukan keamanan (france24.com). Dengan adanya informasi penyerangan ini, konflik Palestina dan Israel semakin dilihat oleh warga dunia. Tidak sedikit masyarakat yang berpihak kepada Israel, dan menganggap penyerangan tersebut merupakan penyerangan dari kelompok teroris. Tapi tak sedikit pula yang mendukung gerakan Hamas tersebut, dengan anggapan kelompok tersebut termasuk dalam kelompok perjuangan kemerdekaan.
Setelah penyerangan tersebut terjadi, tentu pihak Israel tidak tinggal diam. Pembalasan yang dilakukan oleh Israel berupa pengetatan penjagaan perbatasan Gaza yang menjadi jalur masuk bantuan dari negara lain. Hal tersebut menimbulkan kelaparan, kurangnya obat-obatan, pasokan makanan yang terbatas, dan lain-lain. Tidak hanya itu, hal tersebut juga diikuti dengan penyerangan secara terus menerus yang pada akhirnya memakan korban sebanyak puluhan ribu masyarakat Palestina. Mengetahui hal tersebut, PBB tidak tinggal diam dan menekan Israel untuk tidak menghalangi jalur masuknya bantuan dari negara lain. Pada akhirnya, Israel pun membuka kembali jalur tersebut.
ADVERTISEMENT
Konsep Orientalisme dan Relevansinya dengan Kondisi Palestina
Konsep orientalisme dipopulerkan oleh Edward Said dalam buku Orientalism yang diterbitkan pada tahun 1978. Pada dasarnya, orientalisme berasal dari kata oriental yang mana merupakan kata yang cukup sering digunakan oleh sastrawan barat untuk menyebutkan masyarakat Asia atau yang berasal dari negara bagian Timur. Meski begitu, penyebutan oriental pada dasarnya mengacu pada cara berperilaku, adab, dan tata bahasa yang dianggap berbeda dengan masyarakat Eropa. Salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pelaksanaan imperialisme oleh Inggris pada saat itu, yakni Arthur James Balfour, menggunakan konsep oriental untuk melakukan kolonialisme. Menurut Balfour, masyarakat Inggris memiliki pola pikir dan pengetahuan yang lebih unggul dan matang dibandingkan dengan negara-negara oriental, yang mana membuat negara-negara tersebut membutuhkan kedudukan asing untuk dapat maju. Selain itu, Balfour juga menjadi tokoh dibalik kemunculan dari deklarasi Balfour, yang mana menjadi sebuah titik balik bencana yang dialami oleh Palestina.
ADVERTISEMENT
Apabila melihat dari bagaimana kondisi Palestina dan bagaimana reaksi negara-negara, terutama negara Barat, tentu ada benang merah terkait dengan konsep orientalisme ini. Berdasarkan sejarah, pandangan Barat terhadap Timur sudah buruk. Masyarakat bagian Timur dianggap tidak beradab dan minim pengetahuan, bahkan ada anggapan bahwa masyarakat Timur identik dengan kekejaman, terorisme, dan radikalisme. Pengesahan deklarasi Balfour secara tidak langsung menganggap bahwa wilayah Palestina bisa dengan mudah untuk diduduki.
Melihat bagaimana kondisi sekarang, tampaknya konsep orientalisme memang masih cukup populer di wilayah Barat. Konotasi negatif dan inferior masyarakat Timur tampaknya menjadi salah satu faktor terhadap enggannya negara bagian Barat untuk melakukan suatu keputusan yang signifikan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana beberapa negara bagian Barat yang menolak adanya gencatan senjata. Selain itu, masih adanya bantuan militer berupa pengiriman senjata dari Amerika Serikat untuk Israel. Tidak dapat dipungkiri bahwa pasti ada kepentingan politik dan ekonomi di dalam keberpihakan negara Barat atas Israel. Tetapi, tidak dapat disanggah pula bahwa ada faktor latar belakang ras, etnis, agama, dan budaya dibalik keberpihakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Penerapan konsep orientalisme juga dapat dilihat dari bagaimana Hamas digambarkan dalam media informasi. Kelompok Hamas sangat dekat dengan istilah terorisme, pergerakan dan penyerangan yang dilakukan oleh Hamas dianggap sebagai bentuk pembantaian dan penghancuran terhadap Israel, bukan sebagai bentuk dari pertahanan dan perjuangan masyarakat Palestina. Hal ini terbukti bahwa konotasi negatif Timur akan selalu dibawa dan dijadikan alasan terhadap keberlanjutan dari konflik ini. Hal ini menjadi sebuah contoh penerapan dari konsep orientalisme.
Palestina sudah bertahun-tahun tertindas. Rasanya konflik dan segala malapetaka yang dihadapi oleh Palestina bukan menjadi suatu isu penting dan isu urgensi yang harus diselesaikan. Ratusan ribu korban berjatuhan dan ratusan ribu bangunan hancur dianggap belum cukup untuk menjadikan isu ini menjadi isu utama untuk diselesaikan. Pengaruh orientalisme yang ternyata masih cukup kental ternyata menjadi salah satu faktor atas lambatnya penyelesaian konflik tersebut. Dengan semakin naiknya informasi mengenai isu ini, diharapkan secepatnya dapat menemukan titik terang yang baik bagi sisi kemanusiaan. From the river to the sea, Palestine will be free.
ADVERTISEMENT